tirto.id - Nada bicara Hermawati Setyorinny sedikit kesal ketika mengetahui kebijakan Bank Indonesia (BI) memberlakukan biaya Merchant Discount Rate (MDR) Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) sebesar 0,3 persen. Kebijakan baru tersebut diketahui sudah berlaku efektif sejak awal Juli 2023.
Puncak kekesalannya bertambah begitu kembali mengetahui ada batasan-batasan yang diberikan bank sentral untuk setiap transaksi pembelian menggunakan QRIS. Tarif MDR yang dikenakan pada UMKM ditetapkan gratis atau nol persen untuk transaksi maksimal Rp100 ribu. Sedangkan nilai transaksi di atas itu baru dikenakan tarif 0,3 persen.
“Kalau bikin kebijakan dikaji lagi deh. Ini masih setengah-setengah hatinya untuk UMKM,” ujar Hermawati yang juga Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro Kecil Dan Menengah Indonesia (IUMKM) Akumandiri saat dihubungi Tirto, Rabu (26/7/2023).
Menurut dia, adanya batasan-batasan tersebut, sama dengan mengekang para pelaku usaha mikro. Padahal di sisi lain, Indonesia membutuhkan daya beli yang tinggi untuk membantu meningkatkan perekonomian nasional.
“Dengan batasan Rp100 ribu itu malah mengekang pelaku usaha mikronya ya. Orang hanya dibatasi oke kamu beli hanya Rp100 ribu supaya aku tidak kena potongan 0,3 persen. Kan intinya cuma itu," ujar dia.
Kebijakan tersebut sangat tidak sejalan dengan tujuan awal Bank Indonesia dan pemerintah. Di mana, pada awal berlakunya QRIS ditujukan sebagai alternatif metode pembayaran digital.
Pelaku UMKM, lanjut dia, bahkan memiliki niat yang cukup kuat untuk menggunakan QRIS. Selain mudah dan praktis dalam penggunaan, tidak memerlukan kontak fisik dan aman bagi pedagang dan pembeli.
“Padahal inginnya untuk menggenjot market UMKM itu adalah go digital. Tapi ini kok dibatasi untuk pembayaran keuangannya jadi kayak orang menabrak kebijakannya sendiri," jelasnya.
Ketika kebijakan ini benar-benar diberlakukan, maka pertanyaannya, kata dia, adalah bagaimana mitra itu mengetahui bahwa pembelian Rp100 ribu tidak kena tarif 0,3 persen, sementara orang belanja di atas itu kena tarif. Artinya, mereka harus menunggu akumulasi total pembayaran atau pembelian selama satu hari terlebih dahulu.
“Itu yang bikin kok ini kebijakannya buat saya masih belum oke," ujarnya.
Logikanya, lanjut dia, jika pemerintah mengharapkan agar seluruhnya ingin menggunakan QRIS yang buat aman kedua belah pihak, mestinya nilainya dikecilkan. Karena semakin banyak orang menggunakan, biasanya biaya maintenance dari Penyedia Jasa Pembayaran (PJS) semakin kecil.
“Logikanya kan begitu. Jadi pertanyaan saya ini kok malah mengurangi daya beli masyarakat sehingga malah merugikan UMKM itu karena dibatasi pembeliannya," jelas dia.
QRIS Bakal Ditinggal Pedagang & Konsumen?
Herawati menekankan jika kebijakan tersebut tetap diberlakukan oleh BI, maka tidak menutup kemungkinan beberapa pedagang akan menyarankan konsumen untuk membayar tunai atau debit. Kondisi ini juga akan berdampak membuat pengguna meninggalkan QRIS, karena sekecil apa pun biaya yang dikenakan tetap akan terasa membebani pedagang apalagi UMKM.
“Cuma jangan salahkan nanti QRIS tidak banyak menggunakan. Tetap ada, tapi nanti tidak banyak menggunakan. Karena dengan berlakunya ini orang yang pembeliannya di atas Rp100 ribu akan menghindar. Tunai atau auto debet," jelasnya.
Ketua Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rio Priambudi mengatakan, pengenaan biaya QRIS ke pedagang dikhawatirkan juga berdampak kepada konsumen. Dia khawatir konsumen akan beralih kembali menggunakan uang konvensional ketimbang digital.
“Besar potensi konsumen akan kembali menggunakan uang konvensional yang tidak memberatkan konsumen dan tidak ada potongan," ujarnya kepada Tirto.
Sementara bagi UMKM, kata Rio, tentunya akan berpikir ulang kalau menggunakan layanan QRIS. Lantaran tetap dikenakan biaya layanan sebesar 0,3 persen meski ada batasan-batasan tidak dikenakan.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira justru meminta pemerintah dan BI mengembalikan semangat mendorong UMKM untuk transisi ke pembayaran digital. Salah satunya dengan menggratiskan MDR QRIS.
“Jangan sampai penyelenggaraan QRIS cari untung di tempat yang salah, dan membuat mundur transformasi digital," ujarnya kepada Tirto.
Dia melihat bahwa idealnya batas tidak kena MDR itu sebetulnya adalah Rp250 ribu ke bawah. Karena jika Rp100 ribu masih banyak juga UMKM yang merasa keberatan.
Penjelasan Bank Indonesia
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo Perry menuturkan, aturan ini sesuai dengan kebijakan bank sentral mempertajam strategi digitalisasi sistem pembayaran. Terutama untuk memperluas inklusi ekonomi dan keuangan digital.
Selain pembebasan tarif penggunaan QRIS di bawah transaksi Rp100 ribu, BI juga melakukan perluasan akselerasi perluasan fitur QRIS tuntas atau tarik tunai setor dan perluasan QRIS antarnegara.
Deputi Gubernur BI, Doni P Joewono menjelaskan, pembebasan biaya Merchant Discount Rate (MDR) QRIS tersebut berlaku di usaha mikro atau UMi.
“Kenapa Rp100 ribu? Tuh sudah kita hitung, kita ada data. Tadi kalimatnya Pak Gubernur (BI), QRIS tetap tumbuh, tapi pro rakyat kan," ujarnya.
Doni mengungkapkan biaya layanan QRIS untuk nominal Rp100 ribu ke bawah persentasenya cukup besar. Berdasarkan data BI, volume transaksi yang di bawah Rp100 ribu mencapai 70 persen dari UMi-nya, dan UMi sendiri itu 30 persen dari total hampir 27 juta merchant QRIS.
"Jadi, kira-kira itu pertimbangannya kenapa di bawah Rp100 ribu. Jadi, yang dibebaskan nol persen karena kita melihat sebagian besar daripada apa namanya (volume transaksi) QRIS itu adalah berada di bawah Rp100 ribu," pungkas dia.
Sementara itu, Hermawati justru mempertanyakan data volume transaksi yang disampaikan BI. Logikanya masyarakat sekali jajan atau ke mal bisa mengeluarkan transaksi lebih dari Rp100 ribu. Sehingga patut diragukan bahwa volume transaksi terbesar itu di bawah Rp100 ribu.
“Datanya dibuka tidak? Datanya tidak riil dibuka. Sekarang kebutuhan nilai-nilai belanja itu sudah beda seperti dulu," pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz