tirto.id - Sebuah kursi plastik yang tersudut di ruang itu menjadi perhatian saya. Warna putihnya sudah rabun, menguning dilumuri lumpur mengering. Dilatari cetakan foto kira-kira 4x5 meter yang menampilkan sebuah rumah bergaris kotor pada fasadnya, ditinggal penghuni, dan seperti siap dilumat lumut.
Muka rumah pada potret itu, juga kursi plastik sebagai penyertanya, adalah milik penduduk Bandung Selatan. Diambil Marten Bayuaji, lalu dipamerkan kembali di Indeks Project Space, sebuah rumah sewa di dempet gang, Jalan Pangampaan, Regol, Kota Bandung, Minggu malam, 12 Maret 2023.
Karya berjudul Sometimes Rains Come Without Drizzle itu menjadi artefak tentang persoalan banjir yang akut di kawasan Bandung Selatan. Marten mungkin mengajak agar para pengunjung menjejak kembali luapan air yang menggenang segala yang di sana.
Potret halaman rumah dan kursi yang kosong justru mengundang bayangan tentang bagaimana penduduk di Bandung Selatan, satu demi satu, mulai meninggalkan kampung halaman. Sebagian lain terpaksa bertahan karena tak ada pilihan tempat tinggal lagi.
Mereka yang berpindah maupun bertahan tak ada bedanya, korban dari luapan air banjir yang bertahun-tahun terus mengulang, seperti tak peduli meski acara seremonial peresmian kolam-kolam retensi telah berkali dilakukan, sebagaimana diyakini jadi salah satu solusi penyelesaian banjir.
Karya Marten menegaskan masalah air di Bandung Selatan yang belum juga beres hingga kini.
Dalam pameran kolektif bertajuk “Modus: Air” persoalan banjir ini juga diketengahkan oleh Syaiful A. Garibaldi lewat karya berjudul Kroraj Lituari. Dia menampilkan instalasi ketinggian banjir Bandung Selatan lewat lembaran fiberglass yang dilamati lichen.
Tercatat ada 11 seniman yang berkontribusi dalam pameran tersebut, yakni Agung Eko Sutrisno, Angga Wedhaswara, Aulia Yeru, Irwan Zabonk, Marten Bayuaji, Syaiful A. Garibaldi, Deathless Ramz, Francesca Bertin, Kurt Peterson, Rega Ayundya, dan Ridho Siregar. Semua kerja artistik mereka didasarkan pada isu air.
Pencemaran dan Rakusnya Eksploitasi Air Tanah
Selain banjir, persoalan lain yang direspons adalah masalah pencemaran sungai dan eksploitasi air tanah yang berlangsung secara rakus. Masalah ini dianggap berkelindan dengan kebijakan pemerintah, semisal pemberian izin kegiatan industri yang tak jarang serampangan dan malah mengabaikan dampak terhadap lingkungan.
Pencemaran sungai karena limbah industri maupun domestik masih terjadi hingga kini. Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Bandung Dalam Angka 2023 tentang kualitas air sungai, semua sungai di Kota Bandung dinyatakan dalam keadaan tercemar. Dari 24 sungai, 19 sungai cemar ringan dan 5 sungai cemar sedang.
Sementara, penyelidikan Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL) Badan Geologi Kementerian ESDM menunjukan, adanya penurunan muka air tanah secara signifikan di Cekungan Bandung, masuk kategori kritis dan rusak.
Kerusakan air diduga lantaran ekstraksi air tanah yang berlebihan, melampaui daya dukung lingkungannya oleh mata bor sumur-sumur pemegang izin pengusahaan air tanah seperti untuk pabrik atau hotel.
Masalah tersebut ditanggap lewat kerja artistik Aulia Ibrahim Yeru dan Agung Eko Sutrisno. Dalam karya Areas Filem: Cikapundung Kolot, Aulia Yeru melakukan eksplorasi dengan medium seluloid 35 mm yang diekspos secara fotografis di bawah air, untuk kemudian direndam dalam sampel air sungai dari daerah Bojongsoang. Air sungai yang diduga telah tercemar itu ternyata bereaksi pada film sehingga menghasilkan warna yang cukup kontras.
Sementara Agung Eko Sutrisno, mengelaborasikan kerja artistiknya dengan profesinya sebagai seorang wartawan. Melalui bentuk seni performans, membacakan dan memajang esai, serta lembar regulasi soal Citarum Harum.
Dia menguraikan hubungan yang terbentuk antara pelaku seni pertunjukan dan semangat aktivisme pasca-Reformasi 98, yang bertaut dengan isu-isu ekologi yang berhubungan dengan air. Eko misalnya turut mengabarkan, masalah krisis air di wilayah Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat. Warga yang kesulitan air setelah banyak pabrik berdiri.
“Suatu pagi di daerah Ngamprah (Kabupaten Bandung Barat), ada seorang ibu yang mengantre selama tiga jam demi satu jerigen kecil air bersih. Dia bersaing dengan ibu-ibu lain yang juga mengantre,” kata Eko.
Sebaris Karya Air Bandung yang Rusak
Agung Eko Sutrisno dari Performance RAR, mengatakan, geliat seni performans di Bandung kerap aktif pada ruang kritik termasuk menyasar isu kerusakan ekologis yang dampaknya terasa dalam hidup keseharian masyarakat. Beberapa tema kekaryaan yang sering muncul di antaranya soal rusaknya kualitas air, meliputi pencemaran sungai atau hilangnya mata air, hingga penyakit yang dipicu cemaran air limbah industri.
Menurut seniman sekaligus jurnalis koran pagi Radar Bandung itu, pangkal soalnya bisa ditarik ke belakang pada "kesalahan Orde Baru yang memberikan lisensi pada perusahaan swasta untuk melakukan penebangan legal sehingga menjadi penyebab utama kerusakan ekologi yang berdampak pada kualitas air.”
Ketika krisis ekologis, wajar jika seniman kemudian urun menyampaikan pembacaan dan kritikannya. Merujuk arsip Performance RAR, dalam rentang 2009-2023 sejumlah seniman di Bandung terus berulang mengusung karya soal permasalah air.
Pada Maret 2021, misalnya, tepat sehari sebelum peringatan Hari Air Sedunia, penari tradisi Ine Arini membuat kolaborasi seni performans bersama Tisna Sanjaya dan Isa Perkasa, merespons kualitas air Sungai Citarum yang kian memburuk.
“Hari itu Ine menari di atas kapal nelayan berbalut ranting pohon, Tisna Sanjaya melukis memakai tanah di kanvas, sementara Isa Perkasa di pinggir sungai melukis pakai tanah lumpur, berkostum putih dan menyangga bola dunia di atas kepala," disampaikan Eko.
Persoalan banjir juga pernah dimuat dalam karya Kolektif KURR KLUB (2017). Rio Genta, seniman yang mukim di Banjaran, Kabupaten Bandung, mempertunjukkan karya “Seret.” Saat itu, bersama masyarakat sekitar, Genta menderek kasur ke puncak sebuah bukit, menandakan bahwa wilayahnya tak pernah sepi diterjang banjir.
Lebih dulu lagi, kelompok seni performans Koloni Hitam menampilkan karya "Siklus Air" pada 2009 lalu. Mereka merespons siklus hidrologis Cekungan Bandung yang memburuk dihimpit masifnya pembangunan, semisal di Kawasan Bandung Utara (KBU). Lainnya, pada 2007-2010 Imah Budaya Cigondewah yang mengangkat masalah pencemaran sungai akibat industri tekstil. Ackay Deni dan Anffa Wedhaswara juga mengangkat pencemaran sungai di wilayah Cigondewah (2010).
Lainnya, pameran tunggal Titik Balik Project (2014) yang dilakukan di danau Situ Ciburuy yang tercemar limbah industri dan domestik. Dalam pertunjukannya, seniman Aliansyah Caniago menarik sebuah perahu berumur puluhan tahun yang diminta dari masyarakat sekitar, menariknya sampai ke pusat Kota Bandung di atas jalan beraspal.
Apa yang ditampilkan dalam karya-karya itu tidak hanya mencuplik sengkarut masalah lingkungan saat ini, tapi juga tercermati sebagai upaya menggali kearifan lama yang menjaga dan menjunjung tinggi air dalam lingkup kebudayaan.
Perhelatan Annual Jeprut (2014) dapat dianggap contoh. Sejumlah seniman melakukan aksinya di air terjun Curug Omas, Maribaya, Bandung Barat. Wawan Setiawan Husin menelusuri ulang keadaan hulu sungai.
“Praktik seni performans Wawan erat kaitannya dengan ritual tradisi masyarakat Sunda yakni Ngaruwat Cai. Ritual ini dipercayai bahwa nenek moyang memberi amanat menjaga saluran air, lahan pertanian dan kehidupan kampungnya. Sehingga menjaga sumber air menjadi penting bagi masyarakat Sunda,” jelas Eko.
Akankah Seni Berdampak?
Air dianggap menjadi inspirasi yang cukup dekat dalam pengembangan karya-karya artistik di Bandung. Dari yang bertema lingkungan hingga non-lingkungan, dari masalah sosial hingga kenangan personal.
Beberapa seniman terekam menitikberatkan air dalam praktiknya atau meraih reputasi melalui karya-karya mereka yang mengusung tema air.
Lantas, apakah yang diharapkan dari seniman setelah puluhan kali melakukan aksinya itu? Apakah heroisme yang dilakukan seniman akan berdampak atau hanya berhenti di berita esok hari? Apakah hanya akan menjadi kesia-siaan belaka?
Pertanyaan demikian dilontarkan Agung Eko Sutrisno saat ia melakukan performans di rumah Indeks. Pameran di rumah Indeks bahkan disebut (bisa jadi) tidak akan mengubah situasi ekologis.
Kendati demikian, pameran tersebut tampak menegaskan kerja artistik yang memilih didasarkan pada pengamatan dan riset. Seolah mengutip pernyataan lama yang menyebutkan bahwa kesenian tidak lahir dari ruang hampa, kerja kesenian kerap menautkan diri dengan kondisi lingkungannya, termasuk masalah air.
“Modus: Air berharap dapat membangun serangkaian pertanyaan kritis seputar kelindan praktik artistik (berbasis riset) dengan kondisi lingkungan,” dikutip dari catatan kuratorial pameran.
Penulis: Dikdik Ripaldi
Editor: Abdul Aziz