Menuju konten utama
Wisata Libur Lebaran 2023

Kota Lama Semarang: Sukses Gaet Turis, Konservasi Setengah Hati

Revitalisasi Kota Lama Semarang memang meningkatkan kunjungan wisatawan. Sayangnya, fungsi konservasi cagar budayanya tak sepenuhnya terealisasi.

Kota Lama Semarang: Sukses Gaet Turis, Konservasi Setengah Hati
Pengunjung sedang berswafoto di kawasan Kota Lama Semarang, tetaptnya di depan Gedung Asuransi Jiwasraya bekas Kantor Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Lijfrente Maatschappij van 1859. tirto.id/Baihaqi Annizar.

tirto.id - Ayunda Maharani begitu menikmati liburannya di Kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah. Ia menghabiskan waktu dua jam untuk berkeliling di antara bangunan-bangunan bersejarah peninggalan Hindia Belanda yang sudah berusia ratusan tahun.

Perempuan asal Kabupaten Kendal itu tak mau pulang tanpa oleh-oleh. Berulangkali Ayunda memanfaatkan kamera ponselnya untuk berswafoto. Ia tak segan ganti gaya foto jika hasilnya dirasa kurang memuaskan.

Sesampainya di pusat Kota Lama, Ayunda berdiri membelakangi Gedung Marba yang ada di pinggir Jalan Letjen Suprapto. Ia kemudian mendekat, tangannya memegang fasilitas air mancur yang ada di dekat Marba, lalu kembali mengabadikan momen.

Kebetulan Ayunda mengunjungi Kota Lama saat matahari sedang terik-teriknya pada bulan Ramadan. Jalanan lengang dan tak banyak wisatawan. "Mumpung sepi buat foto-foto, bagus," ujar Ayunda, Kamis (13/4/2023).

Biasanya, Gedung Marba yang bersebelahan dengan Taman Srigunting dan GPIB Immanuel Semarang atau Gereja Blenduk menjadi destinasi utama para pelancong. "Dulu pernah ke sini sore-sore, itu penuh, jalan juga macet."

Tak jauh dari tempat Ayunda berpijak, ada dua ibu-ibu bernama Ami dan Yusti juga tengah sibuk berfoto. Ia memilih latar fasilitas charger box berbentuk kotak berwarna merah. Mereka bergantian saling foto agar hasilnya lebih maksimal.

"Main-main saja, mumpung lewat sini, mampir," jawab perempuan paruh baya, Yusti saat ditanya alasan ke Kota Lama. "Dulu pas ke sini belum ada ini (charger box), warnanya merah, kalau difoto orangnya jadi ikut cerah."

Charger Box

Charger Box di Kota Lama yang mirip Red Box ikon Inggris dan Britania Raya. tirto.id/Baihaqi Annizar

Jadi Wisata Andalan

Berbicara wisata di Kota Semarang tidak bisa lepas dari Kota Lama Semarang yang menjadi destinasi andalan. Kawasan cagar budaya ini diproyeksikan menjadi magnet bagi para wisatawan lokal maupun mancanegara.

Kota Lama Semarang paling ramai dikunjungi pada sore hingga malam hari. Kunjungan di lokasi yang dulunya bernama de Europeesche Buurt tersebut semakin membeludak saat hari libur dan akhir pekan.

Pada waktu-waktu tertentu seperti masa libur panjang, jalanan di Kota Lama harus direkayasa dan disterilkan dari kendaraan agar tidak mengganggu pengunjung yang ramai memadati are ini. Kawasan Kota Lama ini kian sesak jika ada acara pertunjukan dan semacamnya.

Sekitar 20 tahun silam, pemandangan seperti itu sulit untuk dijumpai. Kota Lama tempo dulu identik dengan suasana yang gelap dan suram, membuat orang takut melintas. Sistem drainasenya juga buruk sehingga kerap dilanda banjir dan rob.

Akademisi Universitas Negeri Semarang, M Alam Amrillah dalam penelitian yang terbit di Journal of Indonesian History menyebut, dulu Kawasan Kota Lama masih dalam kondisi yang tidak terawat, sehingga menimbulkan kesan seperti horor dan mencekam.

Hingga akhir abad 20, kata Alam Amrillah, kondisinya masih menjadi kawasan yang sepi dan memiliki citra buruk, bahkan rawan akan tindakan kriminalitas dan di beberapa titik di Jalan Kepodang menjadi lokasi perjudian sabung ayam.

Pemerintah Kota Semarang perlahan mampu menepis kesan negatif Kota Lama. Tahun 2017 menjadi babak baru saat dilakukan revitalisasi. Secara keseluruhan kawasan ini mengalami perombakan, dari mulai perbaikan drainase, perbaikan jalan, hingga penambahan hiasan jalan seperti kursi duduk dan lampu-lampu.

Revitalisasi Kawasan Kota Lama Semarang mendapat gelontoran anggaran sekitar Rp156 miliar dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Meski proyeknya sempat tersendat, tetapi sekarang sudah terlihat hasilnya.

Ungguli Kunjungan Borobudur?

Proyek revitalisasi yang ambisius itu berhasil menyulap Kota Lama Semarang menjadi destinasi wisata sejarah, bahkan disebut sebagai wisata andalan yang jumlah pengunjungnya terus mengalami peningkatan.

Kunjungan wisatawan di Kota Lama Semarang selama libur dan cuti Lebaran 2022 diklaim melampaui kunjungan kawasan Taman Wisata Candi Borobudur. Hal itu didasarkan pada rekap data kunjungan yang dilakukan Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Provinsi Jawa Tengah.

Data yang diambil mulai dari 23 April 2022 sampai 10 Mei 2022 itu mengungkap, Kota Lama Semarang dikunjungi 162.719 wisatawan, di atas Candi Borobudur dengan 153.070 kunjungan wisata dan Pantai Menganti dengan 115.775 kunjungan.

Namun, data kunjungan tersebut perlu dipertanyakan. Bagaimana metode rekap data pengunjungnya? Seberapa akurat hasilnya?

Candi Borobudur selama ini menerapkan sistem tiket melalui satu pintu untuk setiap kunjungan. Tentu berbeda dengan Kawasan Kota Lama yang siapapun bisa berkunjung, bahkan pengendara bebas melintasinya, sehingga sulit didata.

Berdasarkan data statistik pariwisata Jawa Tengah akhir 2022, Kota Lama Semarang sudah tidak masuk dalam daftar wisata yang paling banyak dikunjungi. Sesuai data tersebut, pengunjung terbanyak singgah di Candi Borobudur, Candi Prambanan, Pantai Jatimalang, dan Punthuk Setumbu.

Kunjungan Kota Lama Semarang sepanjang 2022 tercatat sebanyak 1.275.081 wisatawan nusantara dan 1.446 wisatawan mancanegara. Sebagai perbandingan, kunjungan Candi Borobudur pada periode yang sama adalah 1.093.863 wisatawan nusantara dan 34.366 wisatawan mancanegara.

Bangunan-bangunan tua nan bersejarah di Kota Lama masih terus menarik perhatian wisatawan. Jika dirawat dengan baik, Kota Lama bisa menjadi destinasi wisata andalan, bukan hanya di Jawa Tengah apalagi di Kota Semarang, tetapi juga andalan di Indonesia.

Cagar Budaya Kota Lama

Warga lokal duduk di depan bangunan cagar budaya Kota Lama Semarang. tirto.id/Baihaqi Annizar

Ornamennya Kurangi Autentisitas Sejarah

Setelah revitalisasi selesai, Kawasan Kota Lama Semarang sekilas tampak lebih menawan. Namun, Pegiat Cagar Budaya Kota Semarang Tjahjono Rahardjo mengkritik ornamen yang justru mengurangi autentisitas sejarah Kota Lama.

Lampu penerangan jalan termasuk yang ia soroti. "Tiang lampu dibikin seakan-akan kuno, padahal dulu di Kota Lama bentuknya tidak seperti yang ada sekarang. Kalau tidak paham, orang akan tertipu," jelas Tjahjono kepada kontributor Tirto, Senin (10/4/2023).

Akademisi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang tersebut tidak melulu berharap ornamen di Kota Lama akan sama persis dengan zaman dulu. Namun setidaknya, kata Tjahjono, jangan sampai keberadaannya membohongi publik dan mengganggu.

Menurut Tjahjono, tiang lampu yang berjejer bejibun, saking banyaknya sampai-sampai menutupi fisik bangunan cagar budaya. Sehingga, pengunjung saat berfoto dengan latar bangunan bangunan tua, yang terlihat terlihat justru tiang lampu.

"Mungkin kalau pakai lampu sorot, bangunannya disorot dari bawah, itu akan lebih bagus. Atau bisa pilih lampu yang digantung di tengah jalan. Sebenarnya ada banyak pilihan yang lebih baik," ucapnya.

Pembatas jalan di Kawasan Kota Lama juga bentuknya tidak jelas. Bahkan, rantai yang mengait antar-pembatas sering mencelakai pengunjung.

Ada yang lebih parah. Di Kota Lama dipasang dua ornamen charger box atau tempat pengisi daya. Fasilitas publik tersebut berbentuk kotak kaca berwarna merah. Didesain mirip Red Box atau boks telepon umum merah yang menjadi ikon Inggris dan Britania Raya.

Juga pengadaan ornamen air mancur yang terletak di dekat Gedung Marba dan Gedung Galeri UMKM Kota Lama. Desainnya dibuat menyerupai Victorian Drinking Fountain (air mancur untuk minum) di Pearson Park, Hull, Inggris.

Tjahjono menyebut dari segi fungsi, charger box dan air mancur, bermanfaat. "Tapi pemilihan bentuknya tidak tepat. Red Box dan Drinking Fountain itu khas Inggris, kenapa ditempatkan di Kota Lama?" tanyanya terheran-heran.

Red Box dan Drinking Fountain, katanya "Tidak pernah ada di Belanda maupun di Hindia Belanda. Jadi tidak sesuai dengan perjalanan sejarah Kota Lama."

Pria kelahiran 1952 yang pernah mengenyam pendidikan magister di Erasmus Universiteit, Rotterdam, Belanda itu menyarankan agar ke depan dilakukan kajian terlebih dahulu sebelum mengadakan suatu ornamen di kawasan cagar budaya.

Ornamen Air Mancur

Ornamen air mancur di Kota Lama Semarang yang menyerupai Victorian Drinking Fountain di Pearson Park, Hull, Inggris. tirto.id/Baihaqi Annizar

Gagal Lakukan Konservasi

Revitalisasi Kawasan Kota Lama telah memakan waktu yang panjang. Prosesnya juga tidak mudah, apalagi sebagian bangunan di kawasan berjuluk "The Little Netherland" ini berstatus kepemilikan perorangan atau swasta.

Berdasarkan penjelasan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Situs Kota Lama disebutkan, Kawasan Kota Lama dibagi menjadi dua zona, yakni zona inti seluas 25,277 hektar dan zona penyangga 47,081 hektar.

Ada 117 bangunan di zona inti Kota Lama. Beberapa bangunan peninggalan kolonial Belanda tersebut masih beroperasi hingga saat ini. Luasnya area dan padatnya bangunan tua membuat revitalisasi dilakukan secara bertahap.

Tjahjono yang merupakan dosen Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata Semarang menghargai upaya revitalisasi Kota Lama yang telah dilakukan. Namun, apresiasinya dibumbui catatan.

Tjahjono Rahardjo

Pegiat Cagar Budaya Kota Semarang Tjahjono Rahardjo saat ditemui di Gedung Monod Diephuis & Co, Kota Lama Semarang. tirto.id/Baihaqi Annizar

Menurut pria yang pernah menggeluti studi arsitektur di Universitas Diponegoro, beberapa bangunan yang direnovasi berubah dari bentuk asalnya, tidak sesuai nilai-nilai yang disyaratkan dalam konservasi. Seperti renovasi bangunan rumah makan Pringsewu yang mengubah bentuk asimetris menjadi simetris.

Hingga kini, ada beberapa bangunan di Kota Lama yang tidak terawat. Contohnya, bangunan bekas kantor redaksi harian De Locomotief di Jalan Kepodang (dulu van Hogendorpstraat), Semarang. Bangunan yang harusnya dilindungi Undang-Undang Cagar Budaya itu dibiarkan roboh.

"Bekas kantor De Locomotief tinggal bekasnya. Padahal itu kantor koran terkemuka di zaman Hindia Belanda yang mencetuskan istilah politik etis atau politik balas budi," ucap Tjahjono sambil mengernyitkan dahi.

Mirisnya, beberapa bangunan bersejarah gagal direnovasi. Seperti bangunan pendapa di Jalan Letjen Suprapto yang berubah drastis menjadi Kantor Satlantas Kota Semarang, sebagaimana catatan pemutakhiran data cagar budaya oleh BPCB Jawa Tengah.

Salah satu bagian Gedung eks-Percetakan van Dorp bahkan hilang dan dijadikan lahan parkir terbuka. Nasib serupa juga terjadi pada Hotel Jansen, salah satu hotel termegah di Semarang pada masanya yang kini tinggal nama.

Tjahjono mempunyai dua jawaban saat ditanya pandangannya tentang revitalisasi Kota Lama. "Kalau lihatnya untuk menarik wisatawan, revitalisasinya sangat berhasil. Tapi, kalau melihatnya tentang konservasi kawasan cagar budaya, belum berhasil," ucapnya.

Bangunan Terbengkalai

Bangunan terbengkalai di Kawasan Kota Lama Semarang. tirto.id/Baihaqi Annizar

Baca juga artikel terkait WISATA LEBARAN atau tulisan lainnya dari Baihaqi Annizar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Baihaqi Annizar
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Maya Saputri