Menuju konten utama

Agar Golput Tak Merajalela, Cermati Kebutuhan Milenial & Gen Z

Selain mendominasi piramida penduduk, kaum milenial dan centenial juga merajai Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Agar Golput Tak Merajalela, Cermati Kebutuhan Milenial & Gen Z
Petugas memeriksa Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kelurahan Petojo Selatan, Jakarta, Selasa (16/4/2019). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.

tirto.id - Indonesia memasuki era bonus demografi, di mana kaum muda mendominasi piramida penduduk, serta Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pelaksana dan peserta pemilu mesti pandai membaca kebutuhan dan aspirasi mereka jika tak ingin golput merajalela di 2024.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, pada akhir Semester I 2022 (per 30 Juni 2022) jumlah penduduk Indonesia tercatat 275,4 juta jiwa.

Mayoritas adalah penduduk usia produktif—yang terkategori generasi milenial dan generasi Z, yakni 15-64 tahun mencapai 190,8 juta jiwa atau 69,3%. Penduduk usia anak dan remaja (0-14 tahun) sebanyak 67,2 juta jiwa (24,39%) dan sisanya penduduk lansia (usia 65 tahun ke atas) yakni 17,4 juta jiwa (6,31%).

Generasi milenial lahir antara tahun 1987-1996 atau saat ini berusia 28-43 tahun, sementara generasi Z atau centennial lahir antara tahun 1997-2012 atau yang sekarang berumur 12-27 tahun.

Kedua generasi tersebut merupakan kunci dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden 2024, menurut Manajer Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas Toto Suryaningtyas dalam diskusi yang digelar oleh Lembaga Kajian Opini Publik (LKOP) awal pekan ini.

“Kelompok milenial dan generasi Z atau yang kita kenal dengan istilah centenial dan milenial, ini mengalami perkembangan pesat dua kali lipat pada Pemilu 2024 mendatang. Mereka menunjukan angka yang fantastis, yaitu menyumbang 60% suara dari total pemilih yang terdaftar,” tuturnya dalam webinar LKOP, Senin (28/11/2022).

Mengacu pada data Komisi Pemilihan Umum (KPU), milenial dan centenial memang diestimasi memiliki suara yang siginfikan, dengan total hak pilih lebih dari 50%, yakni 15,82% atau 30,1 juta milenial dan 35,59% atau 67,8 juta centenial.

Dus, di atas kertas keduanya menjadi penentu Pemilu 2024, dengan catatan mereka tidak terjangkiti fenomena apatisme politik yang berujung pada pilihan abstain (golongan putih/golput).

Sejumlah Warga yang Golput Pilih Liburan ke Ragunan

Sejumlah pengunjung Taman Margasatwa Ragunan yang mengantri membeli tiket di loket saat libur hari Pemilu 2019, Rabu (17/4) siang. tirto.id/Tony Firman

“Bila tidak di-manage, suara kelompok ini juga bisa menjadi delegitimasi bagi penyelenggaraan pemilu” ujar Lolly Suhanty Komisioner Bawaslu ini dalam kesempatan yang sama.

Oleh karena itu, KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024 harus mampu menarik perhatian mereka dengan mempelajari karakteristik serta kebutuhan milenial dan generasi Z, dan menawarkan program dan visi yang menjawab kebutuhan tersebut.

Karakteristik Milenial dan Centenial

Karakteristik pertama dan paling mendasar kaum milenial dan generasi Z (centenial) adalah keduanya tumbuh dengan menggunakan teknologi sebagai perpanjangan diri mereka sendiri, atau dapat dikatakan bahwa teknologi menjadi kebutuhan mendasar mereka.

Oleh karena itu, baik milenial dan generasi Z sering disebut sebagai digital natives. Sebutan ini dapat dibuktikan dari fakta bahwa generasi ini memiliki tingkat penetrasi internet rerata di atas 80%, jika mengacu pada data Asosiasi Penyelenggara jasa Internet Indonesia (APJII).

Hasil survei APJII tahun 2022 menyebutkan bahwa remaja Indonesia dengan rentang usia 13-18 tahun memiliki penetrasi internet tertinggi, yakni mencapai 19,16%. Lalu, rentang usia 19-34 tahun menyusul dengan penetrasi 98,64% dan rentang usia 35-54 tahun memiliki penetrasi 87,3%.

Dari rentang usia tersebut terlihat bahwa milenial dan centenial, yang memiliki rentang usia 12-43 tahun masuk dalam kategori usia dengan penetrasi internet di posisi tiga teratas.

Karakteristik melek teknologi ini jugalah yang membuat kedua generasi tersebut lebih memiliki kemawasan terhadap isu global, seperti misalnya isu perubahan iklim dan anti-perang.

Infografik Pandangan Milenial terhadap Dunia

Infografik Bagaimana Milenial Memandang Dunia

Selain itu, mereka juga memiliki ketertarikan pada platform pembelajaran online. Penelitian IDN berjudul “Indonesia Millennial Report 2022” dan “Indonesia Gen Z Report 2022” menyatakan bahwa 1 dari 3 generasi ini tertarik pada online learning platform.

Karakteristik kedua adalah fleksibilitas. Meskipun fleksibilitas merupakan hal yang didambakan hampir semua generasi, tapi bagi generasi ini tanpa fleksibilitas maka bagi akan sulit untuk melibatkan mereka secara aktif.

Dalam dunia kerja, fleksibilitas bagi generasi muda dapat diilustrasikan sebagai jam kerja yang fleksibel, work-life balance, atau kontrak kerja yang tak begitu mengikat.

Lembaga penelitian asal Amerika Serikat (AS), Gensler, menyebutkan bahwa 79% pegawai muda (milenial dan generasi Z) menginginkan kerja jarak jauh, baik sepenuhnya atau hybrid. Hasil survei serupa juga ditemukan pada generasi muda Indonesia.

Studi Deloitte pada tahun 2019 menyebutkan bahwa setidaknya 52% pegawai muda menginginkan fleksibilitas jam dan lokasi bekerja, misalnya kerja secara remote.

Berbeda dari generasi sebelumnya, generasi muda kurang tertarik pada program kepemilikan rumah atau mobil karena artinya mereka harus bekerja lebih lama atau terikat di satu perusahaan.

Karakteristik ketiga adalah memiliki jiwa wirausaha yang cukup tinggi. Hasil penelitian Ernst & Young’s tahun 2015 terkait generasi Z menyebutkan bahwa 62% responden memiliki keinginan untuk memulai perusahaan mereka sendiri ketimbang bekerja untuk entitas perusahaan.

Studi IDN juga memperkuat temuan tersebut, karena 76% milenial dan 64% generasi Z dikatakan memiliki ketertarikan untuk menjadi wirausaha, terlebih lagi jika mereka berasal dari golongan pendapatan kelas atas.

Mengutip laporan Techwire Asia, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyebutkan bahwa generasi milenial memiliki ketangguhan dan budaya kewirausahaan yang tinggi, sehingga berpotensi melahirkan “millennial-preneurs” (pengusaha milenial) baru yang unggul di kancah global.

Jiwa kewirausahaan tinggi ini terkait erat dengan karakteristik mereka yang kreatif dan ingin lingkungan atau sarana untuk menuangkan kreativitas tersebut. Dalam studi Deloitte, Direktur SDM BI Dicky Kartikoyono menilai salah satu kunci menarik generasi muda adalah dengan memberi ruang kreativitas.

Bagaimana Menangguk Suara Mereka?

Berdasarkan penjabaran karakteristik milenial dan centenial di atas, maka hal pertama yang harus dilakukan KPU, Bawaslu dan partai politik untuk menarik simpati kedua konstituen usia muda ini adalah melalui pendekatan media sosial, selain media massa.

Kampanye blusukan seperti yang ramai dilakukan era sebelumnya, bakal kurang sesuai untuk menarik perhatian generasi digital native tersebut, jika tidak secara efektif terkomunikasikan di media sosial.

LKOP mencatat peluang menggarap kedua generasi tersebut kini menjadi fokus KPU dan Bawaslu, yang telah mengembangkan program menekan angka golput semaksimal mungkin. Misalnya program Bawaslu bertajuk 'Bergerak Mengawasi Pemilu dengan Asyik.'

Di kalangan parpol, program yang diusung semestinya tak lagi cuma menjanjikan stabilitas ekonomi, tetapi harus mampu memenuhi kebutuhan dasar milenial dan centenial, yakni fleksibilitas kerja dan kesempatan berwirausaha.

Pandemi Covid-19 membuktikan bahwa sangat mungkin bagi mereka untuk bekerja jarak jauh tanpa harus ke kantor. Hal yang sama juga terlihat dari aktivitas perdagangan dan sistem pendidikan yang bisa diakses online tanpa perlu melakukan kunjungan offline.

Iustrasi WFH

Ilustrasi Work From Home. foto/istockphoto

Selain itu, pandemi juga memberikan ruang lebih bagi kaum muda meningkatkan skill, dan menyalurkan kreativitas serta jiwa wirausaha mereka. Kondisi inilah yang semakin mendorong generasi muda tersebut menuntut aturan ketenagakerjaan yang fleksibel dengan tak mengurangi aspek kesejahteraan.

Kemudian agar dapat mengeksplorasi kreativitas dan jiwa wirausaha, partai politik mestinya berlomba-lomba mengusung program pemberdayaan ekonomi kreatif, membangun inkubator-inkubator bisnis, pemberdayaan sektor UMKM dan startup, dlsb.

Meski terdapat beberapa persamaan, kedua generasi ini juga memiliki perbedaan karakteristik yang kuat. Studi yang dikembangkan Diena Dwidienawati dan Dyah Gandasari berjudul “Understanding Indonesia’s Generation Z,” menyebutkan bahwa kondisi sosial dan periode ekonomi yang berbeda telah membentuk perbedaan karakter antara milenial dan centenial.

Milenial lahir pada saat kondisi ekonomi negara-negara dunia sedang sejahtera, sebaliknya generasi Z lahir pada saat kondisi resesi. Hal ini secara tidak langsung membuat milenial lebih condong sebagai risk taker (berani mengambil risiko) sedangkan generasi Z sebagai risk averse (cenderung menghindari risiko).

Penelitian Diena dan Dyah juga menyebutkan bahwa mayoritas responden mereka, yakni sebesar 79%, menyebutkan bahwa jaminan kerja (job-security) itu penting. Lalu 49% di antaranya menyatakan bahwa mereka mencari pekerjaan dengan pendapatan stabil.

Perbedaan karakter keduanya juga perlu menjadi pertimbangan bagi parpol yang berlaga di 2024 untuk merancang produk “jualan” mereka, jika ingin melihat tingkat partisipasi pemilih yang besar.

Baca juga artikel terkait MILENIAL atau tulisan lainnya dari Dwi Ayunintyas

tirto.id - Bisnis
Penulis: Dwi Ayunintyas
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono