Menuju konten utama

Nestapa Warga Kampung Pesisir Semarang di Tengah Ancaman Rob

Penurunan muka tanah diperparah dengan beban bangunan berlebih yang didirikan di atas tanah muda kawasan pesisir.

Nestapa Warga Kampung Pesisir Semarang di Tengah Ancaman Rob
Jumiati menerung di teras rumahnya di Kampung Bahari Tambaklorok. tirto.id/Baihaqi

tirto.id - Jumiati tidak pernah tidur nyenyak. Saat mata terjaga pun selalu was-was. Gelombang air laut yang terus-menerus menghantam rumahnya, menjadi momok bagi perempuan berusia 55 tahun itu.

Rumah Jumiati berada di ujung Kampung Bahari Tambaklorok, Kota Semarang yang berada di kawasan pantai utara (pantura) Jawa Tengah. Sudah lama ia hidup dalam bayang-bayang kecemasan. Tempatnya berteduh menyatu dengan lautan, tidak ada pembatas kecuali tembok rumah itu sendiri.

“Kalau malam ombaknya sampai teras. Itu ada yang sudah jebol," ucap Jumiati sambil menunjuk bagian belakang rumah miliknya saat ditemui kontributor Tirto, Jumat (24/2/2023).

Nasib Jumiati masih mending. Ada yang lebih memprihatinkan. Belasan rumah lain yang sederet dengan rumahnya bahkan sudah tidak layak huni: kondisi bangunan hancur terkoyak ombak. Penghuninya pindah, meskipun sebagian ada yang nekad bertahan karena keadaan.

Warga Kampung Bahari Tambaklorok merasakan garis pantai terus berubah dan lambat laun semakin mendekati perkampungan. Seingat Jumiati, semasa ia kecil garis pantai masih jauh dari tempat ia bermukim.

“Dulu kalau mau ke laut harus jalan sampai capek, sekarang tinggal duduk sudah kecipratan air laut," imbuhnya.

Berdasarkan citra satelit Google terlihat garis pantai Kota Semarang pada 2000 berbeda jauh dengan garis pantai per 2021.Yang paling terdampak dari perubahan garis pantai dan laju abrasi ini tentu penduduk yang rumahnya paling dekat dengan laut.

Jumiati

Jumiati bersama tetangganya menengok bagian belakang rumahnya yang rusak akibat ombak di Kampung Bahari Tambaklorok Semarang . tirto.id/Baihaqi

Banjir Rob Kerap Terjadi

Selain itu, masalah luapan air laut ke permukiman akibat pasang besar, lebih umum dirasakan masyarakat pesisir Semarang. Bahkan, banjir rob seringkali merendam permukiman yang lumayan jauh dari pesisir. Hal tersebut sudah menjadi pemandangan lumrah.

Suharto, warga Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Semarang Utara mengaku, sudah terbiasa dengan banjir rob. Dia bercerita, pernah suatu waktu terlelap di kasur lantai yang berada di ruang tengah, tiba-tiba terbangun karena punggung basah. Setelah sadar baru tahu ternyata kedatangan "tamu" air laut.

Rob yang umumnya terjadi pada dini hari memang menjengkelkan. "Dongkol rasanya kalau jam tiga pagi ada rob. Itu waktu enak-enaknya tidur," keluh Suharto sembari melanjutkan ceritanya, "Kasihan cucu saya pernah pas lagi nginep nangis ya gara-gara rob.”

Pria berusia 57 tahun itu mengaku lebih kesal ketika air laut yang memasuki permukiman tidak kunjung surut. Terjebak rob tidak bisa ke mana-mana menjadi risiko Suharto dan tetangganya yang tinggal di kawasan pesisir.

Upaya yang dilakukan warga menyikapi rob, salah satunya dengan meninggikan permukaan tanah. Jalan diuruk. Lantai rumah diuruk. Suharto juga melakukan hal yang sama: berkali-kali meninggikan tempat tinggalnya.

Ia terakhir merenovasi rumah dua tahun lalu, dasar rumahnya diuruk 40 sentimeter lebih tinggi. Itu pun kurang tinggi karena nyatanya pada penghujung 2023 rumahnya tetap kemasukan air rob. Dari cerita Suharto bisa terlihat bahwa masalah rob tidak cukup diselesaikan hanya dengan cara meninggikan bangunan. Harus dicari akar masalahnya.

Ratih Pujiastuti, akademisi Universitas Diponegoro Semarang, dalam penelitiannya berjudul “Pengaruh Land Subsidence terhadap Genangan Banjir dan Rob di Semarang Timur” mengungkap, genangan banjir dan rob di Semarang bagian utara diperparah dengan penurunan muka tanah.

Kampung Tambaklorok

Deretan rumah di Kampung Tambaklorok yang berbatasan langsung dengan laut. tirto.id/Baihaqi

Penyebab dan Solusi Penurunan Muka Tanah

Direktur Amrta Institute for Water Literacy, Nila Ardhianie mengamini bahwa Semarang dan pesisir utara lainnya termasuk wilayah dengan penurunan muka tanah cukup tinggi yang akhirnya memperparah rob. Meskipun, kata dia, tingkat amblesan tanah setiap tempat akan berbeda-beda.

Pada 2017 silam, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam laman resminya merilis hasil kajian amblesan tanah. Menurut penelitian tersebut, kecepatan penurunan muka tanah di wilayah Semarang bagian utara berkisar 7--9 sentimeter per tahun.

Nila yang merupakan mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro menjelaskan, fenomena land subsidence selalu berbarengan dengan naiknya muka air laut. Jika tanah semakin ambles, maka daya tampungnya semakin besar.

Menurutnya ada banyak faktor yang menyebabkan penurunan muka tanah di Semarang. Salah satunya adalah pengambilan air tanah yang berlebihan. Eksplotasi air tanah dalam mengakibatkan rongga-rongga dalam perut bumi yang tersisi air menjadi kosong dan lama terisi kembali, sehingga permukaan tanah di atasnya menurun.

Nila menyarankan masyarakat untuk membatasi --jika belum bisa menghindari-- penggunaan air tanah. Setahu dia, masih ada perusahaan yang mengandalkan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air, termasuk PDAM yang notabene milik pemerintah.

Rumah di Kampung Bahari Tambaklorok

Sebuah rumah di Kampung Bahari Tambaklorok terendam air laut. tirto.id/Baihaqi

Beban Bangunan Perparah Amblesan Tanah

Aktivitas tektonik seperti gempa yang dapat mengubah struktur tanah turut menjadi penyebab penurunan muka tanah. Faktor lainnya, kata Nila, adalah kompaksi alami, di mana tanah kawasan pesisir Semarang mayoritas masih muda karena terbentuk dari sedimentasi.

Penurunan muka tanah diperparah dengan beban bangunan berlebih yang didirikan di atas tanah muda kawasan pesisir. Lazimnya, daerah pantai dialokasikan untuk pengembangan perikanan, tetapi seiring perkembangan kota, daerah pantai bergeser menjadi kawasan industri dengan aktivitas sosial ekonomi yang tinggi.

Pesisir utara Kota Semarang sudah sejak dulu menjadi kawasan industri sekaligus pelabuhan.

“Selama ada beban di atasnya, selama itu pula terjadi penurunan muka tanah," ujar pakar lingkungan dan tata kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Mila Karmila kepada kontributor Tirto, Jumat (24/2/2023).

Menurut Mila selaku akademisi yang aktif di Koalisi Maleh Dadi Segoro, beban tanah pesisir terus bertambah seiring pesatnya pembangunan. Termasuk dengan adanya proyek strategis nasional berupa jalan bebas hambatan Semarang-Demak.

Jalan Tol Semarang-Demak yang membentang sepanjang 26,95 kilometer dibangun dalam dua seksi. Seksi I ruas Semarang/Kaligawe-Sayung sepanjang 10,39 kilometer dibangun oleh pemerintah dengan alokasi anggaran sebesar Rp10 triliun. Sementara Seksi II ruas Sayung-Demak sepanjang 16,1 km dibangun oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) dengan nilai investasi Rp5,93 triliun.

Proyek Seksi I rencananya mulai digarap usai Lebaran 2023. Sementara proyek Seksi II lebih dulu dibangun dan kini sudah siap dioperasikan untuk umum. Pada Sabtu (25/2/2023) Presiden Joko Widodo meresmikan bembukaan Jalan Tol Semarang-Demak Seksi II.

Mila menegaskan sikapnya tidak pada menolak pembangunan, karena menurutnya pertumbuhan kota itu penting. Namun, yang perlu dipertanyakan pembangunan seperti apa? Manfaatnya apa? Siapa yang diuntungkan? "Jangan sampai pembangunan tidak didahului kajian matang," pungkasnya.

Perahu Nelayan

Perahu nelayan yang disandarkan dekat kawasan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. tirto.id/Baihaqi

Baca juga artikel terkait WILAYAH PESISIR atau tulisan lainnya dari Baihaqi Annizar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Baihaqi Annizar
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Abdul Aziz