tirto.id - Google Indonesia menyebut artificial intellegent (AI) atau kecerdasan buatan akan menjadi game changer dalam masa depan pendidikan, termasuk di Indonesia. Hal tersebut dikatakan Vice President Google for Education, Shantanu Sinha dalam laporannya Google: Future of Education, Senin (22/5/2023) di Jakarta.
Ia menuturkan terdapat sejumlah keuntungan dan dampak negatif AI dalam dunia pendidikan. Menurut dia, AI ini mampu berkembang secara potensial di masa depan dalam membantu pengembangan digitalisasi pendidikan.
Petinggi Google ini memaparkan ada tiga tren yang menentukan masa depan pendidikan. Pertama, personalisasi proses belajar. Menurutnya, setiap orang dan pelajar itu unik. Untuk itu, mereka perlu pendekatan unik sebagai pembelajar.
Di sinilah, lanjut Sinha, teknologi berperan untuk memberikan interaksi dan petunjuk personal kepada para murid.
“Dengan AI, kemungkinan itu sangat luas. Pendekatan belajar seperti ini memberikan hasil yang cukup signifikan. Pelajar jadi lebih engaged terhadap materi belajar, dan lebih termotivasi," kata Sinha.
Tren kedua ialah meningkatkan kualitas pengajar menggunakan teknologi AI. Salah satunya dalam membantu mengurangi beban tugas administrasi para pengajar yang kerap menghabiskan waktu, sehingga pengajar dapat berfokus pada tugas belajar mengajar.
“AI dapat menghemat waktu pengajar empat jam dalam seminggu untuk mengerjakan hal-hal tersebut. Pengajar setiap harinya harus berhadap dengan murid yang berbeda, di kelas yang berbeda. Di sinilah peran AI yang memudahkan," ujarnya.
Poin ketiga atau terakhir yang akan menjadi tren masa depan pendidikan ialah penerapan pembelajaran seumur hidup atau lifelong learning.
Sementara itu, Country Lead Google for Education Indonesia, Olivia Basrin menambahkan, dengan berkembangnya teknologi demikian pula sistem pendidikan yang juga berevolusi.
“Kalau kita hentikan AI hanya karena beberapa side effect yang negatif, tentunya jauh lebih banyak kerugiannya,” kata Olivia.
Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan & Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri mengatakan, dalam pembelajaran, AI memang dapat membantu guru untuk hal-hal yang bersifat administrasi dan memberikan rekomendasi-rekomendasi.
Hal tersebut mempermudah guru mencari sumber belajar dengan indikator tertentu, membantu guru memilih metode yang paling cocok bagi siswa yang diajar.
“AI juga bisa membantu guru dalam melakukan penilaian dengan data kuantitatif yang besar," kata Iman kepada reporter Tirto, Selasa (23/5/2023).
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menyatakan, meskipun AI memiliki manfaat positif, peran guru harus tetap diprioritaskan, sehingga nilai-nilai humanis dalam proses pendidikan bisa berkelanjutan sesuai esensi dari pendidikan itu sendiri.
“Yaitu memanusiakan manusia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan membangun peradaban yang inklusif dan berkeadilan," kata Ubaid kepada reporter Tirto.
Dampak Negatif AI di Dunia Pendidikan
Kendati memiliki manfaat, Iman Zanatul Haeri menyatakan, terdapat sejumlah dampak buruk penggunaan AI atau kecerdasan buatan ini. Salah satunya adalah AI dapat membuat ketergantungan, baik guru dan pelajar.
Guru, kata Iman, jika terlalu sering bergantung pada AI, maka akan kehilangan kemampuan belajar, karena terlena dengan kemudahan. Begitu juga pelajar, jika terlalu sering memakai AI, maka kemampuan berpikir analitik dan mengolah data semakin lemah.
“Karena terbiasa dengan pengetahuan yang sudah jadi 'matang', mereka akan menjadi kurang kritis karena merasa AI sudah memilihkan pengetahuan dan rekomendasi terbaik," kata Iman.
Secara luas, lanjut Iman, AI bisa mengendalikan kebijakan pendidikan nasional secara kasat melalui rekomendasi-rekomendasi yang mengarah pada hal-hal yang diharapkan pihak-pihak di luar pemangku kebijakan atau pencipta algoritmanya.
Terlebih, Iman melihat, saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki protokol Artificial Inteligence for Edication (AIED). Sehingga menurutnya, Indonesia belum siap dalam menerapkan sistem AI di dunia pendidikan.
“Namun soal utamanya, AI adalah sesuatu yang sedang berlangsung. Kami belum melihat ada upaya Kemdikbudristek untuk membuat protokol AI untuk pendidikan. Semoga saja protokol demikian segera dibuat," ucap Iman.
Sementara itu, Ubaid Matraji menilai, dampak buruk penyalahgunaan AI adalah plagiarisme akan terjadi karena membunuh nalar kritis. Kemudian juga bisa melemahkan potensi para peserta didik dan tenaga pengajar.
“Kalau guru nggak siap ya, kita akan dijajah dan pengetahuan di sekolah akan membebek dan ketergantungan pada AI," kata Ubaid.
Ubaid menilai, pemerintah Indonesia saat ini belum siap menerapkan sistem AI di dunia pendidikan. Menurutnya, infrastruktur pendukung juga masih lemah.
Saat ini, sinyal di kota-kota pun masih banyak yang sering mengalami gangguan. Apalagi di sekolah-sekolah yang berada di desa-desa, terutama wilayah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T).
“Political will dari pemerintah juga belum terlihat. Sebab kehadiran AI ini tentu mampu menggerus atau mengganti pos yang kini di-handle oleh pegawai," ujarnya.
Menjawab hal itu, Google Indonesia menekankan bahwa pihaknya memang berfokus pada edukasi kepada para pengajar agar menerapkan teknologi secara bertanggung jawab. Misalnya, dengan mengubah pemberian tugas menjadi project based learning atau perbanyak presentasi.
“Kami ingin memastikan bahwa kami ingin mengembangkan ini dengan cara yang bertanggung jawab," kata Sinha.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Dalam konteks ini, Iman Zanatul Haeri mendorong agar pemerintah membuat aturan protokol AI dalam dunia pendidikan. Hal tersebut lantaran dapat terjadi potensi penyelewengan data-nya lebih besar.
“Bagi kami, AI sudah menjadi bagian kehidupan kita. Sedangkan AI untuk pendidikan, pasti menimbulkan masalah etik, seperti soal kerahasiaan data pribadi anak, dan otoritas guru,” kata dia.
Sementara untuk menunjang AI dalam dunia pendidikan, Google Indonesia merekomendasikan agar pemerintah Indonesia berinvestasi dalam infrastruktur dan peralatan untuk mendukung penggunaan teknologi di sekolah.
Bagi Google, konektivitas menjadi tantangan yang sangat signifikan dalam transformasi digital di pendidikan.
“Teknologi dapat mentransformasi pendidikan di Indonesia dengan meningkatkan akses informasi, memperluas kesempatan belajar dan mendorong siswa ikut aktif dalam proses belajar mengajar," kata Olivia.
Untuk itu, Google menggandeng regulator setempat dan kementerian terkait untuk melakukan kolaborasi transformasi pendidikan terutama di daerah 3T.
Di Indonesia, masalah infrastruktur dan konektivitas memang amat krusial. Hal ini mengingat, per 2022 masih ada 12.548 kelurahan dan desa di seluruh Indonesia yang belum terjangkau jaringan internet 4G.
Ketimpangan ini semakin nampak jelas saat pandemi COVID-19 melanda. Riset ISEAS-Yusof Ishak Institute mendapati hanya 40 persen orang Indonesia yang memiliki akses internet dan 69 juta siswa kehilangan akses pendidikan dan pembelajaran saat pagebluk.
"Apakah mungkin 100% dapat terjangkau internet nantinya? Pertanyaan itu hanya regulator yang bisa menjawab. Kami di sini tentunya berharap demikian," tuturnya.
Rekomendasi lain yang coba ditawarkan ialah memberi pelatihan kepada guru dan fasilitas yang dibutuhkan untuk menggunakan teknologi secara efektif di kelas.
Google sendiri telah memberikan pelatihan alat kepada 405 ribu guru dan 14.700 guru menjadi pendidik tersertifikasi Google. “Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai yang tertinggi di Asia Pasifik,” kata Olivia.
Tirto telah menghubungkan pihak Kemendikbud untuk mewawancarai perihal AI dalam dunia pendidikan. Namun hingga artikel ini ditayangkan, Kemendikbud belum juga memberikan respons.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz