Menuju konten utama

Eksploitasi Air Tanah Perlahan Menenggelamkan Kota Semarang

Selain lewat pengetatan perizinan, pengendalian eksploitasi air tanah bisa dilakukan dengan pengenaan pajak.

Eksploitasi Air Tanah Perlahan Menenggelamkan Kota Semarang
Rumah tenggelam di Kelurahan Tanjung Emas, Semarang Utara. tirto.id/Baihaqi

tirto.id - Penurunan permukaan tanah di Kota Semarang, Jawa Tengah bukan hal baru. Masyarakat, terutama yang tinggal di kawasan pesisir merasakan betul fenomena tanah amblas. Rumah mereka terpaksa harus ditinggikan secara berkala agar tidak tenggelam.

Di perkampungan dekat Pelabuhan Tanjung Emas Semarang ada beberapa rumah yang tidak ditinggikan dan berakhir ditinggalkan pemiliknya. Kondisi rumah yang terbengkalai umumnya tergenang air lantaran kalah tinggi dengan bangunan di sekeliling.

Omah iku wes suwi gak ditinggali, sing nduwe mileh pindah timbang ndandani terus (rumah itu sudah lama tidak ditempati, yang punya memilih pindah daripada harus terus memperbaiki)” kata Darmo kepada kontributor Tirto sambil menunjuk rumah tenggelam di Kelurahan Tanjungmas, Senin (20/3/2023).

Penurunan muka tanah menjadi ancaman nyata yang harus dicari akar masalah dan solusinya. Para peneliti lintas negara yang tergabung dalam Konsorsium Ground Up menyimpulkan, penurunan muka tanah di Kota Semarang salah satunya disebabkan oleh masifnya ekstraksi air tanah.

Hasil penelitian Konsorsium Groud Up yang dipublikasikan pada 2021 itu mengungkap, ekstraksi air tanah di Semarang pada 1900-an hanya 0,4 juta meter kubik per tahun, mengalami peningkatan menjadi 38 juta meter kubik per tahun pada 2000-an.

Semarang disebut mengalami ketergantungan pada air tanah untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari dengan persentase mencapai 79,7 persen. Dari 79,7 persen tersebut, sebanyak 48,6 persen menggunakan air tanah dalam (ATDm) dan 31,1 persen menggunakan air tanah dangkal (ATDl).

Pengendalian Pengambilan Air Tanah

Kota Semarang sebenarnya mempunyai Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Moedal yang digadang-gadang mampu menyuplai kebutuhan air seluruh kota dengan memanfaatkan pengelolaan air yang ramah lingkungan. Namun, harapan itu belum sepenuhnya terwujud.

Pada Novermber 2018, Wali Kota Semarang kala itu mengakui PDAM belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan air bersih. Dari total penduduk 1,7 juta jiwa atau 450 ribu-an kepala keluarga di Semarang, baru sebanyak 171 ribu keluarga yang teraliri PDAM Tirta Meodal.

PDAM pun berupaya memperluas jangkauan dengan membangun Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di beberapa lokasi.

Pada Oktober 2021, wali kota setempat mengklaim PDAM sudah mampu memenuhi kebutuhan air bersih sekitar 80 persen keluarga di kota ini. Sayangnya, Direktur PDAM Tirta Moedal belum bisa dihubungi untuk menjelaskan jumlah pengguna PDAM saat ini.

Di sisi lain, pada 2022 Pemerintah Kota Semarang sempat mewacanakan membentuk tim gabungan untuk mengendalikan pengambilan air tanah di wilayah Kota Semarang, terlebih di daerah pesisir.

Tim pengendalian air tanah dibentuk sebagai respons terhadap berbagai masukan pemerhati lingkungan yang menyebut pemakaian air tanah sebagai salah satu faktor yang mempercepat penurunan muka tanah.

Melalui tim gabungan ini nantinya pihak-pihak yang masih menggunakan air tanah akan didorong untuk beralih memanfaatkan suplai air dari PDAM Tirta Moedal. Karena selama ini perusahaan di daerah pesisir masih banyak yang mengambil air tanah secara langsung.

Rumah tenggelam Tanjung Emas

Rumah tenggelam di Kelurahan Tanjung Emas, Semarang Utara. tirto.id/Baihaqi

Banyak Pabrik Andalkan Air Tanah

Pabrik Kawasan Industri Lamicitra dan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang mayoritas masih mengandalkan air tanah untuk mencukupi kebutuhannya. Kondisi tersebut sudah menjadi sorotan sejak lama.

Deo Volentino pada penelitian yang terbit dalam Jurnal Wilayah dan Lingkungan periode Desember 2013 menyatakan, kawasan industri cenderung memilih menggunakan air tanah karena PDAM tidak mampu memenuhi permintaan industri.

Di samping itu, lokasi industri yang bertepatan di atas cekungan air tanah (CAT) menjadi pendorong bagi mereka untuk memanfaatkan potensi yang ada. Apalagi biaya yang dikeluarkan lebih murah serta kontinuitasnya lebih terjamin dibandingkan dengan berlanggan PDAM.

Penelitian Deo berjudul "Kajian Pengawasan Pemanfaatan Sumberdaya Air Tanah di Kawasan Industri Kota Semarang" juga menyatakan, tingkat kepatuhan industri dalam mengurus surat izin sumur artesis dan upaya konservasi air tanah relatif rendah. Hal itu diperparah dengan pengawasan yang lemah.

Akademisi dari Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, J Wijanto Hadipuro juga mengungkapkan hal serupa. "Industri di sekitar pelabuhan hampir tidak ada yang berlangganan PDAM, mereka masih mengandalkan air tanah," ujarnya, Selasa (21/3/2023).

Wijanto mendorong masyarakat, khususnya industri yang kebutuhan airnya tinggi untuk berlanggan air ke PDAM. Meskipun ia paham, selama ini belum ada kebijakan yang secara tegas melarang melakukan eksplorasi atau pengambilan air tanah.

Pengendalian ekstraksi air tanah salah satunya dilakukan dengan cara memperketat perizinan. Sayangnya, aturannya terlalu mudah. Perlu dievaluasi. Minimal, tidak boleh diizinkan membangun sumur artesis bagi daerah yang sudah terlayani pipa PDAM.

Kota Semarang perlu meniru Kota Bogor dalam hal pengendalian pengambilan air tanah. Wijanto menyebut, di Bogor apabila mengajukan izin pengeboran air tanah harus melalui tahap konsultasi dengan PDAM. Jika PDAM mampu memasok air ke lokasi, maka izin otomatis ditolak.

"PDAM sebenarnya siap memasok industri di Semarang, tapi masalahnya industrinya tidak mau. Harusnya Semarang meniru Bogor. Kalau mekanisme itu bisa berjalan, bagus," ungkap Wijanto selaku pemerhati air tanah.

Perbaiki Regulasi Pajak Air Tanah

Selain lewat pengetatan perizinan, pengendalian eksploitasi air tanah bisa dilakukan dengan pengenaan pajak. Jawa Tengah sudah memiliki Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 19 Tahun 2017 tentang pedoman harga dasar air untuk menghitung nilai perolehan air tanah yang dikenai pajak.

Pergub tersebut mengakomodir biaya untuk perbaikan kerusakan lingkungan akibat pengambilan air tanah. Kerusakan lingkungan itu meliputi: penurunan muka air tanah; penurunan permukaan tanah; salinisasi; dan pencemaran air tanah.

Harga dasar air tanah sesuai Pergub juga mempertimbangkan kerentanan wilayah akibat pengambilan air tanah. Ada klasifikasi Wilayah A untuk kabupaten kota dengan risiko pengambilan tinggi; Wilayah B untuk risiko pengambilan menengah; dan Wilayah C risiko pengambilan rendah.

Kota Semarang dan sembilan kabupaten kota lain di Jawa Tengah masuk kategori Wilayah A yang risikonya rentan. Klasifikasi wilayah ini mempengaruhi harga dasar air tanah. Wilayah A tarifnya lebih mahal dibandingkan dengan Wilayah C.

Untuk penghitungannya, harga dasar air tanah dikalikan volume air yang diambil, maka akan keluar nilai perolehan air (NPA). Selanjutnya, NPA digunakan sebagai dasar perhitungan pajak air tanah. Khusus untuk Kota Semarang, tarif pajak air tanah sebesar 20 persen dari NPA.

Wijanto yang merupakan dosen Program Magister Lingkungan dan Perkotaan itu mengapresiasi Pergub yang sudah memasukan komponen kompensasi pemulihan lingkungan. Ia juga menilai pengenaan pajak 20 persen sudah cukup tinggi.

Masalahnya, kata dia, harga dasar air tanah yang tercantum dalam lampiran Pergub 19/2017 terlalu murah. "Sayangnya tidak ada perhitungan teknis harga dasarnya lalu tiba-tiba di lampiran keluar angka. Itu yang jadi masalah," kritik Wijanto.

Bahkan harga dasar yang tercantum di peraturan lebih rendah daripada tarif PDAM, khususnya tarif untuk industri. Sehingga wajar jika mayoritas industri di kawasan pelabuhan memilih untuk memanfaatkan sumur artesis meskipun dikenai pajak.

"Belum lagi adanya potensi sumur ilegal tanpa pajak. Kalau pun sumur artesisnya dipajakin semua, meterannya juga perlu dipertanyakan apakah valid atau tidak," kritik Wijanto.

Tanpa perbaikan regulasi, eksploitasi air tanah di Kota Semarang bakal semakin masif yang berdampak pada penurunan permukaan tanah. Mengutip hasil penelitian Pei-Chin Wu, Meng Wei, dan Steven D’Hondt: Semarang merupakan kota dengan laju penurunan tanah tertinggi kedua di dunia.

Baca juga artikel terkait AIR atau tulisan lainnya dari Baihaqi Annizar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Baihaqi Annizar
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Abdul Aziz