Menuju konten utama

Seberapa Besar Pencabutan Hak Politik Halangi Rio Capella?

Bekas Ketua Umum Partai Nasdem Rio Capella akhirnya bebas. Sewaktu divonis, Rio dikenai hukuman tambahan pencabutan hak politik. Tapi, halangan itu ternyata  hanya berlaku beberapa tahun saja.

Seberapa Besar Pencabutan Hak Politik Halangi Rio Capella?
sekjen partai nasdem patrice rio capella

tirto.id - Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Nasdem, Patrice Rio Capella akhirnya menghirup udara segar setelah resmi bebas dari lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, pada 22 Desember lalu. Ia berencana akan kembali ke dunia politik yang digelutinya sejak 1999.

Langkah awal yang dilakukan mantan aktivis KNPI ini tentu menghadap sang ketua umum Nasdem, Surya Paloh untuk membahas masa depan karier politiknya. Sebab bagi Rio, politik sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya, sehingga ia bertekad akan tetap berjuang di dunia politik yang telah membesarkan namanya.

Pria kelahiran 16 April 1969 itu memang memiliki sejarah panjang di pentas politik nasional. Sebelum menjadi ikut mendirikan Partai Nasdem, ia tercatat sebagai politisi Partai Amanat Nasional (PAN) sejak tahun 1999. Rio ikut membidani berdirinya PAN di wilayah Bengkulu, sekaligus menjadi Bendahara DPW PAN Bengkulu 1999-2000.

Karier politiknya cukup cemerlang setelah terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Bengkulu pada periode 1999-2004. Bahkan, pada tahun 2005, ia maju sebagai salah satu calon wakil gubernur Bengkulu berpasangan dengan Kol. Inf. Muslihan. Saat itu, ia hanya kalah tipis dari pasangan Agusrin M. Najamudin dan Syamlan pada putaran kedua.

Selain itu, Rio juga memiliki posisi strategis di DPP PAN. Ia menjabat sebagai Wasekjen DPP PAN periode 2010-2015. Saat Surya Paloh mendirikan ormas Nasional Demokrat, ia memilih untuk menjadi bagian dari ormas tersebut. Kemudian, Rio ikut serta mendirikan Partai Nasdem dan dipercayakan sebagai ketua umum, sebelum akhirnya Surya Paloh resmi terpilih sebagai ketua umum pada Kongres I yang digelar pada Januari 2013.

Meskipun hanya sebentar menjabat sebagai Ketua Umum Partai Nasdem, akan tetapi prestasinya cukup cemerlang. Ia berhasil mengantarkan Partai Nasdem sebagai satu-satunya partai baru yang lolos verifikasi faktual KPU dan menjadi peserta Pemilu 2014.

Melihat perjalanan panjang karier politiknya tersebut, maka tidak heran jika Rio Capella masih bertekad untuk kembali ke pentas politik usai keluar dari penjara Sukamiskin. Namun, langkah tersebut tentu tidak mudah, karena selain pernah terlibat skandal suap dan divonis bersalah oleh mejelis hakim, ia juga mendapat hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik.

Pencabutan Hak Politik

Rio Capella bukan satu-satunya politisi yang dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik. Data tim riset Tirto.id menunjukkan sejak tahun 2014 setidaknya ada sekitar 17 nama yang oleh majelis hakim dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik.

Politisi yang hak politiknya dicabut, misalnya: Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden PKS), Akil Mochtar (mantan Ketua MK), Ratu Atut Chosiyah (mantan Gubernur Banten), Fuad Amin (mantan Bupati Bangkalan), Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat), hingga Patrice Rio Capella. Selain nama-nama populer tersebut, masih ada sejumlah nama lain yang hak politiknya juga dicabut oleh majelis hakim.

Hukuman tambahan ini mulai menjadi tren bermula dari kasus korupsi simulator sim yang menjerat Irjen Polisi Djoko Susilo. Saat itu, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri itu dicabut hak politiknya pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Kemudian pada tingkat kasasi, pencabutan hak politik Djoko tersebut diperkuat.

Maraknya pencabutan hak politik ini menuai pro dan kontra. Bagi kelompok yang kontra, pencabutan hak politik dinilai berlebihan karena hal tersebut merupakan hak dasar setiap manusia. Bahkan tidak sedikit yang menilai hal tersebut sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Sementara kelompok yang pro, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru mendukung upaya tersebut. Komisi antirasuah berharap, hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik dapat menimbulkan efek jera yang lebih tegas, terutama bagi seorang pejabat publik yang cenderung menyelewengkan kewenangan yang diembannya.

KPK berharap, pemberian hukuman tambahan yang selama ini hanya diterapkan oleh Mahkamah Agung (MA) diharapkan bisa menjadi rujukan hukum (yurisprudensi) hakim-hakim pengadilan di tingkat daerah. Selain itu, KPK tak segan-segan akan menuntut hukuman pencabutan hak politik kepada terdakwa koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi skala besar.

Infografik Pencabutan Hak Politik

Tapi, apakah pencabutan hak politik benar-benar tidak memungkinkannya memiliki ruang dan kesempatan untuk kembali berpartisipasi di pentas politik?

Dalam konstruksi hukum pidana, pencabutan hak tertentu merupakan salah satu pidana tambahan. Pencabutan hak politik seperti pada kasus Luthfi Hasan Ishaaq, Anas Urbaningrum hingga Patrice Rio Capella bukan tanpa dasar. Hal tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 10 poin b yang menyebut hukuman tambahan terdiri dari pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Sebagai pidana tambahan, pencabutan hak tertentu berarti hanya bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Menurut Andi Hamzah, seperti dikutip laman Hukum Online, hukuman ini tidak dapat berdiri sendiri, kecuali dalam hal-hal tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif, dalam arti dapat dijatuhkan tetapi tidak harus.

Artinya, secara hukum pidana, hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik sudah diatur. Namun, KUHP juga memberikan ketentuan yang jelas soal batasan pencabutan hak ini, seperti diatur dalam Pasal 38 ayat (1) dan (2). Merujuk pada ketentuan ini, maka hakim menentukan lamanya pencabutan hak politik tersebut.

Misalnya, dalam hal pidana mati atau pidana seumur hidup, maka lamanya pencabutan juga seumur hidup. Akan tetapi dalam hal pidana penjara tertentu atau pidana kurungan, maka lamanya pencabutan hak paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun dari pidana pokoknya. Dalam konteks ini, narapidana yang dicabut hak politiknya oleh hakim dapat dihidupkan kembali hak politiknya.

Guru besar hukum tata negara, Mohammad Mahfud MD pada 29 November 2014, pernah menulis artikel “Pencabutan Hak Politik” di Koran Sindo. Dalam tulisannya, Mahfud tidak mau terjebak pada pro dan kontra hukuman pencabutan hak politik apakah melanggar HAM atau tidak. Ia justru menggarisbawahi kritik yang menyatakan bahwa hukuman pencabutan hak politik adalah berlebihan.

Mantan Ketua MK itu sepakat dengan kritik “hukuman pencabutan politik berlebihan” bukan berarti tidak setuju dengan hukuman berat bagi koruptor. Akan tetapi, menurut hemat dia, tanpa dijatuhi hukuman tambahan seperti itu pun, orang yang terbukti melakukan tindak pidana dan dijatuhi hukuman karena korupsi memang secara otomatis tercabut hak politiknya untuk menjadi pejabat publik.

“Kalau ditelusuri satu per satu, semua UU yang terkait dengan peluang untuk menduduki jabatan publik memang melarang orang yang pernah dijatuhi hukuman pidana karena korupsi untuk menduduki jabatan publik,” tulisnya.

Misalnya, Mahfud mencontohkan, untuk menjadi pegawai negeri sipil, menjadi anggota DPR/DPD/DPRD, menjadi hakim agung atau pejabat negara lainnya, disyaratkan tidak pernah dijatuhi hukuman pidana karena tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih. Menurut dia, koruptor adalah pelaku tindak pidana yang ancaman hukumannya di atas lima tahun, sehingga tanpa dimasukkan dalam vonis pengadilan pun, pencabutan hak politik itu langsung berlaku padanya.

Hal senada juga diungkapkan pakar hukum tata negara, Refly Harun. Ia menilai vonis pencabutan hak politik berpotensi bertentangan dengan putusan MK. Pasalnya, MK hanya memutuskan pembatasan hak politik, bukan pencabutan sepenuhnya hak politik terpidana korupsi.

“...Mahkamah Konstitusi sudah mengatur. Mereka yang dihukum dalam tindak pidana yang ancamannya lima tahun, itu sesungguhnya tercabut hak untuk dipilih, selama dia ditahan. Ketika yang bersangkutan bebas, setelah lima tahun, mereka bisa bebas untuk mengikuti kegiatan politik. Hak untuk memilih tidak dihilangkan,” ujarnya seperti dilansir mahkamahkonstitusi.go.id.

Seperti diketahui, pada Maret 2009, MK pernah mengeluarkan putusan No 4/PUUVII/ 2009 yang menetapkan bahwa hukuman pencabutan hak politik dianggap konstitusional, tetapi dengan batasan-batasan tertentu. Misalnya, pencabutan hak politik hanya berlaku sampai lima tahun sejak terpidana selesai menjalankan hukumannya, serta jabatan yang boleh diduduki itu hanya jabatan yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan, bukan jabatan yang diraih karena pengangkatan atau penunjukan.

Melihat ketentuan tersebut, maka peluang Rio Capella kembali ke Partai Nasdem dan aktif kembali di pentas politik nasional masih terbuka. Bahkan setelah lima tahun setelah ia bebas dari penjara, ia diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden, wakil presiden, anggota legislatif dan kepala daerah.

Syaratnya hanya satu: Rio Capella bersedia mengumumkan kepada rakyat pemilihnya bawah dirinya pernah dihukum penjara karena tindak pidana yang pernah dilakukannya. Namun, Rio Capella jangan pernah bermimpi untuk menjadi menteri, duta besar, dan jabatan lain yang tidak melalui pemilihan langsung oleh rakyat.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani