Menuju konten utama

Kecurangan Sistem PPDB yang Selalu Berulang, Apa Solusinya?

Kepala daerah diminta mengevaluasi seluruh jajarannya perihal adanya polemik PPDB di sejumlah daerah.

Kecurangan Sistem PPDB yang Selalu Berulang, Apa Solusinya?
Wali murid bersama calon siswa mengecek daftar nama siswa yang diterima di SMA N 1 Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Kamis (7/7/2022). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/rwa.

tirto.id - Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2023 kembali menjadi polemik. Baru-baru ini, tim khusus yang dibentuk Wali Kota Bogor, Bima Arya menemukan sejumlah modus manipulasi data kependudukan agar calon siswa bisa diterima pada PPDB sekolah favorit.

Banyak orang tua yang memindahkan alamat Kartu Keluarga (KK) anak mereka ke dekat sekolah favorit. Beberapa di antaranya yakni di SMPN 1 Kota Bogor dan SMAN 1 Kota Bogor.

Dari laporan yang ditemukan Timsus, terdapat 913 pendaftar SMPN yang memiliki indikasi bermasalah: sebanyak 763 pendaftar sudah dilakukan verifikasi faktual di lapangan, dan tersisa 150 sedang dalam progres.

Dari jumlah 763 pendaftar yang sudah di verifikasi faktual, ditemukan 414 pendaftar sudah sesuai aturan dan 155 pendaftar tidak sesuai aturan atau tak sesuai KK. Sedangkan sisanya masih dalam proses.

Sistem PPDB Buruk

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai, pelaksanaan PPDB 2023 ini kian buruk dibanding tahun-tahun sebelumnya. Selain manipulasi domisili, terdapat juga praktik jual beli kursi, pengurangan kuota, sertifikat prestasi abal-abal, hingga surat miskin palsu, terus menjamur dan terjadi di mana-mana.

Titik chaos-nya selalu saja terdapat pada tiga 'jalur surga', yakni jalur zonasi, jalur prestasi, dan jalur afirmasi. Karena itu, orang tua akan melakukan apapun untuk bisa masuk lewat jalur surga ini.

Jika mereka gagal, kata Ubaid, maka mereka harus tercebur di “jalur neraka”, yaitu terpaksa memasukkan anaknya di sekolah swasta dengan tagihan bulanan selangit, dan beragam uang sumbangan wajib yang tak jelas pula peruntukannya.

Padahal, banyak anak yang sebenarnya sudah mampu secara akademik dan umur untuk masuk SD harus terpental dan batal sekolah karena sistem ini. Menurutnya, inilah potret yang disebut sebagai pelayanan mendapatkan hak dasar pendidikan yang diskriminatif dan tidak berkeadilan.

“Biaya mahal baik pas masuk swasta, maupun tagihan bulanan, atau bisa jadi tarikan sumbangan wajib yang bersifat insidental. Ini sangat memberatkan orang tua," kata Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji kepada Tirto, Senin (10/7/2023).

Menurutnya, jalur zonasi, prestasi, dan afirmasi adalah jalur tipu-tipu. Jalur ini sengaja dipasang oleh pemerintah sebagai jebakan, supaya masyarakat lupa dengan haknya. Lalu, jika masyarakat melakukan kesalahan, pemerintah akan melakukan panjat sosial (Pansos) bak pahlawan kesiangan.

“Sistem PPDB yang semacam inilah yang jadi biang kerok pemicu kisruh tiap musim awal tahun ajaran baru di sekolah," ujarnya.

Kemudian, menurut JPPI, sistem seleksi PPDB tidak berkeadilan dan melanggar amanat konstitusi. Hal tersebut sudah jelas, berdasarkan Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 dan Pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas, bahwa pemerintah berkewajiban untuk memberikan jaminan dan kepastian semua anak Indonesia mendapatkan akses pendidikan yang layak dan berkeadilan.

"Sekarang jaminan itu tidak ada, yang ada malah jaminan mayoritas pendaftar tidak lulus seleksi, karena jumlah kursi sekolah negeri tak sebanding dengan jumlah pendaftar," imbuhnya.

Selaian itu, kata Ubaid, orang tua berhak untuk gugat pemerintah dan pihak sekolah. Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie), tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.

“Kebijakan sistem seleksi ini jelas melanggar konstitusi, dan juga menimbulkan banyak kerugian yang dialami oleh siswa dan orang tua, maka orang tua berhak untuk mengajukan gugatan di meja hijau,” kata dia.

Selain di Bogor, kasus PPDB juga terjadi di sejumlah daerah. Misalnya di dua SMA Kota Bandung terjadi dugaan kasus pungutan liar.

Ombudsman Jawa Tengah juga menerima laporan PPDB 2023. Salah satu kasus anak panti asuhan di Semarang yang hendak masuk SMK namun tidak masuk database. Lalu, Anak Tidak Sekolah (ATS) yang seharusnya punya jatah 3% di jalur afirmasi. Namun ada laporan di mana anak ATS yang datanya belum masuk.

Ombudsman RI juga pernah menemukan dugaan penyimpangan prosedur yang dimulai dari penerimaan peserta didik baru melalui jalur khusus dengan cara dititipkan oleh kader partai hingga permintaan uang yang dilakukan secara ilegal pada PPDB 2022.

Ombudsman pun pernah menemukan 60 orang yang ternyata menjadi peserta tambahan, di mana mereka melakukan kecurangan baik saat pendaftaran atau cara-cara lain di luar jalur yang ada.

Karena itu, kata Ubaid, kebijakan PPDB harus diubah. Jika dibiarkan, maka sangat mengkhawatirkan. Sebab, akan berdampak pada peserta didik akan berkutat dalam problem akses, banyak anak Indonesia yang tidak bisa lanjut dan putus sekolah.

Kemudian dari sisi kualitas, mutu pendidikan yang buruk akan berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) calon pemimpin negeri ini.

Apalagi kemarin survei integritas di sektor pendidikan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan di Indonesia, maka integritasnya kian buruk.

“Ini baru akses, belum lagi kita bicara soal kualitas, kita masih tertinggal jauh," tuturnya.

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) juga mengkritik hal tersebut. Dalam Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB Pasal 17 ayat 2 berbunyi: "Domisili calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling singkat 1 (satu) tahun sebelum tanggal pendaftaran PPDB."

Artinya, perpindahan alamat KK diperkenankan secara hukum maksimal satu tahun sebelum pendaftaran PPDB. Yang ilegal jika perpindahan kurang dari satu tahun.

"Di sisi lain, fakta menunjukkan kualitas sekolah di Indonesia belum merata. Menyebabkan orang tua masih berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah yang dianggap lebih unggul," kata Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G kepada Tirto.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga mengkritik terjadinya kecurangan pada sistem PPDB di Bogor. Padahal, manipulasi data dengan cara pindah KK tidak akan mudah terjadi jika sistem kependudukannya ketat, melalui mekanisme kontrol aparat kelurahan, kecamatan, dan dinas dukcapil. Mengingat, Kemendikbudristek menerapkan kebijakan PPDB sistem zonasi sudah sejak 2017 atau sudah berlangsung tujuh tahun.

“Apalagi sampai 20 anak dengan orang tua berbeda masuk dalam satu KK. Harusnya hal ini dapat diantisipasi dari awal oleh jajaran terkait," kata Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti melalui keterangan tertulisnya, Senin (10/7/2023).

Apa yang Harus Dilakukan?

Terkait polemik PPDB zonasi ini, JPPI mendesak agar pemerintah mengganti sistem seleksi PPDB dengan sistem undangan.

Pemerintah sudah punya data berapa anak usia sekolah, berapa yang lulus jenjang SD, SMP, dan SMA. Semestinya, mereka ini langsung diberikan undangan untuk bisa lanjut sekolah, bukan malah disuruh rebutan bangku sekolah dengan kemungkinan rata-rata kegagalannya adalah 60% di tingkat SMP dan 70% di tingkat SMA.

"Contoh sederhananya adalah seperti terjadi saat musim pemilu, semua rakyat dapat undangan untuk memberikan suara di TPS, jadi tidak perlu lagi seleksi masuk TPS, karena semua punya hak yang sama," kata Ubaid.

Kemudian PPDB sistem undangan bisa diterapkan berbasis hak anak berdasarkan zonasi dan pemerataan kualitas sekolah. Supaya semua terjamin bisa mendapatkan sekolah yang layak, tentu pemerintah harus melibatkan swasta karena daya tampung negeri yang terbatas (SMP 40% dan SMA 30% dari total kebutuhan).

"Penerapan ini, mensyaratkan dua hal utama. Pertama, kesepakatan pemerintah dan swasta soal pembiayaan yang mesti ditanggung pemerintah. Kedua, pemerataan kualitas supaya tidak terjadi penumpukan di sekolah-sekolah tertentu yang dianggap favorit atau unggulan," tuturnya.

Selain itu, kata Ubaid, pemerintah harus bertanggung jawab, bukan malah sibuk mencari kesalahan orang tua. Saat ini, yang terjadi di lapangan adalah orang tua melakukan praktik kecurangan untuk memperoleh haknya.

Kecurangan itu, lanjut dia, memang tidak boleh dilakukan. Tetapi pemerintah juga tidak boleh melepas tanggung jawab soal pendidikan. Sebab, mendapatkan akses ke sekolah adalah hak semua warga negara Indonesia.

“Pemerintah harus memastikan itu, bukan malah melakukan seleksi, yang menghasilkan ada yang lolos dan ada yang gagal," kata Ubaid.

Sementara itu, Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno meminta kepada kepala daerah untuk mengevaluasi seluruh jajarannya perihal adanya polemik PPDB di sejumlah daerah. Para kepala daerah dapat segera mengevaluasi jajaran terkait dan jatuhkan sanksi pada jajarannya jika ditemukan manipulasi data kependudukan, yang melibatkan jajaran birokrasi.

“Seharusnya masalah klasik seperti ini sudah dapat diatasi selama lima tahun menjabat, karena kelurahan, kecamatan dan dinas dukcapil merupakan anak buah langsung kepala daerah," ucapnya.

Kepala daerah juga harus nambah sekolah negeri. Setelah tujuh tahun PPDB Zonasi diterapkan, sejumlah kepala daerah sudah menambah jumlah sekolah negeri. Misalnya Kota Bekasi menambah 7 SMPN, Kota Tangerang menambah 9 SMPN, Kota Pontianak menambah 1 SMAN, Kita Depok menambah 1 SMAN, DKI Jakarta menambah 10 SMKN, dan lainnya.

Hal tersebut dilakukan karena para kepala daerah sadar bahwa sekolah negeri tidak banyak dan tidak merata penyebarannya, terutama SMP, SMA dan SMK. Kalau SDN jumlah relatif terpenuhi. Yang menyadarkan para kepala daerah menambah jumlah sekolah negeri adalah setelah kebijakan PPDB Zonasi.

Membangun sekolah negeri baru juga dapat dijadikan ukuran kesungguhan kepala daerah untuk memenuhi hak atas pendidikan warganya, yang tentu saja ada pemilihnya.

Pemerintah pusat melalui APBN juga menganggarkan pembangunan sekolah negeri jika pemerintah daerah mengusulkan dan memiliki lahan yang sesuai standar nasional Pendidikan, kata Retno.

“Pemerintah pusat hanya membangunkan gedungnya, tanahnya harus disediakan pemerintah daerah. Ini bentuk kolaborasi yang sangat patut didukung," ujarnya.

Selanjutnya, FSGI meminta kepala daerah harus kreatif dalam menerapkan PPDB sistem zonasi. Sebelum PPDB sistem zonasi diterapkan di Indonesia, jumlah sekolah negeri masih minim dan penyebarannya tidak merata.

Untuk itu, maka saat PPDB sistem zonasi diterapkan, selain menambah jumlah sekolah, jika belum memungkinkan maka sejumlah daerah menginisiasi berbagai cara untuk memenuhi hak atas pendidikan. Misalnya Pemprov DKI menerapkan PPDB bersama SMA dan SMK swasta yang pembiayaan peserta didik baru hingga lulus dicover melalui APBD.

Sementara itu Pemprov Sumatera Utara menerapkan zonasi khusus bagi calon peserta didik baru yang di zona tempat tinggalnya tidak ada sekolah negeri.

Ketika sudah tujuh tahun penerapan kebijakan PPDB sistem zonasi, banyak kepala daerah melalui dinas pendidikan memutar otak untuk meminimalkan masalah, potensi kecurangan, dan juga minimnya sekolah negeri. Apalagi saat ini mayoritas publik sudah dapat menerima PPDB sistem zonasi.

"Meski ada kekurangan, namun diakui bahwa sistem ini jauh lebih berkeadilan dan mendorong pemerintah pusat dan daerah membangun sekolah negeri baru tanpa membunuh sekolah swasta yang sudah adalah sudah berkontribusi lama bagi pendidikan selama ini," tuturnya.

Kemendikbud Beri Kewenangan Kepala Daerah

Plt Karo Humas Kemendikbudristek, Anang Ristanto mengatakan, dalam pelaksanaan dan pengelolaan PPDB di masing-masing daerah, pihaknya memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menerbitkan Petunjuk Teknis sesuai dengan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021.

"Hal ini dikarenakan pemerintah daerah yang paling mengetahui bagaimana kondisi serta apa yang menjadi kebutuhan terkait penyelenggaraan pendidikan di daerah masing-masing," kata Anang kepada Tirto, Senin (10/7/2023).

Kemendikbudristek mendukung pemda dan pemkot untuk melakukan koordinasi, audit dan evaluasi terhadap pelaksanaan teknis PPDB demi perbaikan pelaksanaan PPDB di daerahnya masing-masing.

Ia menjelaskan PPDB memiliki empat jalur seleksi, yaitu Zonasi, Afirmasi, Perpindahan Tugas Orang Tua/Wali, dan Jalur Prestasi. Keempat jalur tersebut bertujuan memberikan kesempatan yang adil dan sebesar-besarnya bagi peserta didik untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dengan tidak menjadikan keterbatasan ekonomi maupun kondisi disabilitas sebagai penghalang.

"Jadi jalur zonasi bukanlah satu-satunya jalur seleksi yang dibuka pada PPDB," ucapnya.

Menurutnya, jalur zonasi memiliki tujuan memberikan kesempatan yang adil bagi peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan yang terdekat dari domisilinya, serta mendorong kerjasama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk mewujudkan lingkungan belajar yang nyaman dan menyenangkan.

Jalur zonasi juga menjadikan demografi murid lebih beragam. Hal ini ikut mendorong pemerataan kualitas murid di masing-masing satuan pendidikan, serta mendorong agar guru-guru terus belajar dan meningkatkan kompetensinya.

“Tujuan yang ingin dicapai adalah penghapusan stigma negatif tentang layanan pendidikan berkualitas hanya ada di 'sekolah favorit' saja," kata Anang.

Baca juga artikel terkait PPDB atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz