Menuju konten utama

Potret Transformasi Eks Lokalisasi Sunan Kuning yang Hanya Gimik

Pemerintah Kota Semarang dinilai tidak serius mengubah bekas lokalisasi Sunan Kuning menjadi kawasan pusat kuliner.

Potret Transformasi Eks Lokalisasi Sunan Kuning yang Hanya Gimik
Selter kuliner di eks lokalisasi Sunan Kuning tidak ditempati, tulisan "kampung aneka kuliner" rusak. tirto.id/Baihaqi.

tirto.id - Raji bersama istrinya kerap menghabiskan hari dengan menunggu pelanggan mampir ke warung makan miliknya. Tak jarang mereka mengeluh pendapatan hasil jualannya tidak seberapa, sementara kebutuhan terus meningkat.

Keluarga Raji tidak punya banyak pilihan. Usaha menjual makanan dan minuman sudah digeluti sejak 22 tahun silam. Ia menyewa lapak di kawasan Lokalisasi Sunan Kuning, tepatnya di Kampung Argorejo, Kelurahan Kalibanteng Kulon, Kota Semarang.

Saat masih menjadi tempat prostitusi, Sunan Kuning selalu ramai, warungnya tidak pernah sepi. Sangat berbeda kondisinya dibandingkan dengan setelah lokalisasi resmi ditutup per 18 Oktober 2019.

“Jadi sepi banget, yang beli bisa dihitung jari,” ujar Raji saat ditemui kontributor Tirto di lokasi, Rabu (22/2/2023).

Dulu, Pemerintah Kota Semarang berkomitmen untuk menjadikan bekas Lokalisasi Sunan Kuning sebagai sentra kuliner. Pedagang lain, termasuk Raji lega mendengar rencana tersebut. Namun, sentra kuliner tak kunjung terealisasi saat pandemi Covid-19 melanda.

Harapan kembali muncul ketika Pemerintah Kecamatan Semarang Barat pada 2021 membangun selter tempat jualan di dekat pintu masuk kawasan Sunan Kuning. Di sebelah ujung selter terdapat tulisan “Kampung Aneka Kuliner.”

Peresmian kampung tematik itu berlangsung meriah pada 14 Maret 2022, bahkan dibarengi dengan gelaran Pasar Rakyat New Eska yang melibatkan 60 pelaku usaha mikro dan menengah (UMKM) dari berbagai wilayah di Kota Semarang.

Warung Raji

Raji bersama istinya menunggu pelanggan di warung makan miliknya. tirto.id/Baihaqi

Kampung Kuliner Tidak Berjalan Maksimal

Kampung Aneka Kuliner di bekas kawasan prostitusi Semarang itu masih sangat terbatas. Pemerintah hanya membangun delapan selter, artinya banyak warga yang akan kecewa tidak bisa menempati lapak terbuka beratap seng itu.

Sebenarnya Pasar Rakyat New Eska yang dikonsep laiknya pasar tiban bisa menjadi solusi keterbatasan selter. Sepekan sekali, semua pedagang bisa berjualan bersama di sepanjang jalanan kampung Sunan Kuning. Sayangnya, pasar dadakan itu hanya berjalan empat kali.

“Pas pembukaan (pasar rakyat) luar biasa ramai, tapi memasuki minggu ketiga antusias masyarakat menurun, bahkan pada minggu keempat bisa dibilang sepi, akhirnya berhenti, sampai sekarang nggak ada (pasar rakyat)" ujar Asror selaku Koordinator UMKM sekaligus Ketua RW III Kelurahan Kalibanteng Kulon.

Keberadaan selter jualan yang diharapkan mampu menggerakkan perekonomian masyarakat, ternyata tidak sesuai ekspektasi. Dari delapan selter, hanya satu yang aktif digunakan untuk berjualan, sisanya nganggur.

Andi adalah satu-satunya pedagang yang memanfaatkan selter untuk berjualan nasi kucing. Menurutnya, saat awal dibangun, selter diminati banyak orang. Pedagang kecil seperti Andi bahkan sempat ditolak saat meminta slot untuk jualan.

“Dulu, kan, saya tidak kejatah nempati selter, tapi yang nempati (selter) lama-kelamaan mengeluh dagangannya tidak laku, akhirnya tidak jualan. Berhubung selternya nganggur, saya izin nempati dan akhirnya dibolehkan," cerita Andi.

Selama menempati selter jualan, Andi tidak pernah mendapat pelatihan, apalagi bantuan modal usaha. Andi sebenarnya berharap kampung kuliner di Sunan Kuning ini ramai, tetapi ia tidak bisa berbuat banyak.

Warung Andi

warung andi satu-satunya yang menempati selter kuliner. tirto.id/Baihaqi

Pemerintah Setengah Hati Urus Bekas Lokalisasi

Pemerintah Kota Semarang setengah hati mengubah stigma negatif Sunan Kuning sebagai kawasan lokalisasi menjadi pusat kuliner. Pembangunan selter hanya gimik supaya pemerintah terlihat mempunyai solusi pasca-penutupan tempat prostitusi.

Dikonfirmasi terkait progres Kampung Aneka Kuliner di kawasan Sunan Kuning, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Kota Semarang, Agus Wuryanto mengaku, tidak tahu dan menyarankan untuk bertanya kepada Camat Semarang Barat.

Sementara itu, Camat Semarang Barat, Elly Asmara mengatakan, kawasan Sunan Kuning setelah ditutup sempat akan dijadikan kampung tematik sentra kuliner. Namun, saat ini ada rencana membranding dengan tema lain.

“Kalau yang baru ini nanti kami coba branding baru, tapi (sekarang) belum," jawabnya.

Selain direncanakan sebagai pusat kuliner, eks Lokalisasi Sunan Kuning pernah akan difokuskan menjadi kawasan wisata religi. Sebab, di wilayah tersebut ada makam penyebar Islam bernama Soen An Ing atau Sunan Kuning. Namun kenyataannya, tidak ada perubahan berarti pada makam tersebut.

Paling kentara, Sunan Kuning kini menjadi kampung karaoke. Sebab, wisma yang semula digunakan untuk bisnis "esek-esek" kemudian dialihfungsikan menjadi bisnis karaoke hingga tempat jualan minuman keras yang diklaim bersih dari praktik prostitusi.

Ketua Paguyuban Karaoke Argorejo (Pakar) Semarang Tri Anto mengatakan, saat Sunan Kuning menjadi lokalisasi, ada 160 wisma yang beroperasi dengan jumlah wanita pekerja seks (WPS) mencapai 400-an.

Berdasarkan data yang dicatat paguyuban tersebut, saat ini hanya ada sekitar 100 wisma karaoke yang aktif dengan jumlah pemandu lagu sebanyak 160-an. Menurut Tri, yang menjadi pemandu lagu mayoritas bukan bekas pekerja seks.

“Dulu WPS kebanyakan orang luar kota, yang warga Kota Semarang paling hanya lima persennya. Setelah prostitusi ditutup mereka dipulangkan, jadi pemandu lagu yang sekarang itu beda dengan WPS," imbuh Tri yang juga Ketua RW IV Kelurahan Kalibanteng Kulon.

Menurut dia, keberadaan wisma karaoke beserta penghuni dan pengunjung sebenarnya dapat mendukung keberadaan sentra kuliner. Hanya saja perlu diakui bahwa bisnis karaoke di kampung ini tidak seramai saat masih ada praktik prostitusi.

Karaoke Mentari

Karaoke Mentari. tirto.id/Baihaqi

Penutupan Lokalisasi Tidak Efektif

Penutupan lokalisasi disebut sudah dibarengi dengan upaya pengentasan WPS. Pemerintah memberi pesangon Rp5 juta per orang dan memulangkan ke daerah asalnya agar tidak kembali melakukan praktik prostitusi di Sunan Kuning.

“Kalau itu (WPS) semua sudah kami kembalikan ke daerah masing-masing," ujar Kepala Dinas Sosial Kota Semarang, Heroe Soekendar.

Namun, siapa yang bisa menjamin mantan WPS Sunan Kuning benar-benar berhenti melacur? Bagaimana jika mereka pindah tempat praktik atau membuka prostitusi online? Praktik prostitusi yang tidak terorganisir lebih sulit diawasi.

Antropolog yang juga dosen UIN Walisongo Semarang, Akhriyadi Sofian berpendapat, penutupan lokalisasi alih-alih menyelesaikan masalah sosial, justru dapat menimbulkan masalah baru di masyarakat.

Aktivis Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) tersebut mengatakan, lokalisasi bisa ditutup tetapi praktik pelacuran tidak serta merta hilang. Kata Sofian, menggelar praktik prostitusi secara sembunyi-sembunyi bagi mereka tentu bukan hal yang sulit.

Selain itu, Sofian bahkan pernah dicurhati pengelola wisma karaoke tentang modus baru prostitusi, yakni pelanggan kencan bersama pasangan sendiri dengan menyewa bilik karaoke yang notabene tertutup. Ada lagi modus baru pelacuran yang memanfaatkan kemajuan teknologi.

Sekretaris Program Studi Sosiologi FISIP UIN Walisongo itu meragukan, apakah pemerintah sudah melakukan kajian secara matang sebelum memutuskan menutup lokalisasi.

Menurutnya, keberadaan lokalisasi penting karena tidak sekadar menjadi pusat prostitusi, melainkan juga ada upaya resosialisasi maupun rehabilitasi agar para pekerja seks bisa mentas. Lokalisasi juga memudahkan pengawasan penyebaran penyakit menular seksual.

Las Vegas Entertainment

Las Vegas Entertainment. tirto.id/Baihaqi

Baca juga artikel terkait LOKALISASI SUNAN KUNING atau tulisan lainnya dari Baihaqi Annizar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Baihaqi Annizar
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Abdul Aziz