Menuju konten utama

Duduk Perkara Polemik Pemberian Gelar Profesor Kehormatan di UGM

Dirjen Dikti tak mempermasalahkan penolakan para dosen UGM terhadap gelar guru besar kehormatan kepada pejabat publik.

Duduk Perkara Polemik Pemberian Gelar Profesor Kehormatan di UGM
Universitas Gadjah Mada: FOTO/ugm.ac.id/

tirto.id - Sebuah dokumen digital berisikan penolakan terhadap pengangkatan profesor kehormatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta viral di dunia maya. Dokumen yang berisikan 9 halaman tersebut memuat 343 dosen dari berbagai pangkat dan fakultas di UGM yang sepakat menolak pemberian gelar profesor kehormatan. Ditengarai gelar Honorary Professor itu akan diberikan kepada Gubernur Bank Indonesia, Perry Wijaya.

Dokumen tanpa kop itu ditujukan kepada rektor dan anggota Senat UGM. Dituliskan bahwa ada enam poin yang harus diingat oleh Rektor UGM sebagai pemegang mandat tertinggi civitas akademika.

Inti dari enam poin tersebut, gelar guru besar kehormatan tidak bisa diberikan kepada sembarang orang. Terutama mereka yang jauh dari aktivitas keilmuan. Khawatir akan sarat kepentingan. Akan menjadi preseden buruk dalam sejarah UGM bila hal itu tetap dipaksakan.

"We are selling our dignity," kutipan salah satu poin dalam surat terbuka bertanggal 22 Desember 2022.

Salah seorang yang ikut meneken penolakan gelar rencana pemberian profesor kehormatan itu adalah Sigit Riyanto. Dia adalah guru besar Fakultas Hukum UGM yang menyebut untuk mencapai jenjang guru besar, seorang dosen perlu waktu puluhan tahun bekerja dan menghasilkan karya akademik dalam kerangka tri darma perguruan tinggi yang mencakup: Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.

"Bagi suatu perguruan tinggi, keberadaan profesor dipandang sebagai salah satu penentu kualitas, kemajuan, reputasi, dan wibawanya di hadapan komunitas akademik dan masyarakat," kata Sigit.

Sigit menegaskan, surat terbuka mengenai penolakan pemberian gelar profesor kehormatan muncul setelah terbit aturan mutakhir jabatan profesor bagi kalangan non-akademik yang dirumuskan dalam Peraturan Mendikbud Ristek No. 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi.

Aturan itu kemudian ditindaklanjuti oleh UGM menjadi Peraturan Rektor UGM Nomor 20 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pengangkatan Profesor Kehormatan UGM.

Ia tak bermasalah bila ada profesor kehormatan dari kalangan non-akademik, dengan catatan harus ada proses seleksi yang ketat. Di antara syarat yang harus dimiliki adalah pengalaman yang relevan dengan gelar akademik. Kemudian dibuktikan dengan kompetensi, karya, pengalaman, dan reputasi yang relevan bagi pengembangan dan kontribusi keilmuan.

Namun dia ragu, bilamana dua aturan tertulis itu bisa terlaksanakan. Terlebih pengangkatan profesor kehormatan sarat akan kepentingan pragmatis di tahun politik jelang Pemilu 2024.

Sigit menyebut hal itu sebagai diskriminatif. Karena menjadi bentuk pengkhiantan atas dedikasi para dosen yang berjuang keras dengan berbagai upaya untuk menjadi guru besar.

“Kebijakan semacam itu, dikhawatirkan akan menimbulkan demoralisasi bagi para dosen dan akademisi yang ada di perguruan tinggi,” kata dia.

Dia menyebut bila kritik para dosen tidak didengar oleh para petinggi UGM, dan masih diabaikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maka sejumlah bahaya akan mengancam dunia pendidikan Indonesia.

“Perguruan tinggi makin tidak kompetitif, bahkan pendidikan dan pengembangan ilmu mengalami involusi karena rusaknya tradisi dan etos keilmuan. Mutu dan martabat perguruan tinggi di Indonesia dipertaruhkan,” kata dia.

Rektor UGM Yogyakarta, Ova Emilia membantah soal profesor akademik Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo. Dia mengklaim saat ini yang dilakukan internal UGM adalah kajian aturan Permendikbud dengan harapan agar bisa diterapkan dengan ideal dan penuh keadilan.

“Kami ini sedang membuat tim untuk mengkaji kebijakan kementerian," kata Ova dalam keterangan tertulis.

Pihak UGM telah melantik Andi Sandi Antonius selaku Dosen Departemen Hukum Tata Negara untuk menjadi Ketua Tim Kajian Regulasi Profesor Kehormatan UGM. Andi menjelaskan, timnya melaksanakan instruksi dari Rektor UGM terkait aturan profesor kehormatan dapat terimplementasi dengan baik.

“Kajian ini dimaksudkan untuk mendudukkan pemberian profesor kehormatan dengan prudent, sehingga muruah UGM sebagai lembaga pendidikan tinggi tetap terjaga,” kata dia.

Sekretaris Rektor UGM, Wirastuti Widyatmanti mempersilakan atas pemberian pandangan yang beragam dari 343 doses tersebut. Dia menjelaskan, di UGM setiap pandangan dihargai dan dihormati. Hal itulah yang menjadi dasar UGM melakukan kajian terhadap Permendikbud Ristek tersebut.

“Hasil akhir dari kajian tersebut akan disampaikan kepada kementerian dan menjadi dasar langkah UGM ke depannya," terangnya.

Gelar Profesor Kehormatan Rawan Jadi Transaksi Akademik

Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herdiansyah Hamzah menyebut, saat ini perguruan tinggi di Indonesia rawan menjadi area transaksi akademik. Tidak hanya di UGM. Sehingga proses belajar dan mengajar tak lagi sakral.

“Kampus seolah kehilangan nalar sehatnya, dengan menggadaikan prinsip-prinsip akademisnya. Sebab ada ruang transaksional yang sangat besar dalam pemberian gelar profesor kehormatan ini," kata Herdiansyah.

Meski peristiwa "jual-beli" gelar profesor kehormatan ini menjadi masalah di pelupuk mata, Herdiansyah menyebut pemerintah seakan diam saja. Dia menyebut pemerintah tetap bergeming dan tetap melanjutkan proyek liberalisasi pendidikan.

“Mengejar status badan hukum serta standarisasi pendidikan yang celakanya justru membuat pendidikan semakin mahal, merusak integritas, sekaligus membatasi kebebasan akademik," ungkapnya.

Oleh karena minimnya dukungan atau upaya pembelaan muruah kampus dari pemerintah, Herdiansyah mendorong civitas akademika untuk melawan.

Penolakan bisa dimulai dari pemberian gelar doktor kehormatan maupun profesor kehormatan kepada pejabat, pengusaha, dan orang-orang berpengaruh yang tidak memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan yang substansial.

Sebab, kata dia, hal tersebut berpotensi besar terhadap penyalahgunaan kekuasaan dari otoritas perguruan tinggi untuk transaksional.

“Mendorong insan perguruan tinggi untuk menolak pemberian gelar kehormatan yang menurunkan integritas dan independensi perguruan tinggi,” kata dia.

Apa Kata Kemendikbudristek?

Secara terpisah, Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dikti Ristek) Kemendikbud Ristek, Nizam tak mempermasalahkan penolakan para dosen UGM terhadap gelar guru besar kehormatan kepada pejabat publik. Menurut dia, hal itu adalah warna-warni kehidupan akademik di kampus.

Oleh karenanya, dia menegaskan, walaupun pemerintah melalui Kemendikbud Ristek mengeluarkan Peraturan Mendikbud Ristek No. 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi, tapi Nizam membantah bila itu menjadi paksaan bagi setiap kampus.

Pemerintah masih menghargai kebebasan berpendapat dari setiap kampus. Hal itu sebagai bentuk otonomi perguruan tinggi dalam kebebasan akademik.

“Perbedaan pendapat dan persepsi, kan, biasa. Bagian dari otonomi perguruan tinggi dan kebebasan akademik. Semua kita kembalikan pada perguruan tinggi masing-masing, karena kewenangannya sudah kita delegasikan ke perguruan tinggi," kata Nizam.

Baca juga artikel terkait KONTROVERSI GELAR PROFESOR KEHORMATAN atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz