tirto.id - “Saya haqqul yakin karena Perindo punya kekuatan media yang besar. Medianya besar sekali, maka ini bisa menjangkau jauh ke pelosok-pelosok dan itu tentu saja akan membikin tingkat awareness makin tinggi dan dari hasil survei-survei yang ada memang itu dibutuhkan sampai pada tingkat mendorong elektabilitas.”
Pernyataan bakal calon presiden PDIP, Ganjar Pranowo tersebut menandakan bahwa mereka akan menggunakan kekuatan media milik Hary Tanoesoedibjo dalam pilpres mendatang. Ganjar mengaku akan menggunakan kekuatan media milik Hary Tanoe untuk meningkatkan elektabilitas Ganjar.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo enggan berkomentar soal bentuk kerja sama berkaitan dengan pengunaan media. Akan tetapi, Hary Tanoe memastikan kerja sama politik yang dibuat tidak hanya kepentingan mendukung Ganjar, melainkan juga kerja sama di legislatif.
“Perlu saya tegaskan karena pelaksanaan pilpres dan pileg itu bersamaan, mau tidak mau pasti akan ada kerja sama pileg juga di dalam praktiknya nanti,” kata Hary Tanoe usai bertemu Megawati Soekarnoputri beberapa waktu lalu.
Hary Tanoe mengakui bahwa kenaikan elektabilitas tidak hanya dipengaruhi media, tetapi juga figur capres dan pengusung.
“Media memang salah satu yang memegang peranan, tapi figur daripada capres sendiri itu juga akan sangat berperan, di samping juga kekuatan daripada partai pengusung yang saling mengisi, saling kerja sama memaksimalkan pemenangan tersebut,” kata Hary Tanoe.
“Jadi faktor untuk memenangkan itu banyak sekali, jadi tidak hanya media tapi juga figur dari capresnya juga, partai-partai pengusungnya yang bekerja sama secara taktis dan baik,” tutur Hary Tanoe.
Sikap Hary Tanoe mendukung Ganjar kembali mengingatkan peran media dalam Pemilu 2019. Pada 2019, MNC Garoup milik Hary Tanoesoedibjo mendukung pemberitaan kampanye Jokowi-Maruf Amin secara masif. Tidak hanya media milik Hary Tanoe, Media Group milik Surya Paloh yang juga Ketua Umum Partai Nasdem mendukung pemenangan Jokowi-Maruf Amin.
Pada akhir 2022, Surya Paloh memutuskan untuk mendukung Anies Baswedan di Pilpres 2024. Dalam beberapa waktu terakhir, pemberitaan kegiatan Anies setelah dideklarasi sebagai capres Partai Nasdem cukup masif lewat grup media Surya Paloh.
Namun, dua grup besar media yang notabene dimiliki ketua umum partai politik dan di Pilpres 2019 satu gerbong, berpotensi berhadap-hadapan pada Pemilu 2024. Paloh mendukung Anies, sementara Hary Tanoe merapat ke Ganjar.
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Adinda Tenriangke Muchtar menilai, pemilik media yang juga ketua umum partai tidak menutup kemungkinan akan menggunakan media mereka untuk kepentingan kampanye politik.
“Melihat pengalaman yang ada dari pemilu-pemilu sebelumnya, apalagi ketika tadi kita merujuk tentang ketua partai politik yang juga memiliki media bukan juga hal yang tidak mungkin media dipergunakan untuk sarana kampanye politik,” kata Adinda, Senin (12/6/2023).
Adinda menilai, partai politik saat ini sudah mulai memasang iklan politik. Iklan tersebut lantas bermasalah karena iklan yang dibolehkan masih sebatas sosialisasi, sementara iklan partai mulai mengarah pada kampanye. Ia pun melihat para penyelenggara pemilu belum memberikan sikap tegas, termasuk sikap Dewan Pers yang tidak menyoalkan iklan yang menyerempet pada kampanye.
Adinda tidak memungkiri keberadaan media mempengaruhi elektabilitas meski bukan faktor tunggal. Oleh karena itu, Adinda mendorong agar ada pengaturan kampanye politik di media massa.
“Bahwa itu bisa membantu pemenangan pemilu, iya. Bisa sebagai salah satu faktor tapi bukan faktor penentu karena bagaimanapun mesin politik dan kandidatnya juga harus turun,” tutur Adinda.
“Kita ini ingin mengantisipasi tidak ada lagi money politics gitu. Jadi ada kampanye yang sehat, informatif dan edukatif yang untuk itu membutuhkan misalnya dalam konteks kampanye di media sosial ada penataan yang lebih komprehensif dan spesifik tegas dan jelas, ini tuh juga seharusnya berlaku di konteks di media massa,” kata Adinda.
Menurut Adinda, permasalahan lain yang muncul di ruang publik terkait media adalah kecenderungan pemberitaan. Sebagai contoh, Metro TV di masa lalu cenderung memberitakan kader-kader Partai Nasdem. Di masa depan, kata Adinda, tidak bisa dipungkiri Metro TV akan lebih banyak memberikan porsi kepada Anies dengan tone spesifik untuk mempengaruhi pemilih.
Karena itu, ia mendorong agar pengawasan media semakin diperkuat. Ia memandang publik juga perlu diedukasi dalam pemilihan sumber referensi pemberitaan. Hal itu dilakukan agar euphoria pemilu menjadi ajang pembelajaran bagi pemilih untuk bijak dan kritis dalam menerima informasi.
Sementara itu, analis politik dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Silvanus Alvin tidak memungkiri bahwa bos media yang menjadi ketua umum partai akan mendorong kantor media mereka memberitakan capres-cawapres yang mereka dukung. Ia mengakui ada efek elektabilitas meski tidak signifikan akibat sikap dukungan media pada kandidat tertentu atas arahan ketua umum partai yang juga pemilik media.
“Pengaruh elektabilitas saya rasa tidak signifikan. Karena makin terlihat warna partai atau arah dukungan politik, maka penontonnya jadi niche sekali. Hanya masuk dalam segmen tertentu. Media model seperti ini, menurut saya, hanya akan menjadi medium untuk penguatan pesan. Meneguhkan kembali kepercayaan publik yang memang arah politiknya satu jalur dengan media tersebut,” kata Alvin.
Akan tetapi, Alvin menilai ada sejumlah permasalahan yang perlu diatensi jika pemilik media mendorong kantor medianya mendukung kandidat tertentu. Pertama, praktik demikian semakin memperlihatkan tidak objektifnya media. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab memberikan informasi kepada publik, media seharusnya independen dan objektif dalam memberikan liputan berita.
“Namun, ketika bos media yang juga ketum partai secara terang-terangan mendukung salah satu capres-cawapres, maka independensinya menjadi dipertanyakan. Hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap media tersebut dan mengganggu integritas jurnalisme,” kata Alvin.
Kedua, aksi para pemilik media berpotensi membawa media mereka ditinggalkan publik. Publik, kata Alvin, bisa saja lebih memilih untuk lari ke media alternatif. Ia beralasan, publik sudah mulai jeli dengan keberpihakan media maupun afiliasi politik, apalagi media arus utama bukan lagi sumber informasi utama.
Ketiga, upaya pemilik media mendukung capres-cawapres tertentu lazimnya akan membuat media kurang ragam dalam informasi. Publik akan merugi karena kehilangan akses sudut pandangan berbeda atau alternatif dalam memahami isu politik maupun calon yang ada. Keempat, pemberitaan yang minim pilihan berpotensi membelah masyarakat padahal pemerintah tidak ingin memunculkan kembali pembelahan.
“Penting untuk mencatat bahwa kebebasan pers dan hak untuk memiliki pendapat adalah prinsip yang dijunjung tinggi dalam demokrasi. Namun, penting juga bagi media untuk tetap mematuhi kode etik jurnalisme, menjaga netralitas, memberikan cakupan yang seimbang, dan memberikan informasi yang akurat dan dapat dipercaya kepada publik,” kata Alvin.
Lantas apakah publik merugi? Semua tergantung pada praktik media. Akan tetapi, bias dukungan partai pada kandidat yang berujung pada pengaruh pemberitaan perlu dikritisi. Jangan sampai publik malah media jadi medium propaganda. Ia tidak ingin media malah tidak menjadi rujukan akibat kehadiran kelompok influencer dan media sosial yang semakin masif.
“Di pemilu 2024 nanti, pers itu bukan sumber informasi utama. Ada kehadiran influencer dengan kanal medsos mereka yang memiliki pengikut mencapai ratusan ribu hingga jutaan. Jangan sampai malah pers atau media arus utama jadi nomor dua," kata Alvin.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz