tirto.id - Surya Paloh, Ketua Umum DPP Partai Nasdem langsung mengumpulkan anak buahnya usai Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate ditetapkan sebagai tersangka kasus Base Transceiver Station (BTS) di Nasdem Tower, Rabu (17/5/2023). Paloh dan sejumlah elite Nasdem menggelar rapat tertutup.
Setelah pertemuan, Paloh tampak tegar ketika didampingi sejumlah anak buahnya saat memberikan keterangan pers. Namun, ia tak kuasa menahan kesedihannya atas penetapan tersangka Johnny Plate oleh Kejakasaan Agung. Paloh tampak sedih kala kata “duka” terucap dari bibirnya sore itu.
Paloh mengaku akan menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Sebab, ia meyakini penetapan Sekjen DPP Partai Nasdem sebagai tersangka dugaan kasus korupsi, tidak ada kaitannnya dengan situasi politik saat ini.
“Intervensi politik tidak benar, intervensi kekuasaan tidak benar. Kalau benar nanti hukum alam yang akan dihadapkan,” kata Paloh.
Di sisi lain, Paloh langsung menunjuk Hermawi Taslim sebagai Plt Sekretaris Jenderal DPP Nasdem menggantikan posisi Johnny Plate di partai. Langkah itu ditempuh Paloh mengingat tugas dan peran kesekjenan sangat banyak menjelang Pemilu 2024.
Penetapan Johnny Plate sebagai tersangka kasus dugaan korupsi seolah mengulangi kejadian beberapa tahun lalu ketika Rio Capella terciduk KPK. Rio yang saat itu menjabat Sekjen Partai Nasdem terbelit kasus suap dari Gubernur nonaktif Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho dan istrinya Evy Susanti.
Rio diduga menerima gratifikasi terkait proses penanganan perkara bantuan daerah, tunggakan dana bagi hasil, dan penyertaan modal sejumlah badan usaha milik daerah di Provinsi Sumatra Utara oleh Kejaksaan. Rio kemudian menjadi tersangka kasus ini pada 15 Oktober 2015.
Tirto bersama sejumlah media pada 20 Maret 2023 pernah membuat laporan mendalam terkait kasus korupsi di Kementerian Kominfo ini. Laporan pertama berjudul “Nama Petinggi Kominfo dalam Pusaran Korupsi Menara Sinyal” dan tulisan kedua dengan judul “Proyek BTS Rp28 Triliun Kominfo: Defisit Sinyal, Surplus Masalah.”
Johnny Plate jadi Tersangka usai 3 Kali Diperiksa sebagai Saksi
Johnny Plate diperiksa sebagai saksi sebanyak tiga kali sebelum ditetapkan jadi tersangka perkara dugaan korupsi penyediaan infrastruktur BTS 4G dan infrastruktur pendukung Paket 1, 2, 3, 4, dan 5 BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika Tahun 2020-2022. Pada pemeriksaan ketiga, penyidik menggali perihal Gregorius Alex Plate, adik Johnny Plate, yang mendapatkan uang fasilitas dari BAKTI Kominfo.
Ada empat hal yang didalami oleh penyidik dalam pemeriksaan saat itu. Pertama, kedudukan Johnny Plate selaku pengguna anggaran, terutama pertanggungjawabannya terkait dengan keuangan karena terindikasi ada kemahalan dan mufakat jahat untuk menaikkan harga.
Kedua, kebijakan yang bersangkutan terkait perencanaan pembangunan BTS yang seharusnya dilaksanakan dalam jangka waktu 5 tahun, tapi dilaksanakan dalam jangka waktu hanya 1 tahun. Ketiga, adanya indikasi manipulasi pertanggungjawaban kemajuan atau progres proyek sehingga seolah-olah pencairan 100 persen dapat dilaksanakan terlebih dahulu.
Keempat, klarifikasi perihal Gregorius yang diduga menikmati fasilitas terkait dengan jabatan Johnny Plate sebagai kakak kandungnya.
Usai diperiksa, Johnny Plate keluar dari Gedung Bundar Jampidsus Kejagung dengan menggunakan rompi tahanan warna merah muda. Kedua tangannya pun diborgol sebagaimana tersangka korupsi pada umumnya.
Eks Sekjen Partai Nasdem itu langsung dibawa ke mobil tahanan Kejagung menuju Rutan Salemba cabang Kejagung. Johnny Plate dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus korupsi ini bermula ketika Bakti Kominfo ingin memberikan pelayanan digital di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Kominfo membangun infrastruktur 4.200 site BTS. Dalam pelaksanaan perencanaan dan pelelangan, ada indikasi para tersangka merekayasa proses, sehingga dalam pengadaannya tidak terjadi persaingan sehat.
Bakti merupakan unit organisasi non eselon di lingkungan Kominfo yang menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum. Bakti berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri dan dipimpin oleh direktur utama.
Dalam perkara ini, Kejaksaan Agung sebelumnya telah menetapkan lima tersangka, yaitu: Direktur Utama Bakti Kominfo, Anang Achmad Latif; Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment, Mukti Ali; Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galubang Menak; Tenaga Ahli Human Development Universitas Indonesia Tahun 2020, Yohan Suryanto; dan Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan.
Kasus Johnny Plate Dinilai Murni Persoalan Hukum
Peneliti Pusat Studi Antikorupsi (Saksi) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamszah menegaskan, penetapan Johnny Plate sebagai tersangka murni persoalan hukum. Menurut dia, bila ada yang mengaitkan kasus Plate dengan politik hanya karena momentum politik menjelang Pilpres 2024.
Ia mengatakan, kasus korupsi BTS itu sudah lama diusut Kejaksaan Agung. Artinya, kata dia, tudingan yang menyebut penetapan Johnny Plate sebagai tersangka untuk menjegal Anies Baswedan sebagai bakal capres dari Partai Nasdem runtuh alias tidak benar. Herdiansyah mengatakan, secara formal, Anies juga belum daftar secara resmi ke KPU.
“Jadi, kalau kita kembali ke belakang, sebenarnya kasus BTS yang kemudian menetapkan Plate kemarin sebagai salah satu tersangka, artinya tidak terkait secara langsung dengan politik, itu murni kasus hukum. Menurut saya itu on the track dengan kasus hukumnya,” kata Herdiansyah saat dihubungi Tirto, Jumat (19/5/2023).
Sejatinya, Plate merupakan menteri ketiga yang terjerat kasus rasuah di periode kedua Presiden Jokowi. Sebelumnya, ada Edhy Prabowo saat menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan serta Juliari Batubara (kala menjabat menteri sosial).
Edhy yang notabene merupakan kader Partai Gerindra itu divonis lima tahun penjara dan denda Rp400 juta subsidair enam bulan kurungan dalam kasus korupsi penetapan izin ekspor benih lobster (benur).
Sementara Juliari yang merupakan kader PDIP divonis 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair 6 bulan kurungan oleh majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Juliari dinilai bersalah melakukan korupsi, yakni menerima suap sebesar Rp32,4 miliar dari para rekanan penyedia bantuan sosial Covid-19 di Kementerian Sosial.
Herdiansyah juga menjelaskan soal fakta yang memberi petunjuk keterlibatan Plate. Dokumen audit Badan Pengawasan Keungan dan Pembangunan (BPKP) menguatkan dugaan korupsi itu. Sebab, ada proses dari hulu ke hilir yang bermasalah. Bahkan kasus korupsi dalam dokumen audit dijelaskan mulai dari penyusunan kajian yang melibatkan salah satu akademisi UI, kemudian markup harga di tengah jalan, lalu terakhir ada pembayaran BTS.
“Jadi, tidak masuk akal kalau Plate tidak mengetahui. Sangat tidak masuk akal kalau Plate dalam kapasitas sebagai menteri itu tidak mengetahui ada problem dari awal dari sejak proses lelang. Kemudian penentuan siapa pemenang proyek ini, tender ini, kemudian ada bayar yang ditanggung oleh negara karena memang ada markup dan segalanya,” ucap Herdiansyah.
Menurut dia, keterlibatan Plate dalam kasus ini murni kasus hukum, tidak ada kaitannya dengan persoalan politik. Namun, ia tak menampik ada implikasi politik terhadap penetapan Plate sebagai tersangka. Akan tetapi, Herdiansyah mengatakan, ihwal implikasi politik dalam kasus yang menjerat Plate itu lain soal.
“Jadi, yang benar adalah kasus ini murni kasus hukum on the track dengan persoalan, tetapi punya implikasi politik. Kalau toh ada yang diuntungkan dan dirugikan secara politik, itu lain soal,” tutur Herdiansyah.
Sementara itu, Koordinator Divisi Kampanye Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Tibiko Zabar Pradano mengatakan, dalam penetapan Plate sebagai tersangka itu terdapat dua konteks, yakni fakta hukum mengenai kasus dan juga isu politik. Ia mengatakan, mengenai kasus hukum sudah cukup jelas. Sebab, penyelidikan kasus ini sudah dimulai sejak lama.
“Kalau bicara dugaan keterlibatan JGB [Johnny Plate) indikasinya juga sudah terendus ketika pemeriksaan tersangka (Januari-Februari),” ucap Tibiko.
Tibiko mengatakan, jika ingin melihat apakah ada kaitan politik dalam kasus ini, maka akan bisa dilihat nanti dalam persidangan.
“Bagaimana, kapan, dan apa saja bukti atau fakta dari kasus ini yang bisa dikuak. Terlebih, dalam persidangan tentu akan mengaitkan antara satu peristiwa atau bukti. Karena itu penting juga mendorong proses kasus ini harus transparan dan akuntabel kepada publik,” tutur Tibiko.
Berdasarkan perhitungan BPKP, kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp8,032 triliun. Angka ini fantastis dan jauh lebih besar dari taksiran awal penyidik. Bahkan, jumlah tersebut bisa lebih besar jika ditambah kerugian warga terdampak korupsi pembangunan proyek BTS 4G di daerah.
Oleh karena itu, kata dia, penetapan Johnny Plate sebagai tersangka dan temuan BPKP diharapkan menjadi titik terang bagi upaya penuntasan kasus ini, serta dapat jadi pintu masuk bagi kejaksaan untuk menelusuri pihak lain yang terlibat.
“Proyek BTS 4G sudah tercium lama. Dalam audit DTT BPK menemukan sejumlah masalah terjadi sejak dalam proses perencanaan dan pengadaan hingga pelaksanaan proyek yang molor dari target,” kata Tibiko.
Kasus korupsi BTS 4G ini juga menyangkut kepentingan publik luas, khususnya yang berada di wilayah 3 T. Sehingga, tidak hanya aspek kerugian keuangan negara saja yang diperhatikan, melainkan efek domino dari korupsi yang berdampak langsung pada kerugian masyarakat.
“Karena itu dalam penuntutan nanti Kejaksaan harus menuntut secara maksimal,” ucap dia.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin mengatakan, penetapan Johnny Plate sebagai tersangka oleh Kejagung sudah tepat karena telah memiliki dua alat bukti yang cukup.
“Kita hormati penegak hukum [Kejaksaan] dalam konteks itu menetapkan Johnny G Plate sebagai tersangka, lalu ditahan itu pasti sudah berdasarkan pada bukti-bukti permulaan yang cukup,” kata Ujang saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (19/5/2023).
Namun demikian, Ujang menilai persoalan hukum dan politik merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan di Indonesia. Ujang mengaku bermaksud menuduh bahwa semua elite politik mengetahui penetapan Johnny Plate sebagai tersangka tidak terlepas dari intervensi politik. Tujuannya, melemahkan lawan politik, apalagi Nasdem telah bergabung dengan partai oposisi, yakni Demokrat dan PKS dengan mengusung Anies.
“Saya tidak menuduh bahwa ini intervensi politik dan lain sebagainya, tetapi semua elite politik paham. Semua pemain politik paham bahwa ini bagian dari permainan politik yang menggunakan hukum sebagai instrumen untuk katakan melemahkan lawan politik dan itu terjadi pada setiap pemerintahan bahkan setiap rezim. Bukan hanya terjadi saat ini saja,” ucap Ujang.
Jika Tak Ingin Dicap Ada Intervensi Politik
Karena itu, Ujang mengatakan, kasus ini tak akan dinilai syarat akan politik, jika penyelesaiannya tak sampai pada Pemilu 2024. Bila tidak, maka lawan politik Nasdem akan memanfaatkannya untuk menyerang Anies.
“Kalau kasus ini bergulir maraton hingga Pemilu 2024 jelas bisa rawan, Anies kalau jadi capres bisa turun juga elektoral dan elektabilitasnya. Bisa rawan untuk dikalahkan, makanya mestinya kalau ini bukan intervensi politik, dipercepat aja kasusnya, jangan menunggu sampai pemilu agar dugaan-dugaan intervensi politik enggak ada,” kata Ujang.
Ia mengatakan lawan politik akan memanfaatkan fakta persidangan untuk menyerang Nasdem. Apalagi, bila fakta persidangan ihwal dana ke anggota parpol atau mengalir ke Nasdem. Ia mengatakan, isu pembubaran Nasdem bisa saja terjadi jika hal itu dilakukan lawan politik mereka.
“Jika nantinya pas sampai capres, kejaksaan buka bukti-bukti misalkan ada dugaan dana ke anggota Nasdem, lalu ada dugaan dana ke Nasdem ini, kan, berimbas pada isu pembubaran Nasdem. Ini, kan, bagian dari skenario politik yang dimainkan melalui hukum. Kalau itu terjadi,” kata Ujang.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno mengatakan, setiap kasus hukum yang menyeret setiap elite politik, baik menteri hingga anggota dewan kerap dikaitkan dengan politik. Ketika ada kader parpol terjaring kasus korupsi, pasti ada tudingan operasi ke parpol tersebut.
“Apalagi tahun ini tahun politik di mana memang pergerakan politik cukup dinamis, dan ada kasus hukum yang kemudian terjadi pada parpol tertentu. Pasti dikaitkan dengan urusan-urusan politik di 2024,” kata Adi kepada reporter Tirto.
Adi mengatakan, tidak heran netizen terbelah di media sosial yang mengomentari kasus Johnny Plate. Ia mengatakan, ada yang mengaitkan dengan intervensi politik, dan ada yang mengaitkan dengan upaya penjegalan Anies.
“Itu adalah fakta publik yang selalu mengaitkan isu politik dengan isu hukum, yang selalu mengaitkan isu hukum dengan politik, itu tidak bisa dibantah,” ucap Adi.
Namun, kata Adi, fakta hukum yang tak bisa dibantah ialah perbuatan Johnny Plate telah merugikan negara sebesar Rp8,3 triliunan. “Saya kira itu korupsi terbesar, salah satu korupsi terbesar di era Jokowi,” tutur Adi.
Kasus Johnny Plate Jauh Sebelum Deklarasi Anies
Adi menyatakan, tidak tepat jika penetapan tersangka Johnny Plate dikaitkan dengan upaya penjegalan Anies Baswedan. Sebab, penelusuran kasus korupsi BTS, jauh sebelum deklarasi Anies sebagai capres oleh Nasdem pada 3 Oktober 2022.
“Ini juga harus dipahami oleh publik. Jadi, isu tentang adanya korupsi di Kominfo itu kalau tidak keliru mulai dilihat, mulai diinfestigasi oleh Kejaksaan Agung itu sekitar Juni dan Juli 2022. Sementara deklarasi Anies di Oktober, jauh hari,” kata Adi.
Di sisi lain, lanjut Adi, kasus Johnny Plate tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan politik. Namun, fakta hukumlah yang akan menentukan segala-galanya. Sebab, fakta hukum tidak bisa dibantah bahwa kasus korupsi BTS Kominfo memang perkara serius yang harus ditangani.
“Tinggal ke depan bagaimana penegak hukum kita menelusuri ke mana aliran dana itu,” kata Adi Prayitno.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz