tirto.id - Pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sudah resmi mengeluarkan aturan mengenai pemanfaatan teknologi Embedded Subscriber Identity Module atau eSIM. Aturan yang memayungi penggunaan teknologi ini tertuang dalam Peraturan Menkomdigi [Permen] Nomor 7 Tahun 2025 tentang Pemanfaatan Teknologi eSIM dalam Penyelenggaraan Telekomunikasi.
Dengan kehadiran aturan ini, pemerintah mendorong masyarakat beralih dari SIM fisik menuju eSIM.
Dorongan ini dilakukan sebagai bentuk respons terhadap tuntutan terkait keamanan data masyarakat. Pemerintah menilai bahwa penggunaan eSIM menjadi salah satu solusi untuk mengurangi penyalahgunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan verifikasi biometrik. Percepatan migrasi menuju e-SIM diyakini menjadi kunci dalam melawan kebocoran data dan penyalahgunaan identitas yang kian mengancam.
Tak diragukan, eSIM memang menawarkan sebuah keunggulan teknis. Tidak bisa dicabut secara fisik, sulit untuk dipalsukan, serta lebih fleksibel dalam manajemen profil operator. Namun, sejumlah pihak menilai terlalu tergesa-gesa menyimpulkan eSIM sebagai senjata utama melawan kejahatan digital dan kebocoran data.
Pemerintah tidak bisa menutup mata bahwa akar dari banyak kasus kejahatan digital bukan terletak pada instrumen teknologi semata, melainkan pada kelemahan sistem verifikasi identitas dan tidak optimalnya pengawasan lembaga penyedia layanan. Situasi ini diperparah dengan rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat luas.Kepala Divisi Akses Internet SAFEnet, Unggul Sagena, menilai dalam segi kerentanan data, eSIM dan SIM fisik tidak jauh berbeda. Fitur seperti keamanan ganda dan biometrik dalam registrasi, sebetulnya juga ada dalam SIM fisik.“Bedanya, karena eSIM ini baru mau diterapkan, dari awal perlindungan sudah diset misal registrasi biometrik. Dulu kan nggak, cuma e-KTP,” kata Unggul kepada wartawan Tirto, Kamis (17/4/2025).Menurutnya, eSIM unggul dalam teknologi melekatnya kartu dengan perangkat sehingga tak akan hilang. Untuk mengikis potensi penyalahgunaan NIK, idealnya bukan dengan sekadar percepatan migrasi eSIM. Namun, seharusnya jangan menggunakan NIK untuk kredensial data pribadi yang dipakai.Jadi, kata Unggul, pangkal persoalannya adalah sengkarut identitas kependudukan yang sudah tidak layak menjadi kredensial. Kebijakan percepatan migrasi ke eSIM hanya berganti metode layanan saja. Seharusnya, pemerintah menindak tegas kejahatan digital.Sebab, penyalahgunaan NIK atau data pribadi melanggar Permen Kominfo 5/2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Unggul menilai bahwa Menkomdigi seharusnya tak perlu sampai repot-repot mempromosikan bisnis eSIM segala.
Terpenting, justru mendalami dan memastikan keamanan dari model teknologi yang diusung oleh operator telekomunikasi. Karena Komdigi tidak berposisi sebagai operator, melainkan regulator, maka jadi tugasnya lah mengatasi kebocoran dan kejahatan soal data masyarakat. Selain itu, masyarakat Indonesia tentu belum siap melaksanakan penerapan eSIM secara menyeluruh dan serentak. Unggul menegaskan bahwa pihaknya tidak antikebijakan eSIM, namun mengingatkan agar migrasi ini tetap menjadi opsional saja bagi masyarakat. Bagi aktivis digital, kata Unggul, memakai eSIM justru rentan surveillance (pengintaian). Ia menilai bahwa eSIM lebih mudah untuk diretas, dan pengguna rentan terlacak keberadaannya meski sudah mematikan fitur geolokasi. Karena eSIM tertanam dan bisa terdeteksi di manapun berada.“Cukup membahayakan juga. Ini dari sudut pandang pegiat hak digital ya,” terang Unggul.Dalam siaran tertulis resmi, Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menegaskan bahwa transformasi ke teknologi Embedded Subscriber Identity Module merupakan bagian tak terhindarkan dari revolusi digital global yang menuntut keamanan dan efisiensi yang lebih tinggi. Lebih dari sekadar pengganti kartu SIM fisik, kata dia, eSIM yang tertanam langsung dalam perangkat menghadirkan efisiensi bagi pengguna dan operator.
Selain meningkatkan keamanan data pribadi, teknologi ini dipercaya memperkuat ekosistem Internet of Things (IoT) serta mendukung efisiensi operasional industri telekomunikasi.Meutya menyoroti pentingnya pembatasan jumlah nomor seluler yang terdaftar atas satu NIK. Sesuai Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2021, berlaku batas maksimal tiga nomor per operator atau total sembilan nomor untuk tiga operator berbeda.“Ada kasus di mana satu NIK digunakan lebih dari 100 nomor. Ini sangat rawan untuk kejahatan digital dan membuat pemilik NIK yang sebenarnya harus menanggung akibat dari sesuatu yang tidak ia lakukan,” kata Meutya.Meutya menegaskan komitmennya untuk membersihkan data seluler yang bermasalah dan membangun ekosistem digital yang aman, bersih, dan bertanggung jawab. Karena itu, eSIM diyakini menjadi kunci dalam melawan kebocoran data dan penyalahgunaan identitas.- Meutya Hafid
Waspada Keamanan Data
Mendorong imigrasi eSIM seharusnya bukanlah pengganti bagi pekerjaan rumah yang lebih mendasar: memperkuat tata kelola perlindungan data masyarakat. Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, tetapi penerapannya masih jauh panggang dari api.
Lembaga pengawas independen yang dijanjikan sejak resmi diberlakukan pada Oktober 2024 juga belum hadir, di sisi lain kebocoran data dan kejahatan digital terus menghantui ruang digital warga. Karena itu, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKB, Syamsu Rizal, meminta kepada Komdigi untuk menunda kebijakan migrasi kartu seluler fisik menuju eSIM.
Penundaan ini, kata Syamsu Rizal, bisa dilakukan hingga Badan Perlindungan Data Pribadi (BPDP) terbentuk dan beroperasi secara independen. Legislator asal Sulawesi Selatan ini menilai penggunaan eSIM bisa jadi merupakan langkah maju. Namun, jangan sampai penggunaan eSIM justru kian memudahkan pencurian data pribadi pengguna seluler secara ilegal.
“Pembentukan BPDP sebagai lembaga independen adalah prasyarat mutlak. Tanpa itu, migrasi eSIM berisiko memperparah kerentanan kebocoran data warga. Kita masih ingat kasus kebocoran 1,3 miliar data registrasi SIM prabayar tahun 2023 yang berasal dari server pemerintah,” kata Rizal lewat keterangan tertulis, Kamis.
Politisi PKB ini menyoroti pentingnya memastikan BPDP tidak berada di bawah kementerian atau lembaga tertentu, termasuk Kementerian Komunikasi dan Digital. Ini dilakukan untuk menghindari potensi timbulnya konflik kepentingan.
Menurutnya, lembaga tersebut harus memiliki kewenangan mengawasi tata kelola data digital, termasuk proses migrasi eSIM.
“Keamanan data masyarakat harus jadi prioritas utama sebelum migrasi kartu seluler fisik ke digital. Potensi kebocoran data rentan terjadi jika tidak ada lembaga pengawas yang kuat dan kompetensi untuk melindungi data pribadi masyarakat,” lanjutnya.Sementara itu, Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Heru Sutadi, menyatakan tantangan utama saat ini adalah belum seluruh ponsel mendukung eSIM, karena saat ini mayoritas warga masih menggunakan SIM fisik. Ia menilai dengan begitu, untuk adopsi eSIM sama artinya minta masyarakat berganti gawai. “Kalau ponsel belum waktunya ganti, ya masyarakat enggan mengganti,” ucap Heru kepada wartawan Tirto, Kamis.Heru memandang penggunaan eSIM membuat registrasi baru menggunakan biometrik. Ini memudahkan pemerintah dan aparat penegak hukum bila ada penyalahgunaan nomor ponsel. Pemilik nomor bisa segera diketahui siapa serta keberadaanya.Celah keamanan dalam pemanfaatan eSIM dinilai Heru tetap ada. Misal, penyalahgunaan data pengguna sehingga dikloning di ponsel lain. Untuk itu, pekerjaan rumah pemerintah turut bertambah banyak jika eSIM digunakan secara masif. Sebelum migrasi eSIM dijalankan, pemerintah harus memastikan operator seluler mematuhi standar keamanan. Misalnya penyimpanan profil eSIM dan proses provisioning yang terenkripsi sebagaimana diatur Permen Komdigi Nomor 7/2025. Sanksi administratif harus diberlakukan bagi operator yang tak menjalankan.- Heru Sutadi
Praktisi keamanan siber, Alfons Tanujaya, menegaskan bahwa akar dari persoalan
fraudpada layanan seluler tidak terletak pada penggunaan SIM fisik atau eSIM, melainkan sebab prosedur pendaftaran layanan seluler yang tidak dijalankan dengan disiplin.Memakai SIM, eSIM, atau iSIM sekalipun, kata dia, jika prosedur pendaftaran layanan seluler tak dijalankan dengan disiplin dan benar, wacana mendorong eSIM untuk menekan kejahatan seluler itu akan percuma.
Pasalnya, Alfons menilai tanpa mengadopsi eSIM dan hanya dengan SIM fisik hari ini, ada peluang pemerintah menekan tingkat kejahatan digital. Resepnya, hanyalah ketegasan dan konsistensi menjalankan aturan yang sudah ditetapkan.Mengatasi fraudsebenarnya tidak sulit dan tidak perlu menunggu eSIM. Pemerintah dapat memberikan penindakan yang tegas pada penyalahgunaan layanan seluler untuk kejahatan dan memberikan efek jera dan sanksi yang terukur dan membuat kapok. Salah satu metode yang realistis dan masuk akal adalah melakukan pemblokiran IMEI untuk setiap ponsel yang terbukti melakukan fraud. “Buat sistem khusus untuk menerima laporan fraud dan setiap nomor ponsel yang terbukti melakukan frauddiidentifikasi dan IMEI ponsel yang melakukan frauditu diblokir dan tidak bisa menggunakan layanan seluruh operator di Indonesia,” ujar Alfons kepada wartawan Tirto, Kamis.Dalam konteks ini, penguatan teknologi seperti eSIM perlu diposisikan sebagai bagian dari strategi keamanan digital nasional yang lebih komprehensif. Namun eSIM bukanlah obat segala penyakit kejahatan digital yang ada di Indonesia. Harapannya, kebijakan percepatan eSIM tidak menjadi sekadar jalan pintas terhadap situasi darurat keamanan siber. Melainkan menjadi pintu masuk bagi pembaruan tata kelola digital yang lebih adil, aman, dan berkelanjutan.Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Rina Nurjanah