tirto.id - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) mengatur ulang pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penjualan/penyerahan emas dan jasa yang terkait. Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2023 yang efektif berlaku mulai 1 Mei 2023.
Aturan baru ini mewajibkan pedagang emas perhiasan dan atau emas batangan menjadi pengusaha kena pajak (PKP). Kewajiban yang sama juga berlaku bagi pabrikan emas perhiasan.
Kewajiban menjadi PKP bagi pedagang emas perhiasan dan pabrikan emas perhiasan tertuang dalam Pasal 13 PMK Nomor 48 Tahun 2023. Ketentuan ini berlaku juga bagi pedagang emas perhiasan dan pabrikan emas perhiasan yang menyediakan jasa terkait emas perhiasan.
“Pada akhirnya (ini) akan meningkatkan penerimaan perpajakan secara umum,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti kepada Tirto, Senin (8/5/2023).
Target penerimaan pajak tahun ini sendiri dipatok senilai Rp1,718 triliun. Penetapan target tersebut tentunya mengalami peningkatan Rp2,9 triliun dari yang telah ditetapkan sebelumnya dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Negara (RAPBN) 2023 sebesar Rp1,715 triliun.
Dwi menjelaskan lewat aturan baru ini PKP pabrikan emas perhiasan wajib memungut PPN dengan besaran tertentu sebesar 1,1 persen dari harga jual untuk penyerahan kepada pabrikan emas perhiasan lainnya dan pedagang emas perhiasan atau 1,65 persen dari harga jual untuk penyerahan kepada konsumen akhir.
PKP juga wajib memungut PPN dengan besaran tertentu sebesar 1,1 persen dari harga jual dalam hal PKP memiliki Faktur Pajak/dokumen tertentu lengkap atas perolehan/impor emas perhiasan, atau 1,65 persen dari harga jual dalam hal tidak memilikinya.
Khusus penyerahan oleh PKP Pedagang Emas Perhiasan kepada Pabrikan Emas Perhiasan, besaran tertentu ditetapkan sebesar 0 persen dari harga jual. Tarif tersebut turun jika dibandingkan pengaturan sebelumnya dalam PMK-30/PMK.03/2014.
Sebelumnya PKP pabrikan dan PKP pedagang emas perhiasan terutang PPN sebesar 10 persen dikali dasar pengenaan pajak berupa nilai lain sebesar 20 persen dari harga jual atau penggantian (tarif efektifnya 2 persen dari harga jual atau penggantian).
Selain itu, pengusaha emas batangan juga wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,25 persen dari harga jual. Tarif PPh Pasal 22 ini terhitung turun jika dibandingkan pengaturan sebelumnya dalam PMK34/PMK.010/2017, di mana sebelumnya, dipungut PPh Pasal 22 sebesar 0,45 persen dari harga jual.
Dwi mengklaim pengaturan kembali seluruh mekanisme pajak atas emas ini dilakukan sebagai upaya untuk memberikan kemudahan, kepastian hukum, dan kesederhanaan. Pengurangan beban administrasi perpajakan melalui penyederhanaan mekanisme dan penurunan tarif ini pula diharapkan dapat mendorong wajib pajak agar lebih patuh, sehingga mendorong pertumbuhan tax ratio yang pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan perpajakan secara umum.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengatakan, ketentuan pajak baru ini memang menjadi upaya pemerintah untuk memperluas basis pajak. Terlebih mereka para pedagang perhiasan emas bisnisnya lebih besar jika dilihat dari pendapatannya.
“Mereka memang seharusnya dibebankan pada pajak ini, artinya mereka kan juga sebetulnya berlindung di balik UMKM karena pajaknya kecil,” katanya saat dihubungi Tirto.
Untung dan Rugi
Lebih lanjut, Tauhid melihat ketentuan pajak baru emas dan perhiasan ini ada sisi keuntungan atau positifnya. Pertama tentu saja penerimaan negara akan meningkat, sehingga ini merupakan sebuah dorongan dari pemerintah untuk membuat aturan tersebut.
“Pemasukan negara meningkat baik dari sisi pajak, melalui sumber tadi yang para pedagang emas dibebankan pajak, lalu kena basis pajaknya masuk dalam ruang lingkup batas PTKP, PPh atau PPN-nya akan bertambah,” jelasnya.
Kendati demikian, aturan ini juga bisa berdampak negatif. Karena pada akhirnya pelaku bisnis akan membebankan pajak tersebut kepada konsumen.
Kedua, kata dia, dampak negatifnya adalah harga emas bisa berangsur naik. Sebab biaya yang ditanggung pelaku bisnis juga meningkat akibat beban pajak diberikan pemerintah.
“Karena emas merupakan fundamental dalam inflasi inti, inflasi inti kita akan mengalami kenaikan langsung besar," ujarnya.
Terlepas dari masalah untung rugi, Tauhid meminta kepada pemerintah untuk melakukan sosialisasi secara masif. Karena, sampai saat ini masih banyak pedagang emas yang belum tahu akan aturan ini.
“Sosialisasi perlu diperluas seperti di media, masyarakat. Apalagi, saat ini isu trading di emas sudah besar jadi sebisa mungkin disosialisasikan dengan isu trading tersebut dan forum-forum formal dari Kementerian Keuangan, dialog serta diskusi,” katanya.
“Termasuk pembuatan forum di daerah atau secara nasional. Karena, di mana ada pasar pasti ada toko emas, maka keterjangkauan dari aturan ini bisa sampai ke mereka,” sambungnya.
Penyampaian aturan tersebut dari pemerintah kepada masyarakat menurutnya, perlu disampaikan dengan bahasa yang sederhana serta mudah dimengerti dan jelas. Sehingga masyarakat dan PKP bisa memahami lebih mudah.
“Khususnya untuk para pedagang emas. Sebab, nantinya masyarakat yang ingin beli emas juga akan dibebankan oleh pajak ini juga jadi menurut saya perlu,” kata dia.
Salah satu toko penjual emas, Aminah (35) mengaku tidak mengetahui aturan baru mengenai kewajiban pedagang perhiasan emas dikenakan PKP.
“Untuk aturan baru itu jujur saya tidak tahu mengenai pedagang perhiasan emas dikenakan pajak. Bos saya juga sampai saat ini belum memberi tahu apa-apa soal aturan itu,” jelas Aminah saat ditemui Tirto.
Aminah mengatakan, jika memang aturan tersebut mulai berlaku atau sudah berlaku jangan sampai justru membuat repot pedagang perhiasan emas.
Pedagang Tak Perlu Pungut PPh
Terkait pengenaan PPH, Dwi Astuti menjelaskan dalam kasus pedagang emas pinggir jalan yang umumnya merupakan pedagang emas kepada konsumen akhir, mereka tidak perlu melakukan pemungutan PPh. Karena dalam Pasal 8 ayat (4), pemotongan PPh 21 atau 23 atas jasa terkait dengan emas dilakukan oleh pihak yang membayar imbalan.
Karenanya pedagang emas pinggir jalan tidak perlu melakukan pemotongan PPh 21 atau 23 karena merupakan kewajiban pihak yang membayar imbalan, yaitu pihak yang ditunjuk dan mampu untuk memotong PPh 21/23 sesuai ketentuan yang berlaku.
"Sehingga pedagang emas pinggir jalan yang melakukan penjualan kepada konsumen akhir tidak melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualannya," jelasnya.
Dwi melanjutkan, dalam Pasal 13 juga sudah dijelaskan, bahwa pedagang emas perhiasan yang mengenakan PPN atas penyerahan emas perhiasan atau jasa terkait emas harus merupakan pedagang emas yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) berdasarkan ketentuan UU PPN dan PPnBM.
Di sisi lain, pembeli emas juga tidak perlu menyetorkan PPh ini secara langsung. Karena PPh sudah termasuk dalam harga pembelian emas. Artinya, setiap pembelian emas batangan akan dipungut PPh Pasal 22 oleh badan usaha yang menjualnya dan pembeli akan mendapatkan bukti potong PPh Pasal 22.
Perlu dicatat, setelah membeli emas, Wajib Pajak harus melaporkannya pada SPT tahunan bagian harta akhir tahun. Sesuai dalam buku Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, harta yang perlu dilaporkan dalam SPT tahunan adalah dalam bentuk kas dan setara kas, piutang, investasi, alat transportasi, harta bergerak lainnya, dan harta tidak bergerak.
Sementara, sub-kategorinya secara spesifik menyebutkan uang tunai, tabungan, saham, obligasi, surat utang, reksadana, sepeda motor, mobil, logam mulia, peralatan elektronik, tanah dan bangunan. Selain itu, bukti potong yang didapat saat pembelian emas dapat digunakan sebagai kredit pajak pada SPT tahunan.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz