Menuju konten utama
Penyelesaian Konflik Papua

Megawati soal Pengerahan Batalion: Bikin Kalut Konflik Papua

Megawati dinilai semestinya memahami penyelesaian masalah Papua tidak sesederhana menurunkan batalion lalu tuntas.

Megawati soal Pengerahan Batalion: Bikin Kalut Konflik Papua
Presiden Kelima Megawati Soekarnoputri (tengah) berjalan memasuki ruang KRI Bung Karno-369 saat Peresmian dan Pengukuhan KRI Bung Karno-369 di Mako Kolinlamil, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (1/6/2023). KRI Bung Karno-369 yang merupakan kapal perang jenis korvet tersebut resmi masuk dalam jajaran TNI AL menggantikan kapal kepresidenan KRI Barakuda-633 yang telah beroperasi selama lebih dari dua dekade. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.

tirto.id - Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri duduk di sebelah kiri Panglima TNI Laksamana Yudo Margono dalam acara peresmian Kapal Perang Republik Indonesia Bung Karno-369 di Dermaga Komando Lintas Laut Militer Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis, 1 Juni 2023.

Mantan kepala negara itu membahas situasi di Papua, salah satunya ihwal penerjunan batalion tentara. Bagi Megawati penerjunan satu batalion yang hanya membawa setengah perlengkapan dirasa tidak cukup, bahkan pengerahan itu tak cukup juga; mesti ada dukungan dari seluruh elemen bangsa dan rakyat.

“Saya lihat yang maju ke Papua ini, kalau saya masih komandan, saya turunkan di sana berapa batalion. Keren, kan? Kenapa? Itu deterens," kata Megawati.

Dia berpendapat, kelompok bersenjata pro kemerdekaan Papua adalah rakyat Indonesia juga, tapi mereka bertindak seperti itu karena tidak diberi pengetahuan dan terprovokasi. "Saya pikir ini (jumlah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) hanya segitu. Lah, kok, dipateni (dibunuh) dal, del, dal, del, mati," lanjut dia.

Megawati mencontohkan, jika sekian batalion diterjunkan, maka pasukan itu bisa mengetahui situasi di lapangan, bahkan latihan batalion di daerah aman bisa didengar oleh TPNPB, sehingga itu ia sebut sebagai perang psikologis.

Juru Bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom pun merespons hal tersebut. “Tidak kompromi dengan pemimpin kolonial. Kami anggap bahwa anggota TNI dan Polri itu anjing kecil. Jadi kecil itu," ujar dia ketika dihubungi Tirto, Senin, 5 Juni 2023.

Dinilai Tak Paham Konteks

Saat ini Indonesia dalam situasi jebakan konflik, apalagi konflik Papua berlangsung 60 tahun, sehingga publik hanya berpikir satu sisi saja dan memperhatikan kepentingan satu pihak. Dalam hal ini Megawati berandai-andai dan sudut pandangnya hanya satu.

“Penyebab konflik itu sampai sekarang banyak. Kalau pengerahan pasukan juga tidak menyelesaikan masalah, berarti memandang dari satu aspek membuat persoalan di Papua tak selesai,” kata peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Adriana Elisabeth kepada Tirto, Senin, 5 Juni 2023.

Terjebak dalam konflik membuat orang tak berpikir jernih, kata Adriana. Publik dan pemerintah harus paham apa akar masalah, dinamika konflik, bahkan kepentingan para aktor yang terlibat, berbagi hal itu terlupakan. Ditambah hanya melihat "kirim pasukan lalu semua beres.”

“Pernyataan seperti itu seolah-olah beliau bisa menyelesaikan, seandainya beliau masih menjadi presiden. Tapi kalimat itu jelas memicu persoalan karena terkesan memiliki cara dengan mematikan pihak lain. Dalam penyelesaian konflik yang baik, tidak begitu cara berpikirnya," tutur Adriana.

Ketika Megawati menjadi orang nomor satu di Indonesia, terjadi pelanggaran HAM di Papua, yakni pembunuhan terhadap Ketua Presidium Dewan Papua, Theys Eluay oleh Kopassus pada 11 November 2001. Peristiwa ini terjadi kurang dari empat bulan setelah Megawati berkuasa; serta penembakan oleh “orang tak dikenal” terhadap Else Bonay Rumbiak dan Mariana Bonay, istri dan anak Johanis G. Bonay, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi HAM Papua, pada Desember 2002.

Pada Juli 2004, Komnas HAM merilis laporan soal pembunuhan terhadap 9 orang dan 38 korban luka berat dan cacat di Wamena selama penyisiran oleh TNI dan Polri pada 4 April 2003. Selama peristiwa yang dikenal Tragedi Wamena-Wasior itu, ada pemindahan secara paksa terhadap penduduk di 25 kampung, 42 orang tewas dalam masa pemindahan paksa.

Lalu, Megawati menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada Mei 2003. Bila Papua ditetapkan sebagai DOM, maka problem di sana sulit berhenti. Adriana menyatakan, bagi pihak yang paham merancang penyelesaian konflik, maka mereka wajib tahu karakteristik konflik berbeda.

Bila orang Papua ingin ada penyelesaian konflik seperti Aceh, maka harus tahu juga bahwa cara tersebut juga ada kelemahan dan memakan korban. Artinya, kata Adriana, mesti ada evaluasi pemerintah terhadap konflik Aceh, misalnya. Apa kekurangan dan kelebihan mekanisme tersebut? Yang bisa diadopsi dan diterapkan dari mekanisme Aceh ialah dialog.

"Tapi proses lain tidak bisa karena memang beda karakteristik. Kalau mau mengadopsi proses dialog Aceh (untuk konflik) di Papua, maka pemerintah harus masuk Papua. Papua beragam, isinya banyak. Sehingga harus merancang dialog dengan seluruh elemen di Papua," ujar Adriana.

Konteks antropologi Aceh dan Papua pun berbeda, kata dia, itu jangan dilupakan. Tak semua orang yang bilang tahu soal seluruh seluk-beluk bumi Papua dan manusianya, betul tahu.

Di satu sisi, orang Papua punya cara menyelesaikan konflik secara demokratis. Contohnya, secara umum, bagi masyarakat pesisir mereka menyebutnya para-para; sedangkan penduduk pegunungan menyebut muna-muna. Intinya mereka duduk bersama, bermusyawarah, bermufakat. Dialog jangan diasumsikan cara bangsa Papua memisahkan diri dari Indonesia, tapi dialog adalah cara merangkul berbagai pihak untuk membahas hingga bersepakat.

Akar masalah yang membuat orang-orang Papua marah kepada pemerintah Indonesia telah dirumuskan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sejak 2009. Riset selama empat tahun oleh para peneliti Indonesia yang serius meneliti Papua itu menyebut empat akar masalah di Papua, yakni:

Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia; kekerasan dan pelanggaran HAM yang berlangsung di Papua sejak 1965 melalui operasi militer nyaris tak ada pertanggungjawaban dari negara; perasaan terdiskriminasi dan termarjinalkan yang diakibatkan oleh penyingkiran orang-orang Papua dalam rumusan pembangunan di sana; dan kegagalan pembangunan di Papua seperti bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.

Bisa saja pemerintah merampungkan empat akar masalah itu secara parsial, tapi ingat masih ada isu-isu yang berkorelasi. Contohnya konflik sepanjang ini melahirkan persoalan HAM atau diskriminasi. Pemerintah punya dua pendekatan utama, yaitu pendekatan keamanan serta pendekatan pembangunan dan kesejahteraan.

"Apa ini berjalan paralel? Rekomendasi LIPI harus dibaca secara utuh. Boleh dilakukan parsial, tapi perhatikan korelasi isu lain. Itu berdampak bagaimana merumuskan pendekatan," jelas Adriana.

Padamkan Api dengan Api

Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Socrates Yoman berpendapat, militer adalah penyebab masalah di Bumi Cenderawasih. Pengerahan militer bukanlah penyelesaian problem, tapi menyuburkan konflik di sana.

"Mesin persoalan Papua adalah militer. Bagaimana militer menyelesaikan masalah? Bagaimana api memadamkan api?" kata Socrates kepada Tirto. "Papua dimasukkan (dipaksa gabung) dengan ke dalam Indonesia dengan moncong ABRI. 95 persen rakyat Papua menolak bergabung dengan Indonesia. Konflik diciptakan dan dipelihara oleh militer."

Socrates tidak terlalu ambil pusing dengan ocehan Megawati, karena mantan kepala negara itu berparadigma lawas, tidak ada pembaruan. “Dia kehilangan sebagian kemanusiaannya. Dia perlu jadi manusia utuh untuk melihat persoalan Papua," sambung Socrates.

Dia menegaskan agar pemerintah Indonesia menyelesaikan empat akar masalah di Papua. Tidak relevan jika militer menjadi solusi bagi Papua, apalagi di era modern saat ini; yang dibutuhkan adalah solusi kemanusiaan, keadilan, perdamaian, penghargaan martabat manusia.

Koordinator TIKI Jaringan Kerja HAM Perempuan Papua, Fientje Jarangga turut menanggapi omongan Megawati. Menurut dia, berkaitan dengan stabilitas nasional, pihak elite setuju-setuju saja dengan pengerahan militer untuk membasmi kelompok yang dianggap separatis.

"Pengalaman orang Papua dengan kebijakan militer di Papua, hanya nama saja yang berbeda, tapi operasinya hampir semua sama. Ujungnya pasti ada korban," ucap Fientje kepada Tirto.

Dia juga mengingatkan pemerintah dan aparat untuk belajar dari pengalaman soal penduduk yang meninggalkan kampung akibat perang TPNPB versus TNI dan Polri.

Nyawa para pengungsi itu sia-sia, karena pendekatan militer merugikan keberadaan mereka. Penduduk jadi korban, padahal mereka tidak berpegang. Bahkan ada orang yang meninggal di hutan ketika mengungsi, belum lagi kesulitan bahan makanan, minuman, serta kebutuhan dasar hidup lainnya.

“Itu dampak kebijakan militer yang diambil saat itu, tapi berkepanjangan hingga hari ini dalam bentuk operasi yang lain. Kebijakan militer di Papua banyak menghasilkan korban, bukan hanya sasaran (TPNPB) yang dicari, tapi masyarakat sipil Papua dan non-Papua juga," sambung Fientje.

Orang yang merasa tidak ada masalah, tidak berkaitan dengan TPNPB dan aparat keamanan Indonesia, kata dia, waswas untuk beraktivitas. Ketakutan menyelimuti.

"Kami punya pengalaman dengan beliau (Megawati) jadi presiden, tidak tahu dengan partainya, waktu proses pemekaran Papua Barat beliau juga mendominasi untuk kebijakan itu. Sederhananya, korban satu-dua (tidak apa) yang penting jadi, yang penting tidak ada kelompok bersenjata," jelas Fientje.

Kemuliaan Bukan soal Corong Bedil

Pemerhati militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi berpendapat, sebagai mantan presiden, Megawati semestinya memahami bahwa penyelesaian masalah Papua tidaklah sesederhana menurunkan beberapa batalion lalu tuntas. Dahulu Presiden Sukarno memperjuangkan Papua sebagai bagian dari Republik Indonesia itu demi kesejahteraan dan kemuliaan bersama dari Sabang sampai Merauke.

"Sebagai pimpinan partai dominan, beliau mestinya mendorong pembahasan untuk menghadirkan kebijakan dan keputusan yang lebih komprehensif dan holistik melalui perangkatnya di DPR. Publik juga tak ingin hadir keputusan politik reaktif seperti di Aceh pada masa pemerintahannya, yang nyatanya juga tak menyelesaikan masalah bahkan berlarut, menelan korban jiwa dan kerugian moral dan materiel yang tak sedikit," kata Fahmi ketika dihubungi Tirto, Senin (5/6/2023).

Penyelesaian masalah Papua ini memang bersifat maraton dan butuh kolaborasi lintas sektor. Tidak adil jika hanya dibebankan pada TNI dan Polri. Harus diingat, sampai saat ini Papua bukanlah DOM, artinya tanggung jawab sepenuhnya ada di tangan pemerintah, bukan pada TNI dan Polri.

Idealnya, lanjut Fahmi, karena pemerintah telah berkomitmen mengurangi pendekatan keras dan memperkuat pendekatan lunak, seharusnya ada distribusi peran yang lebih relevan. TNI dan Polri tetap fokus bertiga menegakkan kedaulatan, melindungi masyarakat, menjaga keamanan implementasi perubahan pendekatan pemerintah, menjaga keselamatan para pelaksana di lapangan dan menegakkan hukum.

Bukan memaksa TNI dan Polri mengambil peran yang tidak relevan karena bagaimanapun mandat konstitusional mereka adalah untuk "memukul" bukan "merangkul.” Sementara, apa pun yang terjadi, pemerintah juga harus tetap serius menunjukkan iktikad baik, membangun kepercayaan dan memperkuat dukungan masyarakat Papua, menghapus praktik-praktik buruk pelayanan publik dan kekerasan yang tidak patut.

Termasuk melanjutkan komitmen menghentikan praktik buruk dalam penyelenggaraan pengamanan di lapangan (jadi centeng dan jual beli amunisi, misalnya) dengan serius.

"Bu Mega mungkin lupa pemerintah meyakini masalah Papua harus diselesaikan dengan cara komprehensif, lintas sektor dan tidak lagi mengutamakan pendekatan keras dan militeristik. Penyelesaian masalah Papua mestinya tidak dibebankan dan memang bukan tanggung jawab TNI dan Polri semata," terang Fahmi.

Secara sederhana sebenarnya pendekatan lunak itu mestinya juga berarti perubahan pada aktor-aktor dominan. Siapa yang berada di depan, siapa yang di belakang. Siapa memimpin, siapa menjadi kekuatan pendukung. Bagaimana mungkin perintah merangkul diberikan kepada perangkat yang selama ini memang diberi mandat untuk memukul?

"Sebenarnya bukan berarti berharap pemerintah tidak lagi melibatkan TNI-Polri dalam penyelesaian masalah Papua, yang diharapkan adalah distribusi peran yang relevan,” kata Fahmi.

Baca juga artikel terkait PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz