Menuju konten utama

Polemik Wisuda Jenjang Sekolah yang Dikeluhkan Para Wali Murid

Kemendikbudristek tengah menyiapkan surat edaran untuk merespons polemik wisuda di jenjang TK, SD, SMP hingga SMA.

Polemik Wisuda Jenjang Sekolah yang Dikeluhkan Para Wali Murid
Ilustrasi Wisuda. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Bocah-bocah berseragam putih-merah riang melompati genangan air sisa hujan semalam. Bel tanda istirahat baru saja berdering. Siang itu, puluhan anak di salah satu sekolah dasar (SD) di daerah Kemang, Kabupaten Bogor, berlarian menyerbu pedagang makanan. Di pelataran sekolah, berkumpul acak para wali murid yang setia menunggu buah hatinya mengenyam pelajaran.

Reporter Tirto menghampiri segerombolan wali murid yang berteduh di bawah pohon ketapang. Lima orang jumlahnya. Mereka asik mengobrol sambil menunggu bel pulang anak-anak sekolah. Kebetulan, mereka juga membicarakan topik yang ingin saya ajukan: soal polemik wisuda di jenjang sekolah yang dinilai memberatkan para orang tua.

Sari (47), salah satu wali murid tersebut, mendengungkan keluhan yang sama. Untuk biaya wisuda anak pertamanya yang baru lulus SD tahun lalu, ia tak menyangka nominal harga yang diminta sekolah cukup besar.

“Anak saya yang pertama tuh baru banget (wisuda). Buat persiapan wisuda dan dibayarkan ke sekolah sekitar 600 ribuan. Katanya buat partisipasi acara kayak panggung, perlengkapan dan lain-lain. Tapi bukan di sini [bukan sekolah yang saya datangi]” ujar Sari ditemui reporter Tirto, Senin (19/6/2023).

Sari menyayangkan, pihak sekolah tak memberitahukan terlebih awal bahwa prosesi wisuda anaknya membutuhkan biaya yang tak sedikit. Ia mengaku harus mencari tambahan uang untuk hari kelulusan anak sulungnya tersebut.

“Kaget tuh kirain kecil maksimal 300 ribu, eh taunya mahal. Nggak ada persiapan jadi pinjam dulu. Ya saya bukan orang punya,”kata Sari bercerita.

Polemik ini mulai ramai diperbincangkan di media sosial pekan lalu. Banyak orang tua yang mengeluhkan biaya wisuda anaknya di jenjang Taman Kanak-kanak (TK) hingga SD – bahkan SMA – yang menghabiskan biaya besar. Mereka menilai, hal itu terlampau berlebihan bahkan cenderung pemborosan untuk anak-anak di jenjang tersebut. Tak sedikit yang akhirnya mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) agar mengatur regulasi menghapus wisuda di jenjang sekolah.

Sementara wali murid yang lain, Nur (34) –bukan nama sebenarnya--, mengaku meski keberatan merogoh kocek gendut demi wisuda anaknya, ia senang melihat buah hatinya bergembira di hari kelulusan. Saat wisuda TK anak ketiganya, wanita yang juga seorang pedagang di loka market ini menghabiskan biaya hampir satu juta rupiah.

“Hampir sejuta. Delapan ratus sekian, anak saya di TK yang ada boarding-nya. Tapi sudah lengkap dengan pakaian, bayar panggung, uang perpisahan dan lainnya. Di luar rias, buat anak ya berat, tapi dicari,” kata Nur kepada reporter Tirto.

Seorang wali murid di gerombolan tersebut tiba-tiba menyela, “ya kan kalau kamu uangnya banyak,” celetuknya. Disambut gema tawa para wali murid yang lain.

Ada Potensi Pungli

Saya lanjut menemui seorang guru honorer sebuah sekolah SDN di daerah Parung, Kabupaten Bogor. Aldi, bukan nama sebenarnya – guru honorer itu – mengaku sering mengurus acara wisuda murid-murid di sekolah tempatnya mengajar. Pria berusia dua puluh lima tahun itu tak menyangkal, banyak wali murid yang mengeluh soal biaya wisuda yang mahal.

“Sebetulnya sebelum ramai masalah ini di medsos, sudah ada saja kasus gini di sekolah. Terakhir, di sekolah saya saat wisuda kelas enam banyak yang protes terkait biaya, sehingga harus dirundingkan,” ujar Aldi ditemui reporter Tirto di sebuah kedai kopi.

Selain itu, kata Aldi, tak jarang wali murid mengeluh kepada pihak sekolah karena dinilai tidak melakukan penganggaran terkait rencana wisuda muridnya. Padahal menurutnya, umum diketahui hanya sedikit sekolah yang memasukan wisuda dalam rencana anggaran tahunan sekolah.

Wisuda di jenjang sekolah juga tak jarang menjadi “lahan basah” guru tak bertanggung jawab yang memanfaatkan kesempatan ini untuk menjaring pungli. Aldi menuturkan, bahkan jenjang kelas yang tak diwisuda terkadang diminta ikut berpartisipasi menyumbang dana.

“Kalau pungli gitu sih pasti ada ya, oknum gitu walaupun sedikit ada yang mengambil untung. Mungkin dia merasa sudah capek ngurus, tapi itu harusnya sudah mulai berkurang karena keterlibatan wali murid dalam rencana wisuda,” jelas Aldi.

Di hubungi terpisah, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menilai, prosesi wisuda di jenjang sekolah tak menutup kemungkinan diwarnai praktik pungli.

“Biasanya jika ada potensi pungli itu datang dari penyelenggaraan yang dicetus guru, bukan orang tua. Jadi di situ ada peluang dibisniskan, kasihan yang tidak mampu. Bahkan misal, ada yang ditahan ijazahnya kalau tak ikut wisuda,” kata Satriwan kepada reporter Tirto.

Satriwan menyatakan, praktik pungli pada penyelenggaraan wisuda di sekolah akan menambah beban wali murid. Ia meminta pemerintah memberikan sanksi tegas pada sekolah yang melakukan pungli dan menahan ijazah murid.

“Itu harus diberi sanksi tegas. Karena anak sudah ikut ujian, sudah keluar nilainya harus dapat haknya (ijazah),” jelas Satriwan.

Berdasarkan temuan P2G di lapangan, kata Satriwan, rata-rata biaya penyelenggaraan wisuda di jenjang TK, SD, dan SMP bisa mencapai Rp500 ribu hingga satu juta rupiah. Bahkan untuk jenjang SMA, rata-rata biaya prosesi wisuda yang harus dibayar wali murid bisa mencapai lebih dari satu juta rupiah.

“Bahkan kami menemukan ada yang lebih dari dua juta rupiah (di tingkat SMA),” tambah Satriwan.

Perlu Diatur Pemerintah

Dengan jumlah uang yang tak sedikit tersebut, Satriwan menilai, perlu ada aturan dari Kemendikbudristek soal pelaksanaan wisuda di jenjang sekolah. Hal ini dinilai perlu, agar wali murid tak dibebankan dengan biaya segudang.

“Jadi kami menyarankan ya, ini harus diatur. Kepada Kemendikbudristek ini harus diatur. Bisa melalui surat edaran atau regulasi semacamnya. Yang mengatur mana yang diperbolehkan, mana yang tidak. Misalnya, pertama wisuda itu bersifat tidak wajib. Kemudian dari segi anggaran (wisuda),” tegas Satriwan.

Ia menilai, pelaksanaan wisuda di jenjang TK, SD dan SMP juga tidak perlu dilakukan. Menurut Satriwan, kegiatan tersebut tidak berpengaruh pada kompetensi murid.

“Kenapa? Satu memberatkan. Kedua, ini tidak berkorelasi dengan kompetensi dan akademik anak. Apalagi kita lihat prosesi wisuda di level ini cenderung seremonial saja,” ujarnya.

Adapun bagi prosesi wisuda di jenjang SMA, Satriwan menyatakan, masih mendukung pelaksanaan tersebut, namun dengan catatan telah diatur regulasinya oleh pemerintah.

Ia menyarankan, sekolah jangan membebani biaya wisuda para murid SMA di akhir kelulusan, namun bisa dimasukkan ke pembayaran uang pangkal awal agar tidak memberatkan orang tua.

“Makannya harus ada aturan tidak ambigu dari Kemendikbudristek. Misalnya, sekolah yang mendapatkan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), diambil sebagian dari dana tersebut agar tidak memberatkan orang tua. Atau wisuda tidak hanya seremonial tapi harus ada sisi edukatifnya,” tambahnya.

Setali tiga uang, Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menyatakan, hingga saat ini belum ada peraturan resmi dari pemerintah terkait pelaksanaan seremoni kegiatan wisuda pada jenjang TK, SD hingga SMA, bahkan Perguruan Tinggi (PT).

“Yang ada sementara ini hanya ketentuan dari pimpinan lembaga pendidikan seperti kepala sekolah/madrasah atau rector, itu pun atas persetujuan orang tua, dan bersifat tidak wajib,” ujar Retno dihubungi reporter Tirto.

Retno berujar, pemerintah perlu lebih sensitif dalam hal menyikapi wisuda di jenjang sekolah. Menurutnya, isu ini sudah lama diperbincangkan dan perlu segera diatur dalam sebuah regulasi.

“Setidaknya Kemdikbud mengeluarkan edaran bahwa wisuda tidak wajib sehingga sekolah tidak membuat program wisuda yang seolah-olah wajib dan orang tua meyakini bahwa kegiatan tersebut tidak berhubungan dengan kebijakan pemerintah,” sambung Retno.

Agar wisuda tidak memberatkan, kata Retno, Kemendikbudristek dapat membuat surat edaran yang berpedoman pada aturan yang sudah ada. Misalnya dalam Permendikbudristek No 50 Tahun 2022 Tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi siswa Jenjang SD hingga SMA.

“Misalnya kemudian merujuk atau mengatur seragam atau pakaian wisuda. Semisal wisuda dapat dilakukan hanya dengan menggunakan seragam khas sekolah yang telah dimiliki siswa,” saran Retno.

Kemendikbud Siapkan Surat Edaran

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbud-Ristek, Anindito Aditomo menyampaikan, pihaknya menegaskan kegiatan wisuda di jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah tidak boleh dijadikan kegiatan wajib yang memberatkan orang tua/wali murid.

Nino, sapaan akrabnya, juga mengingatkan satuan pendidikan agar selalu mendiskusikan dan melakukan musyawarah dalam menentukan kegiatan bersama dengan melibatkan orang tua/wali murid.

“Hal ini sebagaimana amanat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 Tentang Komite Sekolah,” ujar Nino kepada reporter Tirto.

Ia menegaskan pihaknya telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah agar prinsip-prinsip di atas bisa dijalankan dengan baik, terutama di sekolah-sekolah yang komposisi sosial-ekonominya beragam. Terkait polemik ini, Nino menyatakan, pihaknya tengah menyiapkan surat edaran untuk merespons isu tersebut.

“Nanti akan ada surat edaran resmi (terkait wisuda di sekolah) dari Kemendikbudristek,” tutupnya.

Baca juga artikel terkait WISUDA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz