tirto.id - Lorong-lorong lantai dua gedung Central Tanah Abang (CTA), Jakarta Pusat dihinggapi kesunyian. Bilik-bilik kios tak bertuan. Kosong, tanpa dihuni penjual dan barang dagangan. Sebagian toko –atau bekas toko– tertutup rapat dengan teralis besi menyelimuti muka kios. Siang itu, Kamis (14/9/2023), lantai dua CTA begitu lengang dengan hanya segelintir pengunjung.
Namun, di tengah suasana sepi tersebut, suara pedagang yang menawarkan barang dagangannya justru nyaring terdengar. Perpaduan ganjil tersebut akan menjadi terang saat mendekati sumber suara. Pedagang-pedagang itu memang menawarkan barang dagangannya.
Bukan pada pembeli yang hadir secara langsung di toko, tapi kepada calon pembeli yang menonton mereka lewat siaran langsung media sosial.
Nayla (24) adalah salah satu pedagang yang sedang melakukan siaran langsung di kiosnya. Ditemani tiga orang karyawan, ia bergerak lincah menjajakan beragam pakaian ke layar gawai. Aplikasi sosial media TikTok, menjadi pilihan Nayla untuk menawarkan berbagai produk batik dan kebaya yang ia jual.
“Baru setahunan ini pakai TikTok buat nge-live. Ketinggalan sih, cuma ini nyoba saja dan lumayan juga ternyata,” ujar Nayla ditemui reporter Tirto di kiosnya.
TikTok memang bermetamorfosis menjadi platform multiguna. Bukan sekadar media sosial tempat remaja nanggung berjoget ria, aplikasi besutan raksasa teknologi ByteDance ini, telah menjadi social commerce melalui fitur TikTok Shop dan TikTok Live-nya. Pengguna dimanjakan dengan fitur transaksi perdagangan, sekaligus media sosial secara berbarengan.
“Hasilnya lumayan, semenjak sepi pandemic, kan, memang banyakan orang online. Bahkan, di event kemarin pas tanggal 9, kami bisa tembus 12 jutaan sehari. Rata-rata harian bisa lima jutaan kalau nge-live,” jelas Nayla.
Nayla sempat mencoba platform e-commerce lain untuk menjajakan dagangannya, tapi menurutnya, hasilnya tak semoncer berdagang di TikTok. Hal itu membuatnya memutuskan untuk rutin menjajakan dagangannya lewat TikTok.
“Kalau di TikTok tuh yang lihat konsisten bisa lebih dari 100 orang. Ini lumayan banget, kan? Apalagi kalau kita nge-live rutin. Kalau offline di toko sejaman enggak ada yang beli, tapi di TikTok bisa 2-3 orang minimal pembeli tiap jam,” ungkap Nayla.
Di sisi lain, pemerintah belakangan gencar mendorong agar media sosial dan e-commerce dipisahkan. Kegiatan social commerce, seperti yang dilakukan TikTok dinilai justru menjadi praktik monopoli yang mengancam bisnis lokal kecil dan menengah (UMKM).
Misalnya, Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki. Ia mengatakan, pola penjualan di TikTok dinavigasi dan dipengaruhi perbincangan di media sosial yang bisa memengaruhi masyarakat. Belum lagi, kata Teten, sistem logistik dan pembayaran yang dipegang sepenuhnya oleh TikTok, disebut sebagai monopoli bisnis.
Mendengar kabar ini, Nayla merasa aneh dengan sikap pemerintah. Justru, kata Nayla, sebagai pedagang ia terbantu dengan fitur media sosial dan e-commerce milik TikTok. Barang dagangannya jadi lebih mudah menyasar pembeli.
“Kalau misal, masalahnya ada di barang impor ilegal atau masuk sini, ya dibereskan itu lho. Bukan orang dilarang jualan di TikTok. Sudah coba pindah ke sini (TikTok) dan mulai laku padahal, lagian ini UMKM juga, kami UMKM lokal,” ujar Nayla.
Nayla juga kurang setuju jika kabar sepinya omset para pedagang konvensional disalahkan sepenuhnya karena kegiatan berjualan secara daring. Ia meminta pemerintah lebih jelas mengatur aturan berdagang secara daring dan tidak merugikan pedagang yang sudah mulai beradaptasi di era digital.
“Begini, sejak pandemi, kan, memang ini toko-toko tutup. Kami sejak itu mulai coba berjualan online, ya ada yang untung, akhirnya ada yang enggak buka kios lagi. Jadi ada banyak faktor di sini (Tanah Abang) sepi,” katanya.
Sinyal Kemendag Melarang TikTok Shop
Baru-baru ini, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) juga memberikan sinyal bakal melarang TikTok Shop di Indonesia. Zulhas menjelaskan, seharusnya TikTok tidak merangkap media sosial dan social commerce.
Dia mengklaim dengan adanya social commerce di Indonesia, peredaran barang lokal atau UMKM kalah bersaing dengan produk impor.
“Apakah kita larang saja ya atau gimana ya? Ini akan dibahas nanti,” kata Zulhas saat ditemui Tirto di Hotel Harris Vertu, Jakarta, Senin (11/9/2023).
Pengaturan soal masalah tersebut rencananya akan tertuang dalam revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Kendati demikian, Zulhas enggan membeberkan kapan revisi permendag tersebut akan dilakukan.
Salah satu pedagang lain di CTA yang ditemui reporter Tirto mengungkapkan, wacana pemerintah melarang TikTok Shop akan merepotkan, terlebih harus membangun usaha daring sedari awal lagi.
Ditemui saat sedang siaran langsung menjajakan barang dagangannya, Fani (29) –seorang pedagang celana– menilai wacana pelarangan TikTok Shop, akan membuat pedagang yang telah beradaptasi di platform tersebut susah mencari pelanggan.
“Jadi kita harus bikin akun lagi, memulai dari nol lagi, cari followers lagi, susah jadinya,” jelas Fani, ditemui di kiosnya di lantai dua CTA.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyampaikan, praktik social commerce sebetulnya bukan hal baru. Namun, kata Tauhid, pemerintah memang perlu memisah antara sosial media dan e-commerce agar terjadi keadilan.
“Regulasi ini kan mengatur pengembangan inovasi digital lebih adil antara sosmed dan e-commerce. Harapannya mungkin TikTok tidak jadi platform jual beli tapi sosmed biasa aja,” kata Tauhid kepada reporter Tirto.
Kendati demikian, pemerintah perlu mengacu data soal seberapa terdampak konsumen terpengaruh pada praktik dagang di TikTok. Hal ini agar bisa ditimbang kebijakan apa yang dapat diambil, apakah semacam pelarangan total atau cukup dibatasi dengan regulasi tertentu.
Tauhid menambahkan, memang tidak ada regulasi yang akan menguntungkan semua pihak, oleh karena itu harus dilihat keputusan mana yang tidak lebih banyak menimbulkan dampak merugikan.
“Dilihat itu lebih banyak yang ruginya karena TikTok apa untungnya? Kalau yang rugi lebih besar, tapi untungnya sedikit, ini harus equal. Menurut saya batasan harus ada, TikTok dilarang (berjualan) atau dibatasi dengan aturan tertentu,” ujar Tauhid.
Tauhid menekankan, jika pemerintah mengambil opsi melarang TikTok melakukan praktik social commerce, harus ada jalan keluar bagi pedagang yang telah untung di TikTok. Selain itu, disediakan platform lain agar pedagang yang sudah sukses beradaptasi secara daring, dapat mengajari pedagang lainnya yang masih konvensional.
Keputusan pemerintah harus bisa menjembatani antara pedagang, konsumen, dan penyedia platform. Regulasi yang jelas perlu diatur, agar pedagang tidak ikut buntung setelah susah payah beradaptasi dengan iklim digitalisasi. Atau sebaliknya, tidak gulung tikar imbas digitalisasi yang tidak dikawal pertumbuhannya.
“Mencari jalan keluar bagaimana mereka yang tidak terlibat, dapat terlibat di kapasitas yang sama,” terang Tauhid.
Respons TikTok dan Pemerintah
Head of Communications TikTok Indonesia, Anggini Setiawan menilai, wacana pemerintah memisahkan antara sosial media dan e-commerce bisa merugikan pedagang di platform TikTok.
“Memisahkan media sosial dan e-commerce ke dalam platform yang berbeda bukan hanya akan menghambat inovasi, namun juga akan merugikan pedagang dan konsumen di Indonesia,” kata Anggini kepada reporter Tirto.
Anggini mengklaim, saat ini ada dua juta bisnis lokal di Indonesia yang terdaftar sebagai pengguna TikTok untuk tumbuh dan berkembang melalui praktik social commerce.
“Kami berharap pemerintah dapat memberikan kesempatan yang sama bagi TikTok,” terang Anggini.
Dilansir Reuters, TikTok memiliki 325 juta pengguna aktif di Asia Tenggara setiap bulannya, dan 125 juta di antaranya berada di Indonesia. Menurut data dari konsultan Momentum Works, Indonesia menyumbang 52 miliar dolar transaksi e-commerce pada 2022. Dari jumlah tersebut, 5 persen terjadi di TikTok, terutama melalui fitur siaran langsung.
Sementara itu, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki mengklarifikasi pernyataannya yang menyebut TikTok melakukan monopoli. Teten berdalih, ia hanya bermaksud membandingkan regulasi media sosial dan e-commerce dalam negeri dengan yang ada di Cina.
“Saya bilang, di Cina itu ada aturan kebijakan platform digital tidak boleh monopoli. Di sana dipisah (antara media sosial dan e-commerce),” kata Teten kepada wartawan di Kantor KemenKop UKM, Jakarta, Kamis (14/9/2023).
Ia menekankan, Indonesia perlu mengikuti Cina soal regulasi tersebut. Kebijakan memisahkan media sosial dan e-commerce di Cina, klaim Teten, membuat 90 persen ekonomi digital di negeri Tirai Bambu tersebut dikuasai pasar lokal.
Maka dari itu, Teten menyatakan, peraturan soal perekonomian digital ini, tengah digodok melalui revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE).
Revisi regulasi tersebut, masih dalam pembahasan bersama Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Pratikno.
“Saya bersama Pak Mendag, Pak Bahlil, kita bahas ini. Kemarin dikoordinasikan oleh Mensesneg,” ungkap Teten.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz