tirto.id - Indonesia mempunyai waktu selama 18 bulan untuk melakukan “perlawanan” sebelum Uni Eropa mengimplementasikan kebijakan anti deforestasi European Union Deforestation Regulations (EUDR). Karena dengan adanya kebijakan EUDR, seluruh produk kehutanan dan pertanian (termasuk peternakan) Indonesia nantinya harus melewati proses due diligence sebelum bisa masuk ke Uni Eropa.
EUDR setidaknya menyasar enam komoditas di Indonesia. Mulai dari minyak sawit dan produk turunannya, kopi, kedelai, kakao, daging sapi, dan kayu. Selain itu, karet, kertas, kulit dan produk turunannya juga termasuk dalam kategori yang dibatasi EUDR. EUDR menerapkan sistem label pada negara tertentu yang dibagi menjadi high risk, standard, dan low risk country.
Tujuan dari Uni Eropa ini sebetulnya baik. Mencegah laju deforestasi global dengan cara membatasi masuknya produk-produk yang diduga dihasilkan melalui proses produksi yang menyebabkan deforestasi. Namun di sisi lain, kebijakan ini justru menjadi kekhawatiran bagi Indonesia dan beberapa negara lain yang notabene adalah penghasil sawit terbesar di dunia.
Indonesia sendiri menempati urutan pertama sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Pada 2022, Indonesia tercatat menghasilkan 48,24 juta ton CPO per tahunnya, dengan luas perkebunan kelapa sawit seluas 16,38 juta ha. Dengan jumlah tersebut, Indonesia tercatat sebagai produsen kelapa sawit lebih dari 55 persen penghasil sawit dunia (ITC 2022a, FAO 2022).
Sementara Malaysia merupakan produsen terbesar kedua sebagai penghasil kelapa sawit di dunia. Negara ini mampu menghasilkan minyak sawit (CPO) sekitar 18,11 juta ton pada 2021. Jika dilihat dari produksi hasil kelapa sawit dunia, maka Malaysia merupakan penghasil kelapa sawit dunia sebanyak 26 persen (Aman, 2022).
“Jangan sampai komoditas-komoditas yang dihasilkan oleh Malaysia, oleh Indonesia didiskriminasi di negara lain," kata Presiden Jokowi saat memberikan keterangan bersama Perdana Menteri Malaysia Datuk Sri Anwar Ibrahim di Malaysia, pada Kamis (8/6/2023).
Jokowi bahkan mengajak Perdana Menteri (PM) Malaysia, Anwar Ibrahim untuk memperkuat kolaborasi antara kedua negara dalam melawan berbagai diskriminasi yang diberlakukan terhadap kelapa sawit. Kedua negara menilai kebijakan ini dapat menghambat akses komoditas kelapa sawit ke pasar Uni Eropa serta berpotensi merugikan para petani kecil karena terbebani persyaratan regulasi tersebut.
“Saya sangat menghargai baru-baru ini dilakukan joint mission Indonesia-Malaysia ke Brussel dan kolaborasi semacam ini harus terus diperkuat," ujarnya.
Dalam lawatannya ke Belgia, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto sempat menyampaikan sejumlah perlawan terkait perlakuan diskriminatif Uni Eropa terhadap minyak sawit. Kebijakan tersebut dinilainya berdampak negatif pada industri, perdagangan, dan para petani kecil (smallholders) kelapa sawit.
Airlangga memandang, kebijakan EUDR tersebut juga telah mengecilkan upaya Indonesia yang berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan menyangkut isu perubahan iklim hingga perlindungan biodiversity. Ini sesuai dengan kesepakatan perjanjian dan konvensi multilateral seperti Paris Agreement dan UN 2030 SDG Agenda.
“Negara anggota CPOPC secara ketat sudah mengimplementasikan berbagai kebijakan di bidang konservasi hutan. Bahkan level deforestasi di Indonesia turun 75 persen pada periode 2019 – 2020. Indonesia juga sukses mengurangi wilayah yang terdampak kebakaran hutan menjadi 91,84 persen,” ungkap Airlangga dalam acara Luncheon Meeting yang diselenggarakan di Brussels, Belgia.
Airlangga menambahkan bahwa standar national sustainability yang dimiliki Indonesia dan Malaysia melalui ISPO Dan MSPO perlu mendapatkan pengakuan. Sehingga seharusnya EUDR bisa memberi jalan kepada produk kelapa sawit yang sudah bersertifikat ISPO ataupun MSPO.
Pada sesi tanya jawab, juga diangkat beberapa fitur ketentuan EUDR antara lain yang menyangkut persyaratan Geolocation Data, labelling negara-negara menjadi high risk, standard dan low risk yang menjadi salah satu permasalahan bagi negara produsen minyak sawit seperti Indonesia dan Malaysia. Selama isu ini belum mencapai titik tengah yang dapat diterima kedua pihak, maka dipandang sulit untuk palm oil diterima di Uni Eropa.
Geolocation data ini terkait juga dengan privasi data. Oleh sebab itu, berbagai ketentuan turunan EUDR perlu dibahas bersama dengan melibatkan seluruh stakeholders terkait (policy maker, industri, smallholders dan civil society/NGOs) termasuk bersama Uni Eropa dengan membentuk platform multistakeholders agar dampak negatif EUDR dapat ditangani dan diminimalisir atau dihilangkan.
Potensi Penurunan Ekspor
Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI), Fadhil Hasan menilai, aturan EUDR diterapkan Uni Eropa jelas merupakan sikap diskriminatif. Di samping juga bentuk dari upaya menghambat perdagangan ekspor Indonesia ke negara-negara Eropa.
“Karena aturannya itu didorong oleh berbagai lobi (kelompok) anti sawit di Eropa. Selain itu dampaknya juga akan dirasakan negara-negara terbesar sawit, terutama smallholders yang tersingkirkan dari supply chain karena mereka tidak memiliki kemampuan dan kesiapan untuk bisa mendapatkan verifikasi,” kata dia saat dihubungi Tirto, Selasa (13/6/2023).
Dari sisi ekspor, Fahdil menyebut kebijakan Uni Eropa jelas akan menurunkan permintaan pasar. Berdasarkan catatan GAPKI, selama ini Indonesia mengekspor minyak sawit atau CPO ke Eropa mencapai 3,75 juta ton. Jika ini dihambat, maka selain menurunkan nilai ekspor juga bisa mematikan petani sawit kecil.
“Dari produksi sawit di Indonesia 40 persen datangnya dari petani dan petani kan akan berkurang ekspornya. Kapasitas petani 40 persen dari 3,75 juta ton kira-kira,” ujarnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan volume ekspor negara-negara Uni Eropa mencapai 2,05 juta ton pada 2022. Volume ekspor tersebut turun 23 persen dibandingkan 2021 yang mencapai 2,66 juta ton.
Pada 2022, Spanyol menjadi negara tujuan ekspor minyak sawit terbesar di Indonesia yakni, sebesar 622 ribu ton. Angka tersebut menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 985 ribu ton. Tak hanya Spanyol, Italia juga termasuk negara tujuan ekspor minyak sawit terbesar di Indonesia yakni sebesar 594 ribu pada 2022. Angka tersebut menurun dari tahun sebelumnya yakni sebesar 620 ribu ton.
Selanjutnya, terdapat Belanda yang juga menjadi salah satu negara tujuan ekspor sawit terbesar di Indonesia yang mencapai 429 ribu ton pada 2022. Angka tersebut menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 497 ribu ton. Yunani juga menjadi salah satu negara tujuan ekspor terbesar di Indonesia yang mencapai 108 ribu ton pada 2022 ton. Angka tersebut naik, dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 84 ribu ton.
Lalu terakhir, terdapat negara German yang juga menjadi salah satu negara tujuan ekspor minyak sawit terbesar di Indonesia yang mencapai 36 ribu ton pada 2022. Angka tersebut turun, dibandingkan pada tahun sebelumnya yang mencapai 99 ribu ton.
Dengan adanya hambatan dan potensi penurunan ekspor tersebut, GAPKI akan menjajaki pasar lain selain Eropa. "Kita melakukan disertifikasi pasar salah satunya ke Asia, Rusia, Kazakhstan, Timur Tengah yang mungkin kita coba penetrasi," kata dia.
Gertakan Eropa
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah berpendapat bahwa kebijakan EUDR yang ingin diimplementasikan Uni Eropa adalah bagian dari gertakan saja. Sebab, ia menilai posisi Eropa saat ini dalam posisi yang sulit.
Dari sisi energi misalnya. Eropa saat ini tengah mengalami kesulitan lantaran harus membayar mahal impor gas dari Amerika. Akibat biaya mahal tersebut, berujung pada inflasi yang sangat tinggi dan resesi di dalam negeri mereka.
Oleh karena itu, di tengah kesulitan Uni Eropa berupaya untuk memainkan isu lingkungan agar mendapatkan posisi bargaining yang cukup. Tujuannya, kata Piter, agar komoditas yang mereka butuhkan bisa mendapatkan nilai lebih murah.
“Kita maklumi itu. Tetapi kita tidak mau kebijakan itu merugikan kita. Jadi kita harus bertahan. Karena isu mereka mainkan itu sangat tidak relevan," ujarnya kepada Tirto.
Seperti diketahui, minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) Indonesia kerap menjadi perdebatan dunia internasional karena isu deforestasi. Namun, Indonesia berhasil membuat kemajuan dengan menurunkan deforestasi secara signifikan.
Awal mula CPO Indonesia tertiup angin kurang segar diawali pada laporan Time Toast, pada 1 Januari 2007, bahwa organisasi PBB menilai produksi minyak sawit sebagai penyebab utama deforestasi di Indonesia, di mana pembalakan liar dan penanaman kelapa sawit lazim terjadi di 37 dari 41 taman nasional.
Dampak dari deforestasi ini tentunya tidak kecil. Mulai dari berkurangnya hutan primer (hutan yang belum pernah disentuh oleh manusia), punahnya spesies yang dilindungi dan keanekaragaman hayati, serta pemanasan global. Hal ini jelas mengkhawatirkan mengingat hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru dunia.
Akibat hal itu, pada April 2017, Parlemen Uni Eropa menerbitkan resolusi tentang minyak kelapa sawit dan deforestasi hutan hujan. Tujuan akhirnya yakni melarang impor kelapa sawit yang tidak sesuai dengan pembangunan berkelanjutan, serta produk turunannya pada 2020 ke wilayah UE. Resolusi tersebut juga mendesak agar minyak kelapa sawit tidak dimasukkan pada kategori bahan baku dalam program biodiesel UE pada 2020.
Pada awal 2019, Eropa menerbitkan Delegated Regulation yang merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II), di mana kelapa sawit dianggap sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan atau dikenal dengan deforestasi atau indirect land-use change (LUC).
Dalam situs resmi Europa.eu, RED II telah menargetkan pengurangan emisi karbon hingga 40 persen pada 2030. Demi mencapai target tersebut, Uni Eropa berupaya untuk mengurangi konsumsi biodiesel sawit secara berangsur-angsur dan akan menghentikannya secara total pada 2030.
“Sebenarnya mereka (Eropa) tidak punya data mengatakan mana hasil deforestasi sekarang atau puluhan tahun lalu. Kalau mau omong kaya gitu apa yang dilakukan mereka terhadap kebun mereka hasil deforestasi puluhan tahun lalu kita tidak bisa menggunakan isu deforestasi," jelasnya.
Menurut Piter, tidak ada satupun hasil komoditas yang tidak membabat hutan dahulunya. Oleh karenanya, kejelasan ini lah yang perlu dibawa Pemerintah Indonesia bersama dengan negara penghasil komoditas lainnya untuk diperdebatkan kepada Eropa.
“Kita bisa bergabung dengan negara lain dan sangat dibutuhkan adalah diplomasi kita. Karena ada beberapa komoditas kita dominan misal CPO lebih dari separuh pasokan global dari Indonesia. Ini posisi yang bisa kita mainkan. Saya kira sejauh ini pemerintah sudah memainkan lah posisinya," pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz