Menuju konten utama
Periksa Data

Menakar Kemungkinan Golput Pemilih Muda pada Pemilu 2024

Menurut survei Litbang Kompas, angka keinginan Gen Z untuk secara sengaja dan sadar menjadi golput pada pemilu 2024 relatif rendah.

Menakar Kemungkinan Golput Pemilih Muda pada Pemilu 2024
Header Periksa Data Seberapa Antusias Anak Muda untuk Ikut Memilih dalam Pemilu. tirto.id/Quita

tirto.id - Sebagai kelompok dominan dalam pemilihan umum (pemilu) serentak 2024, suara anak muda dianggap punya kontribusi besar untuk menentukan masa depan bangsa. Hal itu tentu erat kaitannya dengan persoalan antusiasme mereka menggunakan hak pilih pada pemilu nanti.

Berdasar hasil survei Litbang Kompas terhadap 1.202 respondenselama 25 Januari – 4 Februari 2023, terlihat bahwa Generasi (Gen) Z atau kelompok usia 17 – 26 tahun cenderung tidak ingin menjadi bagian dari golongan yang antipati terhadap proses pemilu, alias golput.

Angka keinginan dari responden Gen Z untuk secara sengaja dan sadar menjadi golput atau tidak akan menggunakan hak pilih pada Pemilu 2024 relatif rendah. Tercatat hanya 0,6 persen Gen Z, dibanding 1 persen dan 1,3 persen kelompok Milenial Muda dan Milenial Tua yang berniat golput. Litbang Kompas sendiri mengategorikan Milenial sebagai responden berusia 27 – 33 tahun.

Namun, apabila dirinci dari segi level pemilihan, Gen Z yang berminat untuk terlibat sekaligus, yakni memilih pasangan calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres), partai politik, dan calon anggota legislatif (caleg) sebesar 67,8 persen. Angka itu lebih rendah jika dibanding antusiasme memilih capres-cawapres, partai, dan caleg di kalangan Milenial Muda (77,9 persen) dan Milenial Tua (73,1 persen).

Antusiasme pemilih Gen Z cenderung tertuju pada kontestasi pemilhan presiden (pilpres). Jika memilih ketiganya sekaligus antusiasme Gen Z lebih rendah, maka sebaliknya, ketika menyangkut pilpres, antusiasme Gen Z nampak lebih tinggi dibanding generasi di atasnya, Milenial.

Masih menukil Litbang Kompas, responden Gen Z yang berniat menggunakan hak pilih pada pemilu nanti hanya untuk pilpres tercatat sebanyak 8,6 persen, lebih tinggi ketimbang Milenial Muda (5,5 persen) dan Milenial Tua (2,5 persen).

Perlu dicatat, di samping yang sudah memantapkan pilihan, masih ada beberapa Gen Z dan Milenial yang belum tahu apakah akan menggunakan hak pilihnya nanti. Persentasenya masing-masing 12,4 persen (Gen Z), 7,1 persen (Milenial Muda), dan 13,4 persen (Milenial Tua).

Lantas, seperti apa partisipasi politik pemilih muda pada pemilu-pemilu sebelumnya? Apa sebenernya alasan golput di kalangan pemilih muda?

Partisipasi Pemilih Muda Meningkat dari Pemilu 2014 ke 2019?

Studi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada September 2022 menunjukkan adanya peningkatan persentase partisipasi politik pemilih muda dari Pemilu 2014 ke Pemilu 2019. Temuan itu didasarkan pada data analisis sampel yang sudah mempunyai hak pilih dalam Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Dalam Pemilu 2014, jumlah sampel yang sudah memiliki hak pilih sebesar 688 dari 1.192 sampel, dan sebesar 981 dari 1.192 sampel dalam Pemilu 2019.

Pada Pemilu 2014, sebanyak 85,9 persen responden mengatakan ikut memilih, 11,8 persen sisanya mengaku tidak memilih, dan 2,3 persen lainnya tidak menjawab. Persentase partisipasi pemilih muda pada pemilu tercatat naik pada tahun 2019, di mana sebanyak 91,3 persen responden mengatakan mereka ikut memasukkan suara pada Pemilu 2019, disusul 8 persen tidak memilih dan 0,7 persen tidak menjawab.

Survei CSIS tersebut dilakukan dengan metode wawancara tatap muka terhadap 1.192 pemilih muda (berusia 17—39 tahun) yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.

Adapun temuan CSIS tentang partisipasi politik pemilih muda naik pada Pemilu 2019 dibanding Pemilu 2014 senada dengan data nasional Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam “Statistik Politik” tahun 2014 dan 2019 publikasi Badan Pusat Statistik (BPS).

Merujuk data KPU tersebut, secara umum, persentase partisipasi masyarakat dalam pemilu legislatif melonjak, dari 75,11 persen pada Pemilu 2014 menjadi 81,69 persen pada Pemilu 2019. Namun demikian, jika melihat tren Pemilu sejak 1955, tren partisipasi masyarakat dalam pemilu legislatif cenderung terus merosot. Pemilu 2014 menjadi momentum partisipasi publik merangkak naik.

Begitu juga pada pemilihan tingkat presiden dan wakil presiden. Terlihat ada tren kenaikan partisipasi pada Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2019 dibanding empat tahun sebelumnya. Menurut Statistik Politik 2019 yang dikeluarkan BPS, partisipasi masyarakat dalam Pilpres 2019 berada di level 81,97 persen, sementara pada 2014 angka partisipasinya hanya menyentuh sekira 70 persen.

Faktor Teknis Dominasi Alasan Golput Gen Z

Selain CSIS, tingkat partisipasi Gen Z spesifiknya pada Pemilu 2019 juga dipotret UMN Consulting—lembaga riset milik Universitas Multimedia Nusantara. Survei UMN Consulting ini melibatkan total 802 responden berusia 15 – 24 tahun di area Jabodetabek pada periode Februari 2023. Survei lembaga ini menunjukkan, sebanyak 48,25 persen Gen Z menggunakan hak pilih mereka pada pemilu 2019. Sisanya, sejumlah 4,86 persen memutuskan golput dan 46,88 persen belum memiliki hak pilih pada tahun tersebut.

Menariknya, di antara Gen Z yang golput pada Pemilu 2019, alasan yang mendominasi yaitu faktor teknis seperti berhalangan hadir di hari pemilihan karena alasan pribadi, berhalangan hadir lantaran berada di daerah luar Daftar Pemilih Tetap (DPT), dan tidak punya atau tidak memperoleh kartu pemilih.

Selain itu, alasan politis seperti tidak percaya bahwa Pemilu akan membawa perubahan atau perbaikan dan visi misi kandidat tidak sesuai dengan ideologi juga termasuk dalam lima besar faktor dominan yang menyebabkan Gen Z memutuskan untuk golput.

Analis Politik dari Universitas Airlangga Hari Fitrianto menilai, golput bagaimanapun merupakan bagian dari pilihan sadar dan tidak bisa dianggap sebagai kegagalan dari demokrasi. Menurutnya, yang tidak boleh itu golput lantaran kesalahan administrasi dari penyelenggara sehingga hak pilihnya hilang.

Menurut Hari pula, yang menjadi penting adalah KPU, pemerintah, atau legislatif meregulasi tindakan golput. Dia lebih sepakat agar partai politik atau kandidat eksekutif lebih peka dengan tuntutan golput.

“Itu kita fasilitasi di surat suara, jadi berikan satu kotak, yang orang bisa dengan sadar dia pilih golput, jadi bukan salah coblos, atau salah contreng, tapi memang pilihan politik dia, melalui refleksi dan gagasan kritisnya,” kata Hari saat diwawancarai Tirto, Rabu (26/4/2023).

Libatkan Anak Muda: Upaya Mendorong Partisipasi

Dalam rangka meningkatkan kesadaran para pemilih muda mengenai pentingnya memilih, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Semarang telah mengambil langkah, salah satunya dengan melibatkan kaum muda sebagai penyelenggara adhoc, baik sebagai Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan (Panwaslu).

Menurut Novi Maria Ulfah selaku anggota KPU Kota Semarang, upaya itu bisa mendorong partisipasi pemilih muda yang aktif di media sosial.

“Kami memberikan kesempatan itu karena kaum muda ini aktif di media sosial, dan memiliki kreativitas yang lebih tinggi sehingga bisa mengajak pemilih muda lainnya agar tidak golput,” ujarnya saat menjadi pembicara pada siaran RRI Semarang dengan tema Kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk Pemilu 2024.

Di samping KPU Kota Semarang, KPU RI pun mencoba beradaptasi dengan karakter anak muda, utamanya dalam hal menyebarluaskan informasi seputar kepemiluan

Anggota KPU August Mellaz lewat acara “Sumbang Suara Kaum Muda dalam Peran Menciptakan Pemilu 2024 Damai yang Bermartabat” menyampaikan, pihaknya tengah merumuskan sejumlah modul informasi pemilu yang disesuaikan dengan target sasaran yakni anak muda.

“Nah, termasuk misalnya, kami juga akan ada semacam lomba karya tulis gitu, yang melibatkan suara Milenial, harapannya terhadap Pemilu 2024, bagaimana kemudian partai politik 2024 dan termasuk pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang diharapkan,” katanya, Jumat (17/2/2023).

August bilang, pemilih muda tumbuh dengan genetika yang berbeda dan ramah dengan pemanfaatan dan penggunaan teknologi informasi. Dengan kata lain, anak muda punya akses yang besar dan mudah terhadap informasi.

“Mau tidak mau, suara anak muda akan menentukan bagaimana kemudian para aktor yang terlibat dalam pemilu baik dia partai politik, kemudian pasangan calon presiden-wakil presiden, temasuk calon anggota legislatif baik yang DPR sampai kemudian provinsi dan kabupaten/kota dan DPD, mau tidak mau, dalam program yang nanti akan dikampanyekan atau ditawarkan, mau tidak mau harus merancang suara-suara anak muda, termasuk kami KPU,” tambahnya.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Politik
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty