tirto.id - Wahyu Iman Santoso, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Ferdy Sambo dengan hukuman mati pada 13 Februari 2023. Sambo disebut terbukti bersalah dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Vonis mati yang dijatuhkan kepada si bekas jenderal bintang dua polisi itu lebih berat dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum, yaitu penjara seumur hidup. Usai putusan, publik terbelah menjadi dua, banyak yang pro dan tak sedikit yang kontra atas putusan tersebut.
Kejaksaan Agung, misalnya, menilai hakim mengakomodasi tuntutan jaksa.
“Kami berpendapat bahwa seluruh fakta hukum dan pertimbangan hukum yang disampaikan dalam surat tuntutan telah diakomodasikan dalam vonis Majelis Hakim pada perkara a quo," kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, dalam keterangan tertulis, Selasa, 14 Februari 2023.
Jaksa dianggap berhasil meyakinkan hakim dalam membuktikan Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yaitu pasal primer pembunuhan berencana sebagaimana surat dakwaan penuntut umum.
Sebaliknya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, hakim bisa lebih adil, tanpa harus memvonis mati Ferdy Sambo.
Amnesty tidak anti penghukuman, tapi bersepakat bahwa segala bentuk kejahatan di bawah hukum internasional yang dilakukan aparat negara harus dihukum berat, tetapi tetap harus adil, tanpa harus menjatuhkan hukuman mati.
Simplifikasi Reformasi Polisi?
Terlepas dari hukuman yang dijatuhkan, mampukah kasus Ferdy Sambo yang bergulir sejak Juli 2022 ini bisa mereformasi Polri sebagai lembaga penegak hukum?
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menyorot hal tersebut. Kasus Sambo secara tidak langsung menunjukkan bahwa terdapat permasalahan dalam institusi kepolisian (melibatkan anggota kepolisian dalam tindak pidana, upaya menutupi suatu kasus, obstruction of justice).
“Dalam kasus Ferdy Sambo, pidana mati justru tidak menjawab kebutuhan mendesak untuk melakukan reformasi kepolisian tersebut, mengingat kasus yang menewaskan Brigadir Yosua telah melibatkan banyak anggota polisi dari berbagai level,” kata Direktur LBHM, Muhammad Afif, dalam keterangan tertulis, Rabu, 15 Februari 2023.
Padahal sempat digadang-gadang akan terkuak berbagai bentuk kejahatan terorganisir lainnya yang sempat diperiksa oleh Divisi Profesi dan Pengamanan di bawah Ferdy Sambo dkk. “Kami khawatir bahwa pidana mati merupakan cara untuk simplifikasi terhadap reformasi kepolisian," kata Afif.
LBHM berpendapat, penjatuhan pidana mati yang diberikan kepada Sambo tidak menyentuh problematika struktural di instansi kepolisian, baik terkait mekanisme pengawasan maupun sistem penjatuhan sanksi antara etik dan profesi maupun pidana.
Dalam penjatuhan pidana mati di beberapa kasus (tidak hanya pada kasus Ferdy Sambo), kata dia, pemerintah abai terhadap dorongan internasional yang selalu menjadi pembahasan dalam Universal Periodic Review (UPR) sebagai mekanisme pemantauan situasi HAM di level internasional.
Terlebih tren global yang terjadi di negara-negara di dunia telah menghapus hukuman mati yang diterapkan pada 109 negara. Sejatinya, penerapan pidana mati dalam sistem hukum pidana di Indonesia jelas bertentangan dengan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun (non-derogable rights).
“Artinya, tidak ada seorang pun yang berhak untuk mencabut hak hidup seseorang, termasuk dalam hal ini negara," sambung Afif.
Sementara itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto berujar, dengan kondisi saat ini, sangat berat untuk optimis Polri bisa membenahi internalnya sendiri. Banyak konflik kepentingan, banyak faksi yang masih pro status quo.
Bambang bilang, kepolisian bisa berbenah bila Kapolri memimpin langsung dan segera melakukan konsolidasi dengan jajarannya yang progresif dengan melakukan pembenahan, bahkan mencopot personel yang menjadi benalu reformasi di tubuh Polri.
Kelompok pro status quo ini sebenarnya mudah diidentifikasi, mereka lebih suka menjilat pimpinan, antikritik, defensif, dan tidak pro perubahan karena sudah berada di zona nyaman. Mereka inilah yang menggerogoti upaya pembenahan Polri dari dalam maupun luar, kata Bambang kepada Tirto.
Apakah nihil dampak buruk jika Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo “mencopot benalu?” Bambang berpendapat ia tidak terlalu optimistis, apalagi Kapolri Listyo Sigit cenderung model “main aman” yang tak ingin berkonflik, nyaman membuat terobosan-terobosan untuk mengantisipasi dinamika zaman.
“Dampak buruknya pasti pada benalu-benalu kelompok pro status quo yang menikmati kelemahan sistem itu bertahun-tahun. Mereka pasti akan resisten. Tapi untuk kemajuan dan perbaikan institusi Polri ke depan, tentunya langkah itu harus dipilih. Pilihannya adalah usir tikusnya, tapi jangan bakar lumbungnya atau amankan lumbungnya, namun biarkan tikus tenteram di dalam?” tutur Bambang.
Bambang menambahkan, “Mengusir tikus dalam lumbung tentu akan membuat kehebohan, tapi demi kebaikan semua itulah yang harus dilakukan bila lumbung bernama institusi Polri ini ingin berbenah.”
Menurut dia, tidak ada jaminan jika kasus Sambo ini bisa membuat anggota Korps Bhayangkara jera dan tak ingin menyalahgunakan wewenang.
Sebab selama tidak ada sistem yang bisa memastikan bahwa aturan dan sanksi pada pelanggaran-pelanggaran internal itu bisa ditegakkan. Kasus Sambo, menurut Bambang, hanya akan dianggap sebagai insiden saja. Apes atau sial semata.
Apakah Kapolri Listyo Sigit atau Kapolri berikutnya mampu mereformasi Polri? Jika tidak ada indikator yang jelas pada capaian, dampaknya adalah reformasi Polri itu hanya sekedar jargon atau mantra kosong belaka yang hampir 25 tahun ini sebenarnya tak ada.
Padahal saat ini adalah kuartal terakhir seabad Indonesia, atau menuju Indonesia Emas 2045.
“Apakah tahun 2045 nanti wajah Polri akan sama seperti saat ini? Tentunya publik memiliki ekspektasi yang lebih tinggi. Maka kalau Polri tak mempercepat perbaikan, risikonya akan terlindas zaman," kata Bambang.
Apa yang Signifikan?
Sejauh mana reformasi Polri yang diamanatkan sejak 1999 --kala pemisahan TNI-Polri) itu berhasil? Apa tujuan reformasi? Pertanyaan itu yang mesti dijawab.
Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sarah Nuraini Siregar berkata, reformasi Polri sudah dilakukan sejak 1999. Buku Biru Reformasi internal Polri dengan tiga program di dalamnya (reformasi instrumental, struktural, dan kultural), tapi ada dua persoalan.
“Pertama, saya belum menemukan parameter atau tolak ukur keberhasilan program ini. Hal inilah yang kemudian membuat reformasi Polri stagnan. Kebijakan reformasi dirumuskan di internal, diimplementasikan, namun minim evaluasi," ucap Sarah ketika dihubungi Tirto. Tidak ada pengawasan dan akuntabilitas atas program ini.
Sebagai contoh, LIPI (sekarang BRIN) pada 2014 telah mengeluarkan hasil risetnya bahwa reformasi kultural masih menyisakan persoalan, yakni perilaku kekerasan dan mindset solidaritas korps dalam bentuk kode diam belum ditempatkan dalam tupoksi yang benar. Kasus pembunuhan Brigadir Yosua membuktikan hal tersebut, juga kasus-kasus lain yang melibatkan anggota Polri.
Persoalan kedua, sejak kewenangan keamanan menjadi tanggung jawab Polri, publik bisa menilai betapa banyak dan luas tugas-tugas Polri. Sementara ada program yang secara konseptual perlu diimplementasikan secara komprehensif.
Menurut Sarah, keduanya ini bersinggungan dan akhirnya polisi harus mengutamakan tanggung jawab keamanan terlebih dahulu. Karena itulah reformasi pun hasilnya belum terlihat secara signifikan di mata masyarakat.
Jika ingin reformasi berjalan maksimal, Sarah mendorong penguatan lembaga pengawasan, secara kelembagaan dan kewenangan. Ini akan membantu memastikan akuntabilitas dalam implementasi reformasi kepolisian. Tentu ada perubahan Polri sejak 1999.
Sarah menyebut perubahan paling signifikan dalam tingkat gagasan adalah konsep polisi sipil sebagai konfirmasi bahwa polisi bukan bagian dari militer. Lalu, di tingkat program adalah sejumlah Peraturan Kapolri yang mengatur prinsip pemolisian demokratis, yaitu penghormatan HAM, reformasi birokrasi yang mengedepankan quick response dan quick wins, serta Polmas sebagai bentuk kemitraan Polri dengan masyarakat untuk mencegah kejahatan.
Sementara yang tidak berubah signifikan ialah "reformasi kultural, yang utamanya perubahan perilaku dan cara pikir.” Apakah perlu lembaga eksternal untuk bantu reformasi Polri? Sarah menilai tak perlu.
“Cukup optimalisasi lembaga pengawasan, namun kalau konteksnya pelibatan civil society, bisa dimulai dengan mengkaji cepat (rapid assessment) yang melibatkan orang terpelajar maupun praktisi yang kredibel.”
Lanjutkan Reformasi
Front Persaudaraan Islam (FPI) ikut menanggapi vonis hukuman mati bagi Sambo. Ketua DPP FPI Bidang Advokasi, Aziz Yanuar berharap penegakan hukum yang terjadi di Indonesia bisa seperti vonis Sambo.
“Kami harap penegakan hukum di republik ini tegas seperti itu dan juga tidak diskriminatif," kata dia kepada Tirto, Selasa (14/2/2023).
Aziz juga meminta agar kasus lain diselesaikan dengan penegakan secara berkeadilan, salah satunya kasus Km 50 terkait tewasnya enam anggota Laskar Front Pembela Islam karena ditembak polisi. Ia menilai, kasus Sambo perlu menjadi pelajaran agar penegakan yang sama berlaku di kasus lain.
Dia juga berharap, Sambo mau membuka suara terhadap pihak-pihak yang terlibat pada kasus Km 50. Aziz berpendapat menilai tidak ada alasan bagi Sambo untuk menutupi fakta di balik kasus Km 50.
“Saya harap Sambo dkk yang terlibat kasus ini dan dipidana, bersuara lantang, jujur, terbuka atas berbagai fakta sesungguhnya atas kasus-kasus yang mereka tahu atau bahkan terlibat. Tidak ada lagi gunanya menutupi karena ini saatnya bicara jujur dan jadi momen krusial penegakan hukum berkeadilan," kata Aziz.
Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti berkata, perihal Km 50 sudah ada laporan Komnas HAM dan ada sidang pidana.
“Kami percaya dengan dua institusi tersebut," ucap dia kepada Tirto, Rabu (15/2/2023).
Tetapi terkait perwira tinggi Polri yang melakukan tindak pidana seperti Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa, kata Poengky, Kompolnas sangat menyesalkan.
Alasannya karena masih adanya perwira-perwira tinggi Polri yang menggunakan kekuasaannya untuk melakukan kejahatan. Padahal sebagai pimpinan, mereka seharusnya memberikan contoh teladan, membimbing, dan mengawasi anggotanya.
“Oleh karena itu jika terbukti melakukan kejahatan, mereka perlu dijatuhi hukuman berat," ucap Poengky.
Kompolnas mengapresiasi sikap Kapolri yang menindak tegas Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa melalui proses hukum dan etik. Selanjutnya dengan adanya kasus tersebut, harus menjadi momentum Polri untuk bersih dan berbenah dengan lebih meningkatkan pembinaan dan pengawasan, serta terus-menerus menggelorakan semangat reformasi kultural Polri.
Kompolnas pun menghormati putusan pengadilan terhadap vonis Sambo. Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan pastilah berdasarkan fakta dan alat bukti yang ada dalam persidangan. Jika Sambo keberatan dengan vonis tersebut, hukum menyediakan upaya untuk mengajukan banding.
Poengky berharap hukuman tegas yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo akan memunculkan efek jera, agar tidak ada lagi anggota -apalagi yang merupakan perwira tinggi dengan jabatan strategis- melakukan tindakan serupa, yang berdampak pada hilangnya nyawa dan tercorengnya nama baik institusi.
“Kami berharap kasus Sambo menjadi momentum bagi Polri untuk melakukan bersih-bersih dari anggota-anggota yang melakukan kejahatan, serta melanjutkan kembali reformasi kultural Polri, agar kepercayaan masyarakat kepada Polri yang sempat turun gara-gara kasus Sambo, kembali pulih," ujar Poengky.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz