tirto.id - PDI Perjuangan dan Partai Demokrat saling melempar pesan politik. Semua berawal dari pernyataan Ketua DPP PDIP, Puan Maharani yang menyebut nama Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY masuk dalam daftar bakal calon wakil presiden dari Ganjar Pranowo, bakal capres dari PDIP.
“Nama [bakal cawapres] ada banyak, ada sepuluh. Kalau boleh saya [sebut] yang ada di media, ada Pak Mahfud sudah masuk namanya. Pak Erick Thohir, Pak Ridwan Kamil, Pak Sandiaga Uno, kemudian ada Pak AHY ya kan? Pak AHY, Pak... sopo [siapa] lagi Mas (Ganjar)? Pak Airlangga, ya kan?” kata Puan dalam konferensi pers di sela pelaksanaan Rakernas PDIP di Sekolah Partai PDIP, Jakarta Selatan, Selasa (6/6/2023).
Akan tetapi, kata Puan, nama-nama tersebut akan diseleksi oleh PDIP. Kriteria penilaian yang dimasukkan antara lain kemampuan kerja sama dengan Ganjar dan memiliki kesamaan visi misi dengan Gubernur Jawa Tengah itu.
Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani menghormati pernyataan Puan. Menurut Kamhar, pernyataan Puan menandakan kapabilitas AHY sudah mumpuni dan diakui PDIP. Meski demikian, Kamhar memastikan Demokrat tidak akan tergoda untuk merapat ke PDIP.
“Partai Demokrat dan Mas Ketum AHY memiliki keimanan politik yang kuat,” kata Kamhar saat dikonfirmasi reporter Tirto terkait nama AHY masuk radar, Rabu (7/6/2023).
Ia mengatakan, Partai Demokrat akan konsisten dengan apa yang telah disepakati oleh Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) dengan mengusung Anies Baswedan sebagai bakal capres pada Pemilu 2024.
“Akan senantiasa istikamah pada kesepakatan yang telah dibangun bersama di Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang telah menetapkan Mas Anies Baswedan sebagai capres,” ucap Kamhar.
AHY sendiri berterima kasih atas pernyataan Puan. Menurut AHY, Puan memberi kode bahwa dirinya layak sebagai bakal cawapres.
“Saya pertama berterima kasih kepada siapapun yang menyebutkan bahwa AHY bisa diperhitungkan dan lain sebagainya berpasangan dengan siapapun, termasuk terakhir Ibu Puan Maharani menyampaikan bisa saja dengan Mas Ganjar Pranowo begitu,” kata AHY di Kantor DPP Demokrat, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/6/2023).
Bagi AHY, demokrasi adalah ruang yang bebas, luas untuk hadirnya gagasan-gagasan. AHY mengaku selalu merasionalisasi apa pun yang disimulasikan oleh para entitas politik hari ini. Di sisi lain, kata dia, Demokrat terus membangun komunikasi dengan siapa saja, termasuk partai politik di luar KPP.
“Bertemu dengan para tokoh, bertemu dengan pimpinan-pimpinan yang kami anggap juga bagus kalau selalu terbuka ruang komunikasi,” ucap AHY.
Lebih lanjut, AHY mengatakan politik Indonesia harus cair, bukan politik saling membelah satu sama lain. Ia mencontohkan Amerika Serikat yang hanya menganut sistem dua partai. “Itu saja mereka selalu membuka komunikasi antara Republikan dengan Demokrat di Amerika misalnya,” tutur AHY.
Secara terpisah, Anggota Tim 8 Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Sudirman Said menyebut Puan masuk sebagai daftar bakal calon wakil presiden Anies. “Dulu pernah masuk dalam daftar ketika menyusun longlist," kata Sudirman saat dihubungi Tirto pada Kamis (8/6/2023).
Sudirman menambahkan, Koalisi Perubahan sempat menyusun daftar tokoh potensial sebagai calon wakil presiden pendamping Anies. “Kan, ada longlist dulu, kan. Semua figur-figur potensial masuk,” kata Sudirman.
Pesan Politik Saling Singgung sebagai Bakal Cawapres
Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago menilai, aksi pernyataan Puan bahwa AHY layak menjadi bakal cawapres adalah ujian bagi Demokrat. Ia menilai, iman politik Demokrat bisa goyah meski parpol berlambang mercy itu menyatakan komitmen bersama Anies.
“Iman politik Partai Demokrat bisa saja goyah jika AHY gagal menjadi cawapres Anies Baswedan. Potensi tersebut dibaca oleh PDIP dengan terang benderangnya AHY disebut sebagai salah satu figur cawapres Ganjar. Meskipun nama AHY tidak satu-satunya disebut oleh PDIP, tentu Partai Demokrat merasa daya tawar politiknya tinggi dengan adanya koalisi lain yang tertarik dengan AHY,” kata Arifki.
Arifki menilai Partai Demokrat diuntungkan bila tetap mendukung Anies. Akan tetapi, ia yakin Demokrat tidak akan memberi dukungan jika bukan AHY sebagai bakal cawapres. Sebab, kata dia, Demokrat tidak hanya menginginkan suara partai naik, tapi juga mengantarkan pangeran Cikeas sebagai orang nomor dua di republik ini.
“Partai Demokrat sudah menjadi partai oposisi selama pemerintahan Jokowi. Makanya pada Pilpres 2024, Demokrat tidak ingin lagi menyia-nyiakan kesempatan tersebut dengan berusaha mendapatkan peluang sebesar-besarnya. Baik untuk partainya atau pun AHY," ujar Arifki.
Partai Demokrat bisa saja melakukan manuver politik untuk memastikan kursi cawapres bagi AHY dengan mulai mendekat ke partai lain yang berani memberikan garansi kursi bakal cawapres. Koalisi Perubahan untuk Persatuan tidak bisa berbuat banyak bila Demokrat keluar. Jika itu terjadi, maka bisa dipastikan Anies kehilangan tiket untuk bisa maju sebagai cawapres.
“Anies tentu butuh tiket dari Demokrat untuk maju sebagai capres. Namun, untuk bisa bersaing dengan Prabowo dan Ganjar sepertinya Anies butuh cawapres yang lebih kuat. Negosiasi tiket Anies dan kepastian cawapres bakal terus rumit jika ketidakpastian itu digoda oleh partai di luar koalisi perubahan dan persatuan," tutur Arifki.
Arifki juga menilai pernyataan Puan sebagai cawapres hanya sebagai metode tarik-menarik Koalisi Perubahan dan PDIP dalam memosisikan AHY dan Puan. Akan tetapi, pernyataan tersebut tidak berarti PDIP dan Demokrat mungkin bekerja sama di masa depan. Ia menilai kedua partai hanya memainkan momentum politik demi kepentingan pemilu.
Sementara itu, analis politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah melihat pesan beragam dari saling sebut nama tokoh penting kedua partai dalam Pemilu 2024. Di sisi PDIP, Dedi melihat, aksi penyebutan AHY sebagai bacawapres Ganjar bisa saja dikategorikan propaganda politik.
“Bisa saja semua nama yang disebut PDIP itu hanya propaganda, termasuk AHY, justru bisa saja nama yang sebenarnya diinginkan tidak disebut sama sekali,” kata Dedi, Kamis (8/6/2023).
Dedi mengatakan, Ganjar dan PDIP tengah dalam posisi sulit dalam meraup suara pemilih religius. Saat ini, pemilih religius didominasi oleh Anies dan sebagian bertahan di Prabowo Subianto. PDIP, kata Dedi, bisa saja kalah di Pilpres 2024 bila menyasar tokoh yang secara warga dan ideologi sama.
“Untuk itu, menyasar tokoh yang setara secara ideologi dan karakter jelas bukan pilihan bijak, PDIP bisa gugur di putaran pertama, karena kelompok nasionalis sendiri juga sudah terbelah ke Prabowo, dan jika Anies mendapat cawapres dari kalangan nasionalis, maka Ganjar akan semakin tersudut," kata Dedi.
Dedi menduga, PDIP saat ini tengah menyasar bacawapres dengan status tokoh sepuh dan berlatar belakang Nahdlatul Ulama. Ia menilai, Ganjar tidak butuh tokoh populer untuk mendampinginya dalam menghadapi Pemilu 2024.
Di sisi lain, kata dia, Megawati kerap mengawinkan pasangan capres-cawapres PDIP dengan kombinasi tokoh muda dan senior seperti saat Mega maju bersama Hasyim Muzadi, Jokowi bersama Jusuf Kalla maupun Maruf Amin selama dua kali eks Wali Kota Solo itu maju pemilu.
“Megawati punya catatan unik terkait tokoh sepuh, misalnya Hasyim Muzadi, Jusuf Kalla, Maruf Amin, dan bisa saja dengan Ganjar saat ini pun sedang dicarikan tokoh sepuh NU yang belum populer,” kata Dedi.
Di sisi lain, pesan Puan menjadi cawapres Anies justru mustahil, kecuali PDIP membatalkan rencana pengusungan Ganjar. Akan tetapi, faktor utama Puan tidak mungkin jadi cawapres Anies karena PDIP tidak berkenan untuk menjadi wakil.
Lantas, apa mungkin PDIP atau Demokrat akan bersatu dalam pemerintahan mendatang lewat kode tersebut? Dedi menilai koalisi PDIP kecil peluang memberi ruang Demokrat untuk merapat. Demokrat, kata Dedi, akan konsisten menjadi oposisi jika Ganjar menang.
“Sebaliknya, jika koalisi Demokrat memimpin bisa saja PDIP akan diberi ruang bergabung, meskipun belum tentu juga PDIP menerima karena sejauh ini hubungan keduanya cukup pelik," kata Dedi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz