tirto.id - Setelah sempat terhenti selama 18 tahun, pengembangan kawasan Rempang akhirnya kembali dilanjutkan pemerintah. Kelanjutan proyek ini ditandai dengan peluncuran Pengembangan Kawasan Rempang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada Selasa, 14 April 2023.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyampaikan, pengembangan kawasan ini merupakan amanat dari Presiden Joko Widodo. Pemerintah berkeyakinan kawasan tersebut dapat meningkatkan investasi dan penciptaan lapangan kerja.
Pengembangan kawasan Rempang sudah dinanti sejak lama. Saat itu, kawasan Rempang belum dapat berkembang mengingat pada 1986 melalui SK Menhut No.307/KPTS-II/1986 menetapkan Kawasan Rempang menjadi kawasan Taman Buru. Hingga pada 2015, Kawasan Rempang telah siap untuk dilakukan percepatan pelaksanaan pengembangannya yang dilakukan secara bertahap.
“Ini hal yang sudah kita nanti (kurang lebih) 18 tahun. Tentu ini proses yang panjang dan kami berharap Kepala BP Batam, shuffle dokumen ini kita selesaikan,” kata Airlangga dalam peluncuran KPBPB.
Rempang merupakan sebuah pulau yang terletak di wilayah pemerintahan Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Tempat ini menjadi pulau terbesar kedua yang dihubungkan oleh enam buah Jembatan Barelang.
Pulau Rempang berada sekitar 3 kilometer di sebelah tenggara Pulau Batam dan terhubung langsung dengan jembatan Barelang V dengan Pulau Galang yang berada di bagian selatannya.
Jembatan Barelang merupakan singkatan dari Batam, Rempang, dan Galang, yang menjadi sebuah jembatan penyambung antarwilayah di Rempang, yang dibangun untuk memperluas Otorita Batam sebagai regulator daerah industri Pulau Batam.
Pulau ini memiliki luas wilayah 16.583 hektare yang terdiri dari dua kelurahan Rempang Cate dan Sembulang. Menurut Badan Pusat Statistik, total warga yang menempati Pulau Rempang saat ini ditaksir mencapai 7.512 jiwa.
Di Pulau Rempang, terdapat sekitar 16 kampung tua alias masyarakat adat Melayu Tua, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat yang diyakini telah menghuni wilayah tersebut sejak puluhan tahun.
Awalnya, Pulau Rempang tidak masuk dalam Otorita Batam maupun Pemerintah Daerah Riau. Namun, setelah dirilisnya Keppres Nomor 28 Tahun 1992, wilayah kerja Otorita Batam semakin diperluas hingga mencakup Pulau Batam, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan pulau-pulau lain yang berada di sekitar kawasan ini.
Proyek ini digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) milik Bos Artha Graha Group, Tomy Winata, yang bekerja sama dengan BP Batam. MEG diberi mandat untuk menggarap 17 hektare lahan atau seluruh lahan di Pulau Rempang. MEG diketahui sudah melakukan pengembangan dan pengelolaan Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif di Pulau Rempang sejak 2004.
“Jadi investor-investor sudah mulai berdatangan ke wilayah kita untuk investasi di wilayah dari sisi PLTS," ujar Direktur Utama PT Makmur Elok Graha (MEG), Nuraini Setiawati dalam konferensi pers saat itu.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, mencoba meyakinkan kepada DPR mengenai dampak ekonomi dan nilai investasi dari pengembangan kawasan Rempang tersebut. Setidaknya wilayah tersebut akan mengantongi lebih dari Rp300 triliun dan membuka lapangan kerja secara luas.
“Dampak ekonomi yang akan diperoleh sangat signifikan antara lain nilai investasi utama lebih kurang Rp381 triliun yang memerlukan tenaga kerja lebih kurang dari 3.000 orang. Dan nilai tambah dari lainnya dari kegiatan ekonomi pendukung dan turunannya,” kata dia dalam RDP tersebut, Rabu (13/9/2023).
Proyek pengembangan Rempang Eco-City sendiri diketahui masuk dalam daftar Program Strategis Nasional (PNS) 2023. Hal tersebut telah tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Mengapa Mengorbankan Rakyat?
Namun, di balik nilai investasi besar dan potensi perputaran ekonomi di kawasan tersebut, selalu ada masyarakat yang harus dikorbankan. Kasus ini menurut Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah tidak hanya terjadi di Rempang, bahkan di seluruh PSN lainnya.
“Sebenarnya kasus Rempang ini kasus yang biasa terjadi ketika ada proyek besar yang harus memindahkan penduduk,” kata Piter kepada reporter Tirto, Jumat (15/9/2023).
Menurut Piter, tidak sedikit warga negara Indonesia yang masih harus berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman investasi skala besar. Karena berkaca pada 2019, Pulau Komodo, di NTT, pernah diminta untuk dikosongkan dari masyarakat yang hidup dan tinggal di pulau tersebut karena akan dijadikan kawasan wisata premium.
Di tempat lain, ratusan masyarakat di Pulau Pari, Jakarta Utara, harus terus menerus mempertahankan pulaunya dari ancaman perampasan tanah yang dilakukan oleh PT Bumi Pari Asri yang mendapatkan sertifikat HGB dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) DKI Jakarta.
Sementara di Provinsi Maluku Utara, Masyarakat di Pulau Obi menyusun surat terbuka menolak Perda relokasi untuk kepentingan Proyek Strategis Nasional (PSN), terutama pertambangan nikel.
Sekarang nasib serupa sedang dihadapi oleh lebih dari 7 ribu warga di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau yang akan kehilangan hak atas tanahnya. Hal ini membuat bentrok antara warga dan aparat terjadi beberapa waktu lalu. Detail artikel bisa dibaca di link ini.
“Masalahnya belum ada kesepakatan saja antara pemerintah atau pemilik proyek dengan penduduk yang akan dipindahkan. Memang penduduk yang dipindahkan mendapatkan ganti untung, tetapi itu belum diterima oleh penduduk,” kata Piter.
Piter memahami, masyarakat di wilayah Rempang tidak hanya menuntut ganti untung dalam bentuk tanah pengganti dan uang. Lebih dari itu, mereka menuntut pemerintah juga dalam kepastian mendapatkan pekerjaan atau menjamin mereka bisa mendapatkan sumber penghasilan yang baru.
“Termasuk memastikan bahwa putra daerah setempat bisa mendapatkan pekerjaan di proyek yang dibangun. Tuntutan ini saya kira wajar dan harus dipenuhi oleh pemerintah atau pemilik proyek," pungkas Piter.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Zenzi Suhadi mengatakan, sesuatu yang bersifat strategis mestinya tidak akan dibuat sembarangan. Proyek negara tersebut seharusnya dibuat dulu kajian kelayakannya mulai dari lingkungan, sosial, ekonomi sebelum diputuskan.
“Itu proyek strategis bagi pengusaha belum tentu bagi negara. Emang pemerintah sudah hitung nilai ekonomi 16 kampung Pulau Rempang? Ekonomi perairan Rempang? Emang ekonomi proyek itu lebih besar dari perekonomian rakyat?" katanya mempertanyakan saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (15/9/2023).
Dia menilai proyek-proyek berlabel PSN banyak bermasalah karena sama dengan proyek Cendana di masa Orde Baru. Strategis bagi kelompok tertentu dan negara dipakai untuk meluruskannya.
“Proyek-proyek besar begini bermasalah semua, karena keputusan diambil sebelum kajian. Kajian sering dibuat kemudian untuk membenarkan keputusan,” kata dia.
Komitmen Penyelesaian Pulau Rempang
Terlepas dari persoalan di atas, Muhammad Rudi menegaskan komitmennya untuk memberikan penyelesaian terbaik untuk warga Rempang. Secara gamblang ia menyebut penerimaan BP Batam dari hasil sewa lahan oleh pengembang akan digunakan sepenuhnya untuk pembangunan infrastruktur di area relokasi.
Dari perhitungannya, dalam setahun, penerimaan sewa lahan dari investasi yang diterima sebesar Rp1,4 triliun. Sementara biaya yang akan digunakan untuk pembangunan relokasi lebih kurang Rp1,6 triliun.
“Ini akan kami habiskan untuk membangun infrastruktur demi mendukung kegiatan masyarakat di sana,” ungkapnya.
Muhammad Rudi juga telah menyiapkan jadwal sosialisasi lanjutan bersama menteri terkait kepada warga Rempang. “Kami akan berusaha bagaimana investasi bisa masuk dan kebutuhan masyarakat Rempang dan Galang dapat diakomodir dengan baik,” kata Rudi.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Nasdem, Martin Manurung meminta kepada BP Batam agar terus menjalin komunikasi kepada masyarakat terkait permasalahan di Pulau Rempang.
Mewakili seluruh anggota Komisi VI DPR RI, Martin juga menyatakan dukungannya kepada BP Batam untuk menyelesaikan proses relokasi warga Pulau Rempang dengan baik.
“Kami tentu mendukung upaya BP Batam agar terus melanjutkan sosialisasi dan komunikasi dengan warga sehingga suasana di Batam menjadi lebih kondusif,” tutup Martin.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz