tirto.id - Iwan Kurniawan terpaksa mengubah pembayaran di tempat usahanya dari semula menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) kembali ke konvensional atau tunai. Peralihan pembayaran ini dilakukannya setelah kebijakan Bank Indonesia (BI) mengenakan biaya Merchant Discount Rate (MDR) QRIS sebesar 0,3 persen kepada pedagang sejak awal Juli 2023.
Iwan menyebut kebijakan BI mengenakan biaya MDR QRIS sangat memberatkan pedagang, meski secara nilai biaya dikenakan tidak terlalu besar. Namun, loginya jika setiap transaksi pembeli di tempatnya menggunakan QRIS, maka semakin banyak potongan yang dibebankan kepada pedagang.
“Selama ini tidak ada potongan (QRIS), tapi sekarang diberlakukan. Ini jelas akan memberatkan kita sebagai pedagang," ujar pria berusia 28 tahun itu kepada reporter Tirto, Selasa (11/7/2023).
Iwan sendiri memilih untuk tidak menaikkan harga setiap makanan dan minuman yang dijual kepada konsumen. Karena pertimbangannya jika harga jual dinaikkan, maka otomatis akan memberatkan konsumen dan membuat mereka lari ke tempat yang lain.
"Alternatifnya kami menyarankan mereka untuk bayar non-tunai,” kata dia.
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny tak menampik, biaya QRIS yang dikenakan akan memberatkan pedagang. Karena menurutnya sekecil apa pun biaya yang dikenakan tetap akan terasa bagi pedagang apalagi UMKM.
“Dengan penyesuaian kebijakan MDR 0,3 persen bagi UMKM, menurut saya kebijakan ini belum tepat karena selain kondisi ekonomi sekarang yang sedang sulit bagi UMKM ditambah beban biaya 0,3 persen yang harus ditanggung UMKM," ujarnya kepada Tirto.
Dia menuturkan kebijakan tersebut sangat tidak sejalan dengan tujuan awal Bank Indonesia dan pemerintah. Pada awal berlakunya, QRIS ditujukan sebagai alternatif metode pembayaran digital.
Pelaku UMKM, lanjut dia, bahkan memiliki niat yang cukup kuat untuk menggunakan QRIS. Selain mudah dan praktis dalam penggunaan, tidak memerlukan kontak fisik dan aman bagi pedagang dan pembeli.
“Beberapa pedagang setelah mengetahui pengenaan tarif layanan ini,lebih menyarankan konsumen membayar tunai atau debet. Tentu saja ini berdampak membuat pengguna meninggalkan QRIS,” kata dia.
Berdampak ke Konsumen
Ketua Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rio Priambudi justru menyayangkan kebijakan BI yang mengenakan biaya MDR QRIS sebesar 0,3 persen kepada pedagang. Karena kebijakan ini nantinya akan berdampak pula kepada konsumen.
“Tentu kami menyayangkan kalau nanti akhirnya kebijakan biaya tambahan dibebankan kepada konsumen," ujar dia kepada Tirto.
Dia menuturkan untuk melayani konsumen di era digital, para pelaku usaha dituntut harus terus berinovasi untuk memudahkan pelayanan transaksi terhadap konsumen. Bukan malah memberatkan konsumen atas kehadiran inovasi.
"Jangan sampai nanti penyedia layanan QRIS memotong transaksi tidak sampai satu persen, tapi pelaku usaha membebankan kepada konsumen lebih dari potongan merchant," ujarnya.
Oleh karena itu, Rio mendorong agar pemerintah membuat regulasi yang pro terhadap konsumen. Sehingga kebijakan yang diterapkan oleh operator tidak membebankan konsumen.
"Pemerintah bisa memanggil para penyedia layanan QRIS dan pedagang mencari solusi bersama agar konsumen tidak dibebankan akibat inovasi layanan kepada konsumen," ujarnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, saat ini setidaknya ada 25,4 juta UMKM menggunakan QRIS atau sekitar 40 persen dari total 65 juta unit UMKM yang tercatat pemerintah. Artinya, baik pelaku UMKM maupun konsumen sudah cukup nyaman transaksi via QRIS.
“Dengan hadirnya MDR 0,3 persen ke pelaku usaha dampaknya tentu cenderung negatif. Meski disebut tidak boleh tarif MDR QRIS dibebankan kepada konsumen, faktanya pengawasan kan susah ya," katanya kepada Tirto.
Menurut Bhima, skema MDR 0 persen tetap akan menguntungkan pihak jasa pembayaran dan perbankan karena bisa menawarkan layanan fee based income lainnya. Harusnya, BI berpikir bahwa begitu pelaku usaha dan masyarakat menggunakan QRIS, maka banyak layanan yang menambah pundi keuntungan yang bisa ditawarkan ke konsumen.
“Jadi bukan cari keuntungan lewat QRIS. Salah besar itu,” kata dia.
Dengan pengenaan biaya tersebut, lanjut dia, yang terjadi justru pelaku usaha akan memberikan dua opsi. Pertama, harga jual barang dinaikkan untuk kompensasi tarif baru. Kedua, pelaku usaha UMKM meminta kepada konsumen membayar menggunakan metode transaksi lainnya seperti uang tunai.
“Kalau sampai kembali lagi ke uang tunai maka upaya mendorong cashless menjadi mundur ke belakang,” kata dia.
Didesak agar Ditunda
Wakil Ketua DPR RI bidang Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Abdul Muhaimin Iskandar meminta, BI untuk menunda pemberlakuan biaya layanan QRIS bagi Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) sebesar 0,3 persen. Sebab, meski biaya layanan itu dibebankan kepada PJP, tapi tidak menutup kemungkinan bakal juga berdampak kepada pelaku usaha teruma UMKM serta para konsumen.
“Saya minta Bank Indonesia menunda pengenaan biaya transaksi QRIS 0,3 persen untuk mikro. Kembalikan lagi seperti semula (0 persen). Kalau ini tetap diberlakukan saya kira semua akan kena dampak, bukan cuma penyedia jasa, tapi pelaku usaha, UMKM, sampai konsumen juga pasti kena imbas," kata pria yang akrab disapa Cak Imin.
Ketum DPP PKB tersebut berujar, biaya layanan yang dibebankan dalam layanan QRIS juga dapat menghambat transaksi non tunai. Padahal, lanjutnya, transaksi non-tunai yang sedang digencarkan saat ini punya efektivitas dan efisiensi yang tinggi dibanding model transaksi tunai.
“Dampaknya juga tentu ke transaksi non-tunai, padahal ini kan lebih efektif dan efisien dibanding sistem pembayaran tunai. Belum lagi sekarang pelaku UMKM ini kan baru mulai bangkit pasca pandemi, janganlah dibebani dulu," kata Cak Imin.
Oleh karenanya, dia mendesak BI agar sebaiknya ditunda dulu pemberlakuan biaya layanan QRIS. "Ini ibarat kita mau naik motor biar cepat sampai, tapi ekor motornya diikat ke pohon. Ya enggak jalan," ujarnya.
Penjelasan Lengkap BI
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono menjelaskan, penetapan tarif sebesar 0,3 persen tersebut bertujuan untuk menjaga keberlanjutan (sustainability) penyelenggaraan layanan transaksi pembayaran untuk masyarakat, khususnya untuk mengcover biaya yang timbul.
"Penyesuaian MDR untuk pedagang usaha mikro (UMI) yang terakhir ini juga dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas layanan kepada pedagang dan pengguna," kata Erwin kepada Tirto.
Erwin menuturkan, biaya MDR dengan besaran yang dikenakan kepada pedagang UMI, lebih dimaksudkan untuk mengganti investasi dan biaya operasional yang telah dikeluarkan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam penyelenggaraan transaksi QRIS. Mulai dari Penyedia Jasa Pembayaran, Lembaga Switching, Lembaga Servis dan Lembaga Standar guna menjaga kualitas dan sustainabilitas penyelenggaraan layanan QRIS.
"Bank Indonesia tidak memperoleh porsi pendapatan dari MDR QRIS," ujarnya.
Dalam hal ini, lanjut Erwin, pedagang tidak boleh sama sekali membebankan biaya MDR kepada masyarakat pengguna QRIS. Mengacu pada Pasal 52 ayat 1 PBI 23/6/PBI/2021 Tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PJP): Penyedia Barang dan/atau Jasa dilarang mengenakan biaya tambahan (surcharge) kepada Pengguna Jasa atas biaya yang dikenakan oleh PJP kepada Penyedia Barang dan/atau Jasa
"Oleh karena itu, pedagang dilarang mengenakan biaya MDR atau biaya tambahan (surcharge) kepada pembayaran yang dilakukan oleh pengguna QRIS. Apabila menemukan pedagang yang mengenakan biaya tambahan tersebut, pengguna dapat melaporkan ke penyedia jasa pembayaran," jelasnya.
Menurutnya terdapat golongan merchant kategori khusus yang tidak dikenakan MDR yaitu merchant terkait transaksi Government to People seperti bansos, dan transaksi People to Government seperti pembayaran pajak, paspor dan donasi sosial (Nirlaba), termasuk tempat ibadah.
Erwin menambahkan, penerapan MDR QRIS UMI ini bukan berarti BI tidak menunjukkan keberpihakan Bank Indonesia terhadap usaha kecil. Penerapan MDR QRIS UMI ini dilakukan untuk menjaga keberlangsungan ekosistem penyelenggaraan layanan QRIS dalam jangka panjang. Termasuk meningkatkan kualitas layanan kepada pedagang dan pengguna.
“Pada akhirnya, kondisi ini akan menguntungkan para pelaku usaha kecil dan mendorong inklusi keuangan," jelasnya.
Dia mengklaim kebijakan biaya MDR QRIS ditetapkan dengan mempertimbangkan keberpihakan pada pedagang UMI. Sehingga MDR yang dikenakan termasuk yang paling rendah dari seluruh segmen pedagang yang dikenakan MDR dan masih lebih efisien dibandingkan biaya MDR dari metode pembayaran lainnya.
Kebijakan ini, kata Erwin, juga tidak akan mempengaruhi adopsi QRIS di Indonesia. Karena penetapan MDR QRIS bagi pedagang UMI adalah untuk memenuhi kebutuhan pengembangan standar kualitas layanan dan inovasi QRIS ke depan.
"Dengan kualitas layanan, inovasi dan keandalan QRIS yang lebih baik, akan mendukung kegiatan ekonomi pedagang usaha mikro yang pada akhirnya akan semakin meningkatkan adopsi QRIS," pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz