Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Menimbang Pembatasan Masa Jabatan Ketum Parpol Cukup Dua Periode

Titi Angraini menilai pembatasan masa jabatan ketum parpol cukup dua periode akan mendorong demokratisasi internal partai.

Menimbang Pembatasan Masa Jabatan Ketum Parpol Cukup Dua Periode
Ilustrasi Partai Politik Peserta Pemilu. tirto.id/Ecun

tirto.id - Partai politik merespons beragam soal wacana pembatasan masa jabatan ketua umum parpol cukup dua periode saja. Hal ini tidak lepas dari uji materi Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Pemilu yang diajukan WNI asal Nias, Eliadi Hulu dan WNI asal Yogyakarta, Saiful Salim. Dalam judicial review, mereka meminta agar jabatan pemimpin partai politik hanya boleh maksimal dua periode.

“Sebagaimana halnya kekuasaan pemerintahan yang dibatasi oleh masa jabatan tertentu, demikian pula halnya dengan partai politik yang dibentuk atas dasar UU a quo dan juga merupakan peserta pemilu, sudah saatnya bagi siapa pun pemimpin partai politik untuk dibatasi masa jabatannya,” kata Eliadi dan Saiful dalam gugatannya dilansir dari situs resmi Mahkamah Konstitusi (MK) pada 26 Juni 2023.

Pemohon mencontohkan sistem kepemimpinan dua partai politik, yaitu PDI Perjuangan dan Partai Demokrat yang dinilai membentuk dinasti politik.

“Ketua Umum PDI Perjuangan sudah 24 tahun [menjabat] dan anaknya menjadi Ketua PDI Perjuangan. Adapun Partai Demokrat, dari Ketum SBY menurun ke anaknya, AHY dan SBY bergeser menjadi Ketua Majelis Tinggi," ujar Eliadi dan Saiful dalam gugatannya.

“Hal ini telah membuktikan adanya dinasti dalam tubuh parpol,” imbuhnya.

Eliadi dan Saiful menilai hal tersebut paradoks dengan tujuan kehadiran parpol sebagai pilar dan instrumen demokrasi untuk Indonesia. Oleh sebab itu, jabatan ketua umum partai perlu dibatasi.

“Menjadi paradoks bilamana status parpol sebagai tonggak, pilar dan penggerak demokrasi, namun tidak melaksanakan nilai dan prinsip dari demokrasi itu sendiri,” kata mereka.

Uji materi tersebut kemudian direspons beragam oleh partai politik. Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menilai, gugatan kedua WNI itu tidak masalah karena AD/ART partai sudah membatasi masa kepemimpinan ketua umum.

“AD/ART PPP sudah lama mengatur bahwa seseorang hanya dapat menjabat ketum PPP selama dua periode saja, di mana setiap periodenya maksimal lima tahun,” kata Arsul saat dihubungi reporter Tirto.

Pria yang juga Wakil Ketua MPR ini menilai, persoalan masa jabatan ketua umum partai adalah open legal policy atau kebijakan terbuka sesuai keputusan forum musayawarah partai. Ia menilai, MK maupun pembentukan undang-undang sebaiknya tidak ikut campur sesuai UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Ia beralasan, kebijakan itu merupakan kontrak antara pemangku kepentingan masing-masing partai.

“Nah, kalau pembentuk UU saja tidak ikut campur, maka hemat saya tidak pas juga kalau MK juga turut campur mengatur soal berapa periode orang jadi ketum parpol,” kata Arsul Sani.

Sementara itu, politikus PDIP, Deddy Sitorus menilai, permohonan tersebut tidak layak secara hukum. Ia mengatakan, putusan MK justru menandakan negara ikut campur dalam internal partai.

“Sama sekali tidak layak, itu sama saja meminta negara campur tangan urusan parpol atau masyarakat sipil," kata Deddy kepada reporter Tirto.

Sekretaris Tim Koordinasi Relawan Pemenangan untuk Ganjar Pranowo itu mengatakan, negara hanya boleh ikut campur terkait institusi atau organisasi yang merupakan perpanjangan tangan negara (state auxilary institutions).

“Kalau partai politik, itu kedaulatan anggota partai politik tersebut untuk mengatur soal kepemimpinan,” terang Deddy Sitorus.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Habiburokhman menghormati proses gugatan tersebut. Akan tetapi, ia mengingatkan bahwa partai politik bebas mengatur masa jabatan ketua umum partai sebagaimana AD/ART.

“Kan itu berdasarkan anggaran dasar masing-masing. Nggak ada yang melarang, kalau negara melarangnya lewat pengaturan undang-undang, itu perampokan namanya, perampok hak anggota partai politik menentukan ketumnya,” kata Habiburokhman.

Habiburokhman mengingatkan, 90 persen pembiayaan partai politik berdasarkan swadaya masing-masing partai. Kalau partai 100 persen dibiayai negara, maka pemerintah baru bisa mengatur hal tersebut.

Ia pun menduga gugatan tersebut sulit terealisasi karena legal standing tidak ada dan kerugian konstitusional secara nyata maupun potensial tidak ada.

“Mau mengaku warga ya silakan saja, secara formal menempuh. Tetapi menurut saya ini akan mentah," kata Habiburokhman.

Sedangkan para ketua umum partai enggan berkomentar soal permohonan gugatan jabatan ketua umum maksimal dua periode. Prabowo Subianto misal, menanggapi santai soal pengajuan gugatan ketua umum partai dibatasi 2 periode. Ia menilai semua dikembalikan kepada ketua umum partai.

“Itu kan sesuai anggaran dasar masing-masing partai," kata Prabowo yang juga ketua umum DPP Partai Gerindra saat ditemui di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (26/6/2023).

Ketua Umum DPP Partai Golkar, Airlangga Hartarto juga enggan menanggapi isu tersebut. Airlangga langsung menuju kendaraan pribadinya.

Begitu juga dengan Ketua Umum DPP PAN, Zulkifli Hasan yang enggan berkomentar saat ditemui usai kegiatan LKPP di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (26/6/2023). “BPK dulu ya," ujar Zulhas langsung masuk kendaraan.

Proses Demokratisasi Internal Parpol

Pegiat pemilu cum dosen kepemiluan di Universitas Indonesia (UI) Titi Angraini menyambut positif substansi permohonan para pemohon ke MK. Ia menilai hal itu akan mendorong demokratisasi internal partai karena partai berfungsi sebagai institusi kaderisasi dan regenerasi politik.

"Mestinya terbangun ekosistem internal yang demokratis yang mampu mendorong regenerasi kader melalui kepemimpinan yang menopang promosi kader untuk mengisi posisi politik strategis di kepemimpinan partai ataupun posisi publik lainnya,” kata Titi.

Akan tetapi, Titi ragu MK akan mengabulkan uji materi tersebut. Sebab, kata Titi, Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 menyebut bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

“Dengan demikian ranah pengaturannya berada pada ranah pembentuk UU. Apalagi soal masa jabatan ini juga dikenal ragam pengaturan, meski mayoritas adalah maksimal dua periode. Untuk kepala desa misalnya bisa sampai tiga periode," kata Titi.

Selain itu, Titi juga mengutip Pasal 22 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Aturan tersebut menyebut bahwa Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART.

“Jadi ada distorsi dalam konsep demokratis ini yang ditarik ke tataran internal partai melalui AD/ART, sehingga menjadi sangat beragam dan tidak terstandar. Mestinya, UU Partai Politik lah yang mengatur konsep kepengurusan yang demokratis itu, termasuk pembatasan masa jabatan ketua umum. Mengingat partai politik adalah institusi publik yang memperoleh sebagian dari pendanaannya dari keuangan negara yang bersumber dari APBN dan APBD," kata Titi.

Oleh karena itu, Titi beranggapan bahwa pengabulan undang-undang tersebut berkontribusi positif bagi penguatan demokrasi Indonesia. Walau MK akan cenderung menahan diri untuk mengatur soal kepengurusan partai politik, Titi menyarankan, MK bisa mengambil jalan tengah dengan memuat pertimbangan hukum agar pembentuk undang-undang mengatur lebih terukur soal demokrasi internal partai politik dan tidak memberi karpet merah sepenuhnya kepada partai politik melalui pengaturan dalam AD/ART.

“Apalagi UU Partai Politik sudah 12 tahun lebih tidak dievaluasi. Terakhir diatur melalui UU No. 2 Tahun 2011. Padahal banyak dinamika politik yang terjadi yang membutuhkan penyesuaian dalam konteks regulasi untuk mewujudkan partai politik yang moderen dan demokratis," kata Titi.

Sementara itu, analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo menilai, pembatasan periode akan menguntungkan bagi partai. Hal itu dilakukan agar partai tidak tergantung dinasti politik tetapi lebih pada meritokrasi dan prestasi kader.

Di sisi lain, rakyat juga akan mendapat kader potensial meski ada kemungkinan konflik internal partai. Ia menilai konflik internal akibat persaingan jika tidak dikelola dengan baik. Ia menilai dampak buruk berujung pada gangguan demokrasi.

“Jadi menurut saya ini pedang bermata dua. Nggak pasti akan sangat bermanfaat bagi demokrasi juga kalau tadi manajemen konflik di dalam partainya masih jelek,” kata Kunto kepada reporter Tirto.

Kunto menilai, partai politik perlu membuat indikator penilaian berdasarkan prestasi politik. Ia menilai partai akan mendapat orang kompeten.

“Tapi kalau ternyata ini kemudian tidak dibarengi manajemen konflik yang bagus, maka niscaya ini justru akan menaikkan orang-orang yang oportunis yang hanya menjadikan partai politik sebagai kendaraan sementara gitu. 2 tahun dia lompat lagi jadi ketua di sana dan itu bukan sebuah kemustahilan di Indonesia,” kata Kunto.

Kunto menilai, MK kecil kemungkinan akan mengabulkan permohonan tersebut. Ia beralasan hal itu akan mengganggu status quo partai politik dan dinamika politik.

“Yang kedua stabilitas politik saya pikir para elite ini percaya bahwa stabilitas politik hanya bisa dicapai oleh konsolidasi elite dan kalau elitenya berubah-ubah dalam waktu yang dekat, dua periode misalnya atau 10 tahun itu mereka akan khawatir stabilitas politik terganggu dan akhirnya bisa mempengaruhi negara dalam situasi makro,” kata Kunto.

Analis Politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago menilai, pembatasan jabatan ketum akan meningkatkan demokrasi dan tidak menghidupkan oligarki di parpol.

“Dengan dua periode ketum parpol, artinya regenerasi ada kepastian bahwa karier politik yang ada di internal juga akan lebih panjang dan ini memberi kepastian kepada para kader-kader terbaik untuk bisa bersaing untuk memperebutkan posisi ketua umum,” kata Arifki.

Arifki juga menilai, hal itu menarik karena kepentingan karier karena jaminan partai politik akan menguat. Ia beralasan kaderisasi akan kuat untuk memperebutkan kepemimpinan.

“Mau nggak mau orang akan menjadi terbaik untuk bisa menjadi bagian penting dalam partai politik karena ada karier yang juga perhatian sangat serius menempatkan mereka sebagai ketum parpol,” kata Arifki.

Akan tetapi, untuk posisi MK, ia yakin ada tarik menarik karena partai besar akan terganggu.

“Kalau bagaimana posisi MK itu tergantung bagaimana tarik menarik partai politik yang punya kepentingan karena ada partai politik besar yang juga merasa masih menjadi bagian oligarki partai politik, tapi juga akan mengincar paling tidak dalam artian mempengaruhi relasi ini untuk 2 periode karena ini juga akan mengganggu stabilitas politik internal apalagi partai politik yang memang dibangun oleh oligarki tertentu,” kata Arifki.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz