Menuju konten utama
Penyanderaan Pilot Susi Air

Di Balik Ancaman Tembak Mati Philip Mehrtens oleh TPNPB-OPM

Socrates Yoman menyatakan ancam-mengancam bukanlah solusi damai serta bukan jalan terbaik untuk kemerdekaan Papua.

Di Balik Ancaman Tembak Mati Philip Mehrtens oleh TPNPB-OPM
Pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru, Philips Max Marthin, yang disandera oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka. FOTO/TPNPB-OPM

tirto.id - April 2023, di pedalaman hutan Nduga, ia memegang tongkat kayu di tangan kanannya, ujung tongkat terpasang bendera Bintang Kejora. Sambil duduk ia beritahukan bahwa nyawanya sisa dua bulan.

“(Mereka) kasih dua bulan lagi, untuk negara lain bicara dengan Indonesia, untuk Papua merdeka," kata Philip Mehrtens, tawanan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), dalam video yang Tirto terima pada Sabtu, 27 Mei 2023.

Philip masih mengenakan kaus lengan pendek hitam bertuliskan "Papua", ditambah kain merah pendek melingkari lehernya, topi ember, serta celana pendek, ketika menginformasikan hal tersebut. "Kalau sudah dua bulan mereka [pemerintah Indonesia dan Selandia Baru] tidak bicara dengan Papua, mereka akan tembak saya.”

Komandan Batalion TPNPB Ndugama Derakma, Rumianus Wandikbo menegaskan, perkataan pria yang berprofesi sebagai pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru itu. “Kami kasih waktu dua bulan untuk pilot. Kalau dalam dua bulan, negara tidak ke Indonesia, lalu Indonesia tidak mengaku (kemerdekaan Papua), kami akan tembak pilot," tutur Rumianus.

Reporter Tirto bertanya kepada Juru Bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom mengapa TPNPB harus menembak pilot? Apakah tidak ada cara lain agar pilot juga selamat?

Sebby menjawab “Masih ada waktu negosiasi. Negosiator itu pihak ketiga yang netral, dan yang harus bernegosiasi adalah TPNPB bersama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Selandia Baru," kata dia, 27 Mei 2023.

Kelompok pro kemerdekaan Papua itu menginginkan negosiasi berlangsung di negara yang netral dan mereka telah menyiapkan tim lobi. “Kami tunggu,” kata dia.

Sebby mengaku video ancaman itu diambil pada April 2023, namun dirinya baru menerima fail video pada 13 Mei. Kemudian pada 26 Mei, ia baru publikasikan itu. Mengapa ada jeda waktu? Pada 10 hingga 24 Mei, ucap Sebby, pihaknya sangat sibuk; bahkan tak sempat berhubungan dengan jurnalis ataupun jajaran TPNPB di lapangan.

“Kebetulan kami sudah umumkan bahwa kami tidak umumkan soal kondisi pilot karena Selandia Baru tolak negosiasi pada 1 Mei. Karena Egianus dan pasukannya mengeluarkan ancaman, kami terpaksa umumkan pada 26 Mei. Pilot di sana, baik-baik saja dengan pasukan TPNPB. Dia sehat," ujar Sebby kepada Tirto, Senin, 29 Mei 2023.

Indonesia Tak akan Libatkan Negara Lain

Kasatgas Humas Operasi Damai Cartenz, Kombes Pol Donny Charles Go mengatakan, pihaknya akan menyelidiki video itu. “Saat ini kami masih fokus menyelidiki video yang dimaksud," kata dia ketika dihubungi Tirto, Sabtu (27/5/2023).

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD pun buka suara atas ancaman tersebut. Ia bilang ancaman dibunuh kerap terjadi.

“Tapi prinsip kami, akan menyelamatkan nyawa sandera. Itu saja. Nanti lihat perkembangannya, menghadapi yang begitu tidak harus semua dibicarakan ke publik,” kata dia usai Rakornas Sinergitas Pemerintah Jelang Pemilu 2024 di Jakarta, Senin (29/5/2023).

Mahfud MD bahkan menegaskan tidak akan melibatkan negara lain dan penyelesaian hanya dilakukan oleh Indonesia. Ia memastikan pemerintah akan menangani sendiri karena tidak ingin menjadi isu internasional, dia tidak ingin keterlibatan asing malah memicu masalah dan jadi sorotan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Oleh karena itu pemerintah tidak mau menerima bantuan dari mana pun. Apa pun taruhannya tidak boleh masuk dunia internasional. Karena kalau itu (bantuan asing) diiyakan akan merembet kepada PBB. Ternyata ada ini, ada itu, sehingga kami tolak setiap upaya campur tangan internasional yang disodorkan oleh LSM internasional,” kata Mahfud.

Pilot Susi Air

Pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru, Philips Max Marthin, yang disandera oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka. FOTO/TPNPB-OPM

Ancaman Tembak Pilot Bisa Hilangkan Simpati Publik

Anggota DPR Papua, Laurenzus Kadepa menyorot ancaman terhadap Philip yang disandera sejak 7 Februari 2023.

“Saya minta semua pihak termasuk TPNPB-OPM wilayah Ndugama di bawah pimpinan Egianus Kogoya agar menahan diri, menghargai dan mengutamakan hak hidup pilot. Pilot juga manusia, punya keluarga, ada istri dan anak. Mari menghargai perasaan keluarganya," ucap Laurenzus kepada Tirto, Minggu, 28 Mei 2023.

Ancaman untuk membunuh sandera bisa dapat menghilangkan simpati masyarakat, termasuk masyarakat internasional, terhadap persoalan-persoalan HAM di Papua saat ini. Ia berharap TPNPB bisa menunjukkan kepada dunia internasional bahwa kelompok itu tidak jahat seperti tuduhan berbagai pihak selama ini.

Laurenzus juga meminta pemerintah, termasuk TNI dan Polri, untuk melakukan pendekatan keamanan secara proporsional dan terukur dalam upaya-upaya pembebasan Philip dan penanganan situasi di Papua. Sebab, dia khawatir ancaman penembakan yang disampaikan justru menjadi provokasi sekaligus legitimasi untuk memperbesar pendekatan keamanan di Papua.

Bahkan penting untuk melibatkan pemerintah daerah, sipil, gereja, adat, Komnas HAM dan berbagai pihak dalam upaya pembebasan Philip. Kemudian perihal desakan dan tuntutan TPNPB kepada negara Selandia Baru, Australia dan lainnya agar segera terlibat dan menekan pemerintah Indonesia agar pemerintah mengakui kemerdekaan Papua, tuntutan itu kepada pemerintah pusat dan pemerintah pusat yang akan menjawab.

“Karena itu kewenangannya negara. Di sini yang kami bicarakan adalah masalah kemanusiaan, masalah hak hidup," terang Laurenzus.

Sementara itu, Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua, Socrates Yoman menyatakan, ancam-mengancam bukanlah solusi damai serta bukan jalan terbaik untuk kemerdekaan Papua.

“Saya usul kepada TPNPB, bahwa solusi yang paling bermartabat, terhormat, manusiawi, berprospek damai dan simpatik serta membuka pintu lebar dan peluang besar untuk proses diplomasi politik Papua Barat merdeka di tingkat internasional ialah bebaskan Philip Mehrtens dengan syarat-syarat tertulis," ucap Socrates kepada Tirto, Senin (29/5/2023).

Syarat-syarat tertulis itu ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia, Selandia Baru, TPNPB, dan perwakilan tokoh gereja, tokoh adat/masyarakat, pemuda serta perempuan. Dia mengingatkan TPNPB bahwa kelompok itu bukan satu-satunya pejuang Papua Barat merdeka.

TPNPB adalah hanya salah satu organ perjuangan Papua Barat Merdeka dalam sektor militer, maka ancam mengancam bukan solusi dan jangan merusak perjuangan, doa, harapan, cita-cita dan impian rakyat dan bangsa Papua untuk berdaulat dengan cara-cara bermartabat, terhormat, adil, manusiawi dan damai, kata dia.

Theo Hesegem, Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, berpendapat Philip tidak merasa dirinya aman dan akan mengalami trauma sepanjang hari karena ia diancam akan ditembak mati di tangan TPNPB-OPM Kodap III.

Theo menyatakan, TPNPB tidak perlu mengancam atau membunuh Philip, sebab ia berharap agar hak-hak Philip sebagai manusia masih dijunjung oleh Egianus cs.

Dia berharap TPNPB segera menunjuk tim negosiasi untuk melakukan lobi dengan pemerintah Indonesia dan Selandia Baru.

Pilot Susi Air

Pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru, Philips Max Marthin, yang disandera oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka. FOTO/TPNPB-OPM

Jalan Panjang Proses Negosiasi

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adriana Elisabeth menyatakan, dua bulan untuk negosiasi termasuk hal sulit. “Hampir tidak mungkin dipenuhi. Tuntutan (TPNPB ingin berunding di negara netral, mediator pihak ketiga), pasti ditolak (pemerintah Indonesia). Sementara bagi pemerintah, itu butuh koordinasi kementerian dan lembaga yang terkait isu Papua," tutur dia kepada Tirto.

Proses negosiasi ini masih perlu tahapan, makan waktu, dan koordinasi intensif. Faktor penting lainnya pemerintah harus menyatakan pembentukan tim negosiator dalam perkara ini, tujuan agar legitimasi dan TPNPB tahu bahwa pemerintah Indonesia serius bernegosiasi. Berdasar analisis Adriana, pemerintah bakal menolak keinginan TPNPB karena beberapa hal.

Pertama, pemerintah menganggap TPNPB adalah kelompok separatis bersenjata; maka itu adalah musuh Indonesia yang tak bisa diajak negosiasi. Kedua, separatis bukanlah pihak yang perlu diajak bicara karena "bukan level negara.”

“Prinsip-prinsip seperti itu jadi kendala utama. Kalau saya, justru (pilih) sebaliknya, meski mereka pemberontak, tapi mereka warga negara Indonesia yang ada di Papua. Justru pemerintah harus merangkul mereka," jelas Adriana.

Kemudian wajib ada pernyataan resmi pemerintah soal tim negosiator. "Harus ada karena mereka (TPNPB) butuh legitimasi juga. Bahwa negosiasi tidak perlu dipublikasi, tidak masalah, tapi tim itu harus jelas siapa saja," ujar dia.

Sementara itu, Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro berkata, ancaman tersebut adalah provokasi yang dapat menjadi legitimasi untuk memperbesar pendekatan keamanan di Papua. Ancaman penembakan itu hanya merugikan masyarakat di Papua, memperburuk kondisi HAM, dan memperpanjang siklus kekerasan di Papua.

Penyanderaan dan ancaman untuk membunuh sandera dapat menghilangkan simpati masyarakat, termasuk masyarakat internasional, terhadap persoalan-persoalan HAM di sana.

“Kekerasan yang dilakukan TPNPB, termasuk ancaman untuk membunuh sandera, kontradiktif dengan desakan dialog yang diserukan. Penyanderaan Philip dan ancaman terhadap jiwanya bukan jalan untuk membuka dialog,” kata Atnike.

Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru merespons soal ancaman terhadap Philip. “Kami mengetahui foto dan video yang beredar, tetapi tidak akan berkomentar lebih lanjut pada tahap ini," ucap mereka kepada Tirto, Senin (29/5/2023).

Baca juga artikel terkait PENYANDERAAN PILOT SUSI AIR atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz