Menuju konten utama

Warisan Surya Paloh soal Cara Nasdem Gaet Pemilih Muda Gen Z

Willy Aditya menjelaskan adab politik yang dibangun Surya Paloh terkait kultur egaliter sebagai salah satu strategi partai menggaet pemilih Gen Z.

Warisan Surya Paloh soal Cara Nasdem Gaet Pemilih Muda Gen Z
Header Wansus Willy Aditya. tirto.id/Tino

tirto.id - Perubahan lanskap pemilih pada Pemilu 2024 membuat sebagian besar partai di Indonesia harus mengatur ulang strategi yang harus digunakan. Tak terkecuali Partai Nasdem yang terkenal dengan motonya "Restorasi Indonesia."

Redaksi Tirto, diterima oleh Ketua DPP Partai Nasdem, Willy Aditya, pada Rabu (17/5/2023). Saat itu Kantor DPP Nasdem (Nasdem Tower) sedang ramai dikerubungi oleh awak media setelah beberapa jam sebelumnya, Sekretaris Jenderal DPP Partai Nasdem, Johnny G Plate ditahan oleh Kejaksaan Agung imbas dugaan kasus korupsi Base Transceiver Station (BTS) milik Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi atau Bakti Kominfo.

"Jangan tanya saya soal itu (Johnny G Plate), silakan tanya Pak Ketum (Surya Paloh)," kata Willy saat kami ajukan sejumlah pertanyaan mengenai nasib Sekjennya tersebut.

Akhirnya di tengah hiruk pikuk tersebut, Willy hanya bersedia menjawab pokok persoalan mengenai strategi partainya untuk menggaet anak muda. Salah satu yang ia ceritakan adalah panggilan "kakak" yang disematkan untuk setiap pengurus atau kader Nasdem.

Menurutnya, panggilan akrab seperti "kakak" ke sesama kader ini menunjukkan sisi egaliter Partai Nasdem. Ramah kepada anak muda, dan tidak ada kepangkatan antara junior dan senior.

Selain itu, Willy juga meminta anak muda untuk kritis terhadap pemerintah. Tidak hanya sekedar menerima terhadap setiap ucapan yang disampaikan oleh pemerintah, namun berani mengujinya dengan logika.

Berikut petikan wawancara kami dengan Willy Aditya di Lantai 11, Nasdem Tower bersama Irfan Amin, Fahreza Rizki, dan Andhika Krisnuwardhana.

Partai Nasdem akrab dengan sapaan "kakak" kepada sesama kadernya, apa makna panggilan tersebut bagi Anda dan bagi kader Nasdem lainnya?

Kita di sini menjadikan panggilan kakak sebagai akrab dan sapaan. Di sini juga ditunjukkan tidak ada birokratisme, kalau kita pagi ke sini jam 08.30 WIB, Pak Surya sudah nongkrong di Orator Cafe. Teman-teman kemudian merapat di sana.

Kemudian Pak Surya ngobrol dengan siapa pun tanpa pilah pilih. Mau yang muda atau yang tua. Jadi proses membangun sebuah adab atau kultur politik yang baru memang sangat dibutuhkan. Sebab, Nasdem, seperti yang saya bilang bahwa kita tidak memiliki common experience.

Bahkan anggota di Nasdem cukup njomplang, ada yang bussinessman, mantan anggota parpol, ada juga yang mantan aktivis seperti saya. Ada yang sudah lama, ada yang belum pernah sama sekali berpartai.

Tidak ada istilah 'anak kos' di sini. Sebab, Nasdem menjadi konsekuensi logis sebagai partai yang terbuka. Sama seperti Puskesmas yang non diskriminasi. Spirit itu kita hargai. Seperti dia baru masuk hari ini akan sama-sama dipanggil kakak dan equal right. Hanya dibedakan pada tugas dan fungsinya saja.

Partai Nasdem didirikan oleh Surya Paloh yang sudah malang melintang di dunia politik? Apa jaminan partai ini mau berpihak pada anak muda untuk berpolitik?

Partai Nasdem memang diniatkan untuk menjadi sebuah melting pot.

Semua yang baik dari proses berpartai sebelumnya dituangkan di sini (Nasdem). Semua yang jelek yang negatif yang destruktif dari partai sebelumnya, kita tinggalkan. Inilah tempat pertobatan dari perjalanan politik Pak Surya.

Jadi Pak Surya dalam pidatonya, kita harus belajar dari partai sebelumnya yang sudah eksis. Belajar dalam artian sebagai sebuah adab yang baru. Ini bukan hal yang ringan. Ini memiliki semua kendala. Dalam perspektif sosiologis ada hal yang dominan.

Seperti memanggil kakak itu sebagai bagian dari upaya untuk meredusir kultur lama dan kita bangun yang baru. Seperti tanpa mahar. Itu banyak yang mencibir, karena Bang Surya deklarasi tanpa mahar. Akhirnya, banyak yang bilang kalau orang yang tidak loyal sama kita karena kita tidak minta mahar.

Apa pengalaman Surya Paloh soal anak muda yang kini diwariskan kepada kader-kader Nasdem?

Pak Surya hanya mengatakan: "Man, Bro, muda hanya sekali. Tidak pernah muda dua kali. Kalau muda bisa dua kali saya juga pengen muda." Maka kemudian itu menjadi momentum emas, dan itu the premium time, kalian optimalkan sebaik mungkin. Salah itu wajar, tapi jangan sekalipun kurang ajar.

Pak Surya melihat anak muda yang masuk ke sini (Nasdem Tower), di-challenge olehnya. Seperti diajak ngobrol. Itu untuk melihat dan memberikan sebuah adab yang baru, karena seperti anak muda disuruh magang dulu atau sebagainya tapi di sini tidak ada. Tidak ada proses yang hierarkis, seperti itu tidak ada.

Dengan asumsi pendidikan orang dewasa seperti membuat kopi. Ada yang membawa gelas, membawa gula, membawa kopi dan membawa air panas. Kita berkontribusi dengan kemampuan.

Pak Surya mengatakan mungkin beliau lebih senior secara usia. Tapi soal jejaring soal lapangan itu menjadi konteks dan mengisi satu dan lain hal. Itu menjadi semangat zaman yang kolaboratif. Sehingga kepercayaan dan proses pendelegasian sangat luar biasa.

Willy Aditya

Ketua DPP Partai Nasdem, Willy Aditya. (Tirto.id/Andhika Krisnuwardhana)

Seberapa serius DPP Nasdem bidang kepemudaan dalam menggaet anak muda? Apakah anak muda Nasdem diberi kesempatan untuk menjadi pengambil keputusan?

Kalau itu semua partai memiliki bidang partai dan kepemudaan. Hampir semua partai punya sayap pemuda. Nasdem punya sayap mahasiswa. Punya saya milenial, namanya Millenial Nasdem. Itu struktur yang sifatnya piranti, kalau dia tidak memiliki bensin, tidak memiliki spirit, tidak memiliki etos, tidak memiliki elan. Dia hanya menjadi gimik saja.

Ada 12 orang anggota DPR Fraksi Nasdem yang berusia di bawah 30 tahun. Itu menunjukkan dia tidak hanya di level discourse, atau di level afirmasi tapi diwujudkan dan diperjuangkan dan diberi fasilitas seperti saya, Taufik Basari, Martin Manurung dan diberi kebebasan Pak Surya untuk berkreasi dan diberi asuransi sebagai representasi partai dan bisa gathuk (cocok), kalau kata orang Jawa.

Spirit Nasdem anak muda diberi kepercayaannya seperti Ketua Bappilu itu Prananda. Ada kepercayaan yang diberikan untuk menggerakkan partai ini. Kepala daerah juga sama.

Pendelegasian di seluruh level dan menjadi motor utama dari proses perubahan. Proses untuk perubahan, dari native dan historis adalah bahwa penggerak negara itu adalah anak muda. Kalau mengutip Ben Anderson, Indonesia yang menjadi motor penggerak perubahan adalah anak muda.

Hasil survei CSIS menunjukkan anak muda memiliki ketertarikan pada pemimpin yang punya fokus konkret pada isu pemberantasan korupsi dan bukan lagi politik pencitraan, bagaimana tanggapan Anda?

Berarti ada lompatan secara kualitatif, artinya tradisi berpikir kritis di generasi milenial terbangun. Karena kita tidak bisa hanya berpegang pada sesuatu yang diomongkan orang. Tapi itu terkonfirmasi dan memiliki tatakan dan jejak rekam siapa orangnya. Seperti orang bisa ngomong orang suka air tapi dia tidak suka renang.

Kalau sekarang kita punya jejak digital yang tidak bisa dihapus, kita juga seharusnya punya rekam jejak yang menjadi landasan dalam memilih pemimpin sehingga tidak sekedar ngomong doang. Generasi hari ini tidak hanya melihat yang impresionis. Sebab, saat ini kita hidup di era digital yang penuh dengan rekayasa. Oleh karena itu, kita cek saja rekam jejaknya.

Kita harus lihat itu dan konfirmasi apakah orang itu benar dan sesuai tidak dengan rekam jejak di masa lalu. Itu butuh landasan berpikir kritis. Ruang pendidikan tidak cukup untuk membangun ruang kritis. Seperti ada orang yang dapat nilai agama 10 tapi kelakuannya bejat. Literasi itu penting dan kita konfirmasi saja karena pemimpin butuh orang yang visioner dan solutif.

Kalau dia jadi kepala daerah, apakah menghasilkan program atau tidak. Kita lihat bagaimana narasi Abu Bakar Ash Shidiq, kalau anaknya bertanya akan dimatikan lampunya karena menggunakan uang negara. Kalau sekarang sudah tidak ada pemisahan antara Res Privata dan Res Publica.

Anak muda harus berdiri paling depan dan menjadi moral obligation, sehingga kita beli kucing dalam karung. Kita memilih yang orangnya dalam satu kata dan perbuatan.

Willy Aditya

Willy Aditya. tirto.id/Andhika Krisnuwardhana

Pemilih muda, Gen Z dan milenial sangat dekat dengan isu kesejahteraan dan lapangan kerja, bagaimana tanggapan Anda?

Politik itu didasari oleh tindakan publik yang dilakukan di ruang publik demi kepentingan publik. Bukan nama pribadi, bukan keluarga dan bukan jabatan. Itu adalah collective action by public. Selain kebutuhan pokok, sandang pangan dan papan, selain itu adalah pendidikan dan kesehatan.

Hari ini kita miskin, bahkan absen dari proses dialog tentang isu yang pro rakyat. Ada dua hal yang bisa menjadi acuan, orang hanya membaca Machiavelli "Il Prince" yang bertemakan politik dan kekuasaan. Tapi dia punya sebuah karya legendaris yang berjudul politik kerakyatan, "How to See Power" untuk membaca kesejahteraan publik.

Dalam konteks ini apa yang absen. Sebab, kita terjebak dalam isu yang fans club, ada yang fans Ganjar, fans Anies atau fans Prabowo lalu siapa yang menguji gagasan untuk menjadi presiden lalu apa idenya. Seperti kepuasan kepada presiden 78 persen tapi indeks kemiskinan juga 78 persen.

Kita saat ini harus mengajak anak muda dalam literasi, kita harus mengevaluasi potensi bangsa saat ini. Jangan malah mau revolusi stunting tapi malah mau memberi insentif untuk kendaraan listrik.

Ada dorongan dari Nasdem untuk menerbitkan kuota khusus anak muda seperti kuota khusus perempuan?

Nasdem memperjuangkan proses pencabutan deparpolisasi di dalam kampus, dan karena mereka yang menjadi tulang punggung dalam proses demokrasi. Kami juga memberikan sejumlah kuota bagi sayap pemuda Partai Nasdem, seperti kepada Garda Pemuda, Liga Mahasiswa Nasdem.

Dalam proses kandidasi dan itu terjadi, pasti ada Liga Mahasiswa Nasdem yang maju menjadi calon di setiap tingkatan. Dan mereka menjadi sumber rekrutmen. Kami juga me-launching Nasdem memanggil, silakan datang dan kami menggunakan tools scientific approach sebagai salah satu instrumen seleksi.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - News
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Maya Saputri