Menuju konten utama
Kinerja Kepolisian

Calo Rekrutmen Anggota Polri & Celah Sistem yang Perlu Dibenahi

ISESS sebut praktik calo penerimaan anggota Polri sudah ada sejak lama dengan motif dan modus berbeda-beda.

Calo Rekrutmen Anggota Polri & Celah Sistem yang Perlu Dibenahi
Ilustrasi korupsi. FOTO/ Getty Images

tirto.id - Lima anggota polisi dan dua ASN yang berdinas di Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah terbukti melakukan pungutan liar dalam seleksi penerimaan siswa Bintara Tahun Angkatan 2022. Meskipun bersalah, semua lolos dari hukuman pemecatan.

Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Iqbal Alqudusy mengatakan, para pelaku terbukti melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian. Masing-masing mendapat hukuman administrasi berbeda.

Tiga polisi berinisial Kompol AR, Kompol KN, dan AKP CS dihukum demosi atau penurunan jabatan selama dua tahun. Sedangkan hukuman dua polisi lain berinisial Bripka Z dan Brigadir EW adalah ditempatkan di tempat khusus masing-masing selama 21 hari dan 30 hari.

Hukuman administrasi juga dijatuhkan kepada dua PNS Polri yang juga terlibat dalam percaloan tersebut. Seorang dokter disanksi penurunan jabatan satu tingkat selama satu tahun dan satunya dihukum potong tunjangan selama 12 bulan.

Berdasarkan hasil sidang diketahui, para pelaku menjalankan aksi culasnya secara sendiri-sendiri. Mereka memintai uang kepada belasan peserta yang sebenarnya lolos seleksi. “Tindakan itu dilakukan sebelum pengumuman," ujar Iqbal, Kamis (9/3/2023).

Barang bukti yang diamankan berbeda-beda, ada pelaku yang mengantongi Rp750 ribu, Rp350 juta, hingga Rp2,5 miliar. Barang bukti tersebut dikembalikan kepada para pemberi.

Iqbal belum bisa menerangkan tentang proses pidana para pelaku. "Sementara itu, nanti kami tanyakan dulu ke Propam," jawabnya.

Ketua Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Jawa Tengah, Edy Susanto mengapresiasi pengusutan calo dalam seleksi masuk kepolisian di Polda Jawa Tengah, meskipun penanganan perkaranya masih belum selesai.

Menuruy Edy, terungkapnya kasus ini menjadi bukti bahwa masih ada polisi nakal yang meminta uang dalam rekrutmen anggota kepolisian, meskipun selama ini Polri sebagai lembaga penegak hukum getol menggaungkan anti-pungli.

Dia mendesak agar para pelaku diberi hukuman maksimal sebagai upaya memberi efek jera serta agar tidak terjadi pengulangan kasus serupa. "Harus disanksi berat agar yang lain tidak berani main-main," ucapnya.

Tidak Cukup Hanya Pecat

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman sebenarnya berharap agar para calo penerimaan Bintara Polri Angkatan 2022 tersebut dijatuhi hukuman yang berat.

“Masa penegak hukum melanggar hukum dalam bentuk menerima suap pada penerimaan calon polisi," ucapnya kepada kontributor Tirto, Kamis (9/3/2023).

Karena praktik percaloan masuk kategori berat, maka sanksi yang diberikan juga harus sesuai. Pelaku yang disidang kode etik sudah sepantasnya diberhentikan dengan tidak hormat.

“Sanksi pertama tentu dipecat supaya mereka tidak berhak pensiun dan sebagainya," ujar Boyamin.

Kedua, kata dia, polisi tersebut juga harus diproses pidana. Karena tindakan memeras, pungli, atau menerima suap bagi aparat kepolisian masuk kategori tindak pidana korupsi.

"Jadi jangan hanya sanksi pemecatan saja, harus diproses hukum agar nanti dapat hukuman penjara, denda, dan pengembalian uang. Ini penting supaya efeknya ke depan tidak terjadi lagi," kritik Boyamin.

Bahkan, aktivis antikorupsi itu menyinggung perlunya menelusuri apakah ada unsur kelalaian pengawasan pimpinan sehingga membuat anggotanya melakukan kesalahan.

"Sepanjang terbukti tidak melakukan pengawasan melekat, maka semestinya (atasan) juga diberi sanksi sesuai kadar kesalahannya," papar Boyamin.

Masih Banyak Temuan Kasus

Berdasarkan Keputusan Asisten Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia 2020, penyelenggaraan rekrutmen dan seleksi pendidikan dan pengembangan pegawai negeri pada Polri, salah satunya menerapkan sistem BETAH (Bersih, Transparan, Akuntable, dan Humanis).

"Strateginya adalah terselenggaranya rekrutmen dan seleksi dikbang pegawai negeri pada Polri secara proaktif dan BETAH serta clear and clean dengan mempertimbangkan kebijakan minimal zero growth," demikian bunyi kutipan Rencana Strategis SDM Polri Tahun 2020-2024.

Namun, Polri tetap saja kecolongan. Kasus pungli pada rekrutmen anggota Polri masih ditemukan. Seolah pengungkapakan kasus yang telah dilakukan selama ini tidak memberi efek jera.

Perlu diketahui, selain kasus percaloan yang terungkap di Polda Jawa Tengah, pada Juni 2022 ada anggota Polda Sulawesi Tengah berinisial Briptu D ditangkap atas dugaan kasus serupa.

Majelis Hakim Komisi Kode Etik Polri (KKEP) menyatakan Briptu D terbukti bersalah menerima gratifikasi Rp4,4 miliar dari 18 calon siswa Bintara gelombang kedua 2022. Namun, ia hanya disanksi penundaan kenaikan pangkat dan mutasi yang bersifat demosi.

Pada tahun yang sama, anggota Polres Rote Ndao berinisial Aipda AA dan Briptu JK dilaporkan ke Polda Nusa Tenggara Timur karena menjadi calo penerimaan Bintara Polri. Korbannya ada belasan orang. Aipda AA menjalani sidang kode etik pada Januari 2023.

Kasus yang banyak terungkap umumnya berupa pungutan liar yang dilakukan polisi yang tidak terorganisir. Mereka mengandalkan statusnya sebagai polisi untuk mengakali calon pendaftar.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto berpendapat, praktik calo penerimaan anggota Polri sudah ada sejak lama dengan motif dan modus berbeda-beda.

“Masalah calo sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, tetapi susah untuk terbongkar," ucap Bambang, Selasa (7/3/2023).

Menurutnya, percaloan sulit diungkap karena masing-masing pihak saling diuntungkan: penerima suap mendapat bayaran dan penyuap merasa berterima kasih karena bisa lolos menjadi polisi.

Nominal yang dipatok oleh calo tidak sama, pasarannya untuk seleksi Tamtama Rp150 juta per orang, adapun seleksi Bintara mencapai Rp250 juta. "Tergantung lokasinya juga, kalau polda luar Jawa biasanya lebih murah," ucap Bambang.

Jika bukan adanya operasi tangkap tangan, kasus semacam ini baru terungkap ketika ada yang melapor karena merasa dirugikan, misalnya calon siswa sudah membayar tetapi tidak lolos seperti yang terjadi di Polres Rote Ndao, Polda NTT.

Perlu Pembenahan Sistem

Untuk meminimalisir adanya kecurangan, Bambang mengusulkan pengawasan seleksi penerimaan anggota Polri harus melibatkan pihak eksternal seperti peran akademisi.

Di sisi lain, Bambang mengkritik sistem seleksi yang diberlakukan. Dia menyadari bahwa saat ini sistemnya sudah terdapat kemajuan di mana rangking peserta seleksi diumumkan secara terbuka.

“Sekarang rangkingnya ditampilkan di aula. Hanya saja rincian nilainya tidak ditampilkan, peserta tidak tahu letak kesalahannya mengapa dia bisa dapat nilai segitu," ujarnya.

Tes yang penilaiannya bersifat kuantitatif sudah jelas standarnya. Namun, untuk tes yang bersifat kualitatif perlu diperjelas rinciannya. Bambang mencontohkan dengan tes pemeriksaan antropometri yang standarnya tidak diumumkan.

“Harusnya tes dibuat terbuka, kreterianya apa harus dijelaskan sejak awal. Panitia harus membuka ruang konsultasi agar peserta yang gagal bisa evaluasi diri apa yang harus diperbaiki jika mau ikut tes pada tahun berikutnya," usulnya.

Bambang juga menyoroti tentang rangkaian tes yang urutannya perlu dievaluasi karena ada tes dasar yang dilakukan tidak pada tahap awal.

Pernah ada kasus peserta seleksi calon Bintara Polri 2021 di Polda Metro Jaya lolos tahap I dengan peringkat 35 dari total 1.200 peserta. Namun, peserta tersebut dianulir dan tergeser peserta yang awalnya tidak lolos. Usut punya usut, ternyata yang bersangkutan menderita buta warna parsial.

“Harusnya kan tes yang vital seperti itu dilakukan di awal, sehingga orang tidak perlu capek-capek mengikuti sampai akhir," kritiknya.

Bambang berharap ke depan rekrutmen anggota Polri bisa bersih dari KKN. Jika panitia seleksi melakukan penyelewenangan, menurutnya pejabat bidang SDM perlu bertanggung jawab.

Baca juga artikel terkait CALO atau tulisan lainnya dari Baihaqi Annizar

tirto.id - Hukum
Kontributor: Baihaqi Annizar
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Abdul Aziz