tirto.id - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengalokasikan anggaran hampir Rp1 miliar untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) bagi pejabat atau eselon I pada 2024. Alokasi itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2023 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2024.
Beleid yang ditandatangani pada 28 April 2023 dan diundangkan 3 Mei 2023 itu, merinci anggaran mobil listrik untuk pejabat eselon I mencapai Rp966 juta per orang. Sedangkan eselon II mendapatkan anggaran senilai Rp746 juta per orang.
“Khusus untuk pengadaan kendaraan dinas yang berupa kendaraan bermotor listrik berbasis baterai belum termasuk biaya pengiriman dan pemasangan instalasi pengisian daya," tulis beleid tersebut sebagaimana dikutip Tirto.
Sri Mulyani mengatakan, pengadaan tersebut harus memperhitungkan kebijakan pemerintah terkait fasilitas KBLBB. Selain itu, standar barang dan kebutuhan pengadaan kendaraan mengacu pada ketentuan yang berlaku.
Dalam lampiran yang sama, Sri Mulyani juga mengalokasikan pengadaan motor listrik untuk ASN sebesar Rp28 juta per unit. Sedangkan untuk kendaraan listrik operasional kantor dipatok Rp430 juta per unit.
Di lain sisi, biaya perawatan mobil listrik pejabat eselon I sebesar Rp11,10 juta per tahun dan pejabat eselon II di angka Rp10,99 juta per tahun. Sedangkan perawatan kendaraan listrik operasional dianggarkan Rp10,46 juta per tahun dan motor listrik sebesar Rp3,2 juta per tahun.
Penerbitan PMK ini memang sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk kendaraan operasional pejabat di pusat ataupun daerah. Aturan tersebut sebelumnya sudah diteken pada 13 September 2022.
Inpres Nomor 7/2022 ditujukan ke kepada seluruh menteri di Kabinet Indonesia Maju, sekretaris kabinet, kepala staf kepresidenan, jaksa agung, panglima TNI, kepala kepolisian Indonesia, para kepala lembaga pemerintah non-kementerian, para pimpinan kesekretariatan lembaga negara, para gubernur, serta para bupati/wali kota.
Melalui Inpres itu, Jokowi memerintahkan agar setiap menteri hingga kepala daerah menyusun dan menetapkan regulasi untuk mendukung percepatan pelaksanaan penggunaan kendaraan listrik. Presiden juga menginstruksikan penyusunan alokasi anggaran untuk mendukung program tersebut.
Berdasarkan Inpres 7/2022, penggunaan kendaraan listrik sebagai kendaraan dinas pemerintah, dapat dilakukan melalui skema pembelian, sewa, dan/atau konversi kendaraan bermotor bakar menjadi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terlalu Mahal
Namun, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, standar biaya kendaraan listrik untuk mobil dinas pejabat eselon I masih terlalu mahal. Seharusnya, kata dia, pemerintah mempertimbangkan kesesuaian antara narasi mendorong penjualan kendaraan listrik dengan menjaga agar defisit APBN tidak melebar.
Anggaran yang bombastis ini juga menurutnya tidak sejalan dengan narasi yang dibuat Kementerian Keuangan. Di mana banyak kementerian dan lembaga sebelumnya diminta berhemat dan mencadangkan anggaran untuk mempersiapkan situasi eksternal menantang.
"Tapi standar biaya kendaraan listrik ini akhirnya menimbulkan tanda tanya apakah kondisi fiskal masih memiliki ruang yang lebar? Jadi ada inkonsistensi dengan standar biaya kendaraan listrik yang jumbo," kata Bhima kepada Tirto, Selasa (16/5/2023).
Dia khawatir terjadi pemborosan ketika batas atas anggaran yang ditetapkan dalam PMK tersebut nilainya besar. Karena tidak menutup kemungkinan banyak instansi akan cari mobil listrik yang mendekati batas atas standar biaya ditetapkan tersebut.
Seharusnya, kata Bima, jika pemerintah ingin mendorong kendaraan listrik bisa dimulai dengan ketersediaan stasiun pengisian daya, bengkel, ketersediaan sparepart di berbagai daerah. Bukan dengan mengalokasikan anggaran jumbo untuk kendaraan dinas pejabat.
"Karena jika infrastrukturnya siap, konsumen akan tergerak beli kendaraan listrik," ujarnya.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah justru melihat dari dua sudut pandang yang berbeda mengenai anggaran dinas mobil listrik untuk pejabat baik eselon I dan II. Dari sudut pandang masyarakat kecil, kata Piter, tentu saja pejabat tidak boleh dapat fasilitas mewah apalagi nilai kendaraanya hampir Rp1 miliar.
"Tergantung sudut pandang siapa," katanya kepada Tirto.
Jika dari sudut pandang pejabatnya pasti sudah sesuai bahkan dipastikan juga sudah memenuhi ketentuan fasilitas dan anggaran pejabat. Karena perlu diingat jabatan eselon 1 itu lebih tinggi atau setidaknya setara dengan direktur BUMN yang mendapatkan fasilitas jauh lebih besar.
"Jadi dari sudut pandang ini fasilitas tersebut wajar saja," imbuh dia.
Dialokasikan ke Industri
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad menyarankan, sebaiknya pemerintah mengalokasikan anggaran pembelian kendaraan dinas mobil listrik tersebut untuk industri dalam negeri. Terlebih, rata-rata seluruh pejabat sudah memiliki kendaraan dinas mewah.
"Kita liat eselon I ini sudah memiliki kendaraan rata-rata sudah bagus, rata-rata sudah Fortuner, Pajero. Ngapain kalau sudah ada kendaraan dinas yang bagus, ngapain juga dialokasikan kendaraan listrik," ujarnya kepada Tirto.
Tauhid memahami pembelian kendaraan dinas sebenarnya memang hak dari kementerian lembaga (KL) terkait. Sehingga mereka mau mengalokasikan buat mobil listrik atau yang lain sah-sah saja. Namun dalam hal untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik, menurutnya tidak tepat sama sekali.
“Kalau tetap pemerintah ingin bantu ekosistem bukan dengan itu,” katanya.
Dia mengatakan ekosistem kendaraan listrik bisa tercipta jika pemerintah mendorong atau membangun industri mobil listrik di dalam negeri. Sehingga alokasi pembelian kendaraan dinas sepatunya diarahkan ke sana agar industri mobil listrik nasional tumbuh.
“Jadi bukan hanya pabrikan Korea atau China yang masuk ke mari, tapi bagaimana industri juga muncul dengan merek-merek sendiri,” ujarnya.
Karena mobil listrik ini, menurutnya, adalah suatu keniscayaan bisa dirasakan dampaknya hingga 20-30 tahun. Apalagi mayoritas penduduk Indonesia dan kelompok menengah banyak, sehingga ini menjadi peluang besar jika Indonesia punya brand mobil listrik sendiri.
“Itu harus dicontohkan oleh pejabat kita. Ada unsur nasionalisme di situ. Bukan dengan membeli mobil dinas," ujarnya.
Tak Ada Nilai Tambah
Tauhid melihat bahwa kendaraan mobil listrik yang beredar di dalam negeri saat ini baterainya masih impor. Rata-rata pabrikan industri kendaraan listrik juga belum sepenuhnya dibangun di dalam negeri.
"Sehingga nilai tambah yang diperoleh bukan kita, tapi menguntungkan perusahaan luar," ujarnya.
Ia mencontohkan subsidi kendaraan listrik diberikan Pemerintah China kepada masyarakatnya adalah hanya untuk kendaraan dengan merek lokal. Sehingga industri mereka berkembang di negaranya.
"Korea juga sama diberikan, tapi perbedaan besarnya adalah mereka memberikan subsidi plus pejabat dan sebagiannya tapi merek lokal. Semua membantu industri dalam negeri mereka berkembang," katanya.
Namun dilakukan pemerintah saat ini adalah kebalikannya. Jika cara pandangannya seperti ini, maka Indonesia tidak punya kebanggan terhadap produk dalam negeri.
"Bagaimana kita bisa menjadi pemain besar di dalam negeri kalau pejabatnya sendiri menggunakan kendaraan (luar) tadi bahkan difasilitaskan uang negara lagi kan," jelasnya.
Tauhid sendiri tak menampik bahwa alokasi anggaran mobil listrik pejabat ini memang sebagai upaya mendukung Inpres Nomor 7 Tahun 2022. Akan tetapi, arahnya salah karena industri otomotif dalam negeri semakin terpuruk.
"Memang dari sisi itu kita ada pertumbuhan laku, tapi tidak ada nilai apa pun, nilai tambahnya tidak signifikan tidak ada suatu kebanggan. Buat apa perguruan tinggi disuruh berlomba-lomba inisiatif RND bikin mobil listrik dan sebagainya, tapi tidak masuk fase industri. Pemerintah tidak ada kepedulian soal ini," tegasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz