Menuju konten utama

Kasus Mbah Minto Demak: Cermin Ketidakadilan Hukum di Negara Hukum

Isnur sebut dalam konteks pidana, seharusnya perkara yang diproses pertama kali dugaan pencurian oleh Marjani, bukan pembelaan Mbah Minto.

Kasus Mbah Minto Demak: Cermin Ketidakadilan Hukum di Negara Hukum
Ilustrasi Penjara. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Selasa, 7 September 2021, Marjani menuju ke Desa Pasir, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Usai magrib itu ia hendak mencari ikan. Tiba di lokasi, dia menyiapkan alat setrum ikan dan memasuki area kolam yang terdapat di area kebun jambu.

Sekira pukul 19, Marjani beraksi. Sontak Kasmito alias Mbah Minto, penjaga kolam dan pekarangan yang telah mengamati gerak-gerik Marjani, mendekatinya karena ia menganggap Marjani ingin mencuri. Kemudian Mbah Minto menyabetkan celurit bergagang kayunya ke bahu kanan Marjani. Marjani kaget, ia membalikkan badan sambil berkata “kulo melu urip, Mbah.” Tapi Mbah Minto mengabaikannya.

Lantas kakek berusia 74 tahun itu kembali mengayunkan celurit dan mengenai leher kiri Marjani. Si pencari ikan angkat kaki, darah menetes menemani dia lari ke motornya yang diparkir di dekat gubuk. Lalu Marjani meminta pertolongan kepada warga yang berada di warung pinggir jalan, mereka kemudian membawanya ke RSUD Sunan Kalijaga Demak.

Keesokan harinya, polisi mengusut perkara. Lantas memeriksa Marjani dan warga yang membantu Marjani ke rumah sakit; serta meminta keterangan Mbah Minto. "Kasmito diduga adalah orang yang melakukan pembacokan," kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan, 14 Oktober lalu.

Kemudian polisi membawa lansia itu ke Polres Demak. Sebulan usai dugaan pembacokan, muncul laporan dugaan pencurian ikan. Pada 11 Oktober, Suhada, si pemilik kolam, mengadukan peristiwa yang menimpanya.

Penyidik melakukan pendalaman perkara usai menerima pengaduan itu. "Fakta dikumpulkan oleh penyidik, kemudian warga inisial M (Marjani) ditetapkan sebagai tersangka," jelas Ramadhan.

Marjani pun tak tinggal diam, dia meminta advokat untuk membantu kasusnya. Herry Darman, kuasa hukum Marjani, berujar bahwa kliennya dituding mencuri ikan, maka ia telah menyiapkan tujuh pengacara untuk menuntaskan perkara. “Klien kami tidak mengambil di kolam (milik) Suhada,” kata Herry, Sabtu (18/12/2021).

Berdasarkan penelusuran tim kuasa hukum, Marjani menyambangi kolam lain yang jaraknya 100 meter dari milik Suhada dan kliennya tidak membalas perbuatan Mbah Minto. Akibat pembacokan dari belakang, Marjani harus menjalani 12 jahitan dan dipasangi pen di bahu kanannya. Herry mengingatkan publik bahwa jangan hanya menyorot usia lansia Mbah Minto, tapi Mbah Minto masih punya tenaga untuk membacok kliennya.

Sementara, Marjani mengaku ia baru berjalan 10 meter dari gubuk tempat ia menaruh ikan Jepet, lalu Mbah Minto membacok dari belakang. Dia juga mengklaim tak mengetahui lahan yang ia masuki milik siapa.

“Masalah pekarangan itu milik siapa, saya tidak tahu,” aku dia. Giliran Pengadilan Negeri Demak menuntaskan kasus Mbah Minto. Perkara itu terdaftar dengan nomor 183/Pid.B/2021/PN Dmk. Tuntutannya yakni:

  1. Menyatakan terdakwa Kasmito bin Jasmani telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap orang lain menimbulkan luka berat sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (2) KUHP.
  2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Kasmito bin Jasmani dengan pidana penjara selama 2 tahun dikurangkan selama terdakwa ditahan dan memerintahkan agar terdakwa tetap dalam tahanan.
  3. Menetapkan barang bukti berupa satu buah celurit gagang kayu panjang + 43 cm, dirampas untuk dimusnahkan.
  4. Menetapkan supaya Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp5.000.

Pada 15 Desember, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Demak Muhammad Deny Firdaus memutuskan Mbah Minto bersalah. “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 2 bulan,” begitu isi putusan perkara.

Publik menilai vonis terhadap Mbah Minto tak adil, kasus ini viral dan menjadi perbincangan. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur berkata dalam konteks pidana, seharusnya perkara yang diproses pertama kali perihal dugaan pencurian yang dilakukan Marjani.

“Kenapa jadi lebih cepat (memproses kasus) orang yang membela diri dibandingkan yang mencuri. Itu sangat aneh dalam proses pengungkapan hukum,” ucap dia kepada reporter Tirto, Senin (20/12).

Yang dilakukan Mbah Minto bisa disebut pembelaan diri, kata dia. Pasal 49 KUHP menyebutkan “Tidak dipidana, barangsiapa melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan yang melawan hukum pada saat itu.”

Diperkuat dengan “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak boleh dipidana.”

“Apalagi dalam konteks dia (Mbah Minto) mengalami panik luar biasa, sehingga ia membela diri berlebihan. Apakah pengacara dan hakim tidak menggali bahwa yang dilakukan Mbah Minto ini untuk membela diri? Kalau dia membela diri, seharusnya dia tidak dipidana,” terang Isnur.

Sedari awal, Isnur berpendapat, aparat penegak hukum harus jeli menganalisis kasus ini. Mestinya ranah pembelaan diri tak perlu dipidana. “Kalau tidak jelas permasalahan ini, menimbulkan ketidakadilan di tengah masyarakat.”

Penegak Hukum Tak Jeli Tangani Perkara

Selebgram Rachel Vennya ditetapkan menjadi tersangka dugaan melarikan diri saat menjalani karantina di Wisma Atlet, Jakarta. Dia diduga menyuap petugas agar bisa angkat kaki dari lokasi isolasi tersebut. Lantas polisi tidak menahan perempuan itu karena alasan hukuman di bawah satu tahun penjara. Kasusnya bergulir, hakim dalam sidang di Pengadilan Negeri Tangerang, 10 Desember, memutuskan Rachel dihukum empat bulan kurungan.

Hukuman tersebut tidak perlu dijalani. Kecuali di kemudian hari, dengan putusan hakim, diberikan perintah lain sebelum waktu percobaan selama 8 bulan berakhir telah bersalah melakukan suatu tindakan pidana. Hal lain yang meringankan Rachel karena hakim menilai ia sopan dalam persidangan.

Perkara lain sebagai pembanding kasus Mbah Minto yakni Pinangki Sirna Malasari, seorang jaksa yang terlibat kasus suap.

Hukuman Pinangki mendapat diskon, sanksinya dipotong 60 persen oleh majelis hakim Tipikor Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, 14 Juni 2021. Itu hanya berselang sekitar empat bulan dari vonis pertamanya yaitu 10 tahun penjara. Padahal Pinangki terbukti melakukan kejahatan luar biasa tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan pemufakatan jahat. Pinangki, yang berprofesi sebagai jaksa, mendekam di penjara sejak 11 Agustus 2020. Dia kemungkinan bebas dari penjara sekitar Juli 2023 mendatang, itu jika tak dipotong remisi.

Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Adinda Tenriangke Muchtar berkata, Mbah Minto menjalankan tugasnya sebagai penjaga kolam. Maka tentu saja Mbah Minto mengamankan area tersebut dari gangguan.

“Penegakan hukum terutama penyelidikan dan penyidikan, harus dipastikan mendapatkan bukti-bukti yang kuat dan melibatkan para pihak,” ucap dia kepada reporter Tirto, Senin (20/12/2021). Tak hanya itu, kesesuaian pasal pun perlu dicermati oleh aparat penegak hukum.

Pasal 49 KUHP mengatur soal pembelaan diri, sementara Pasal 351 KUHP mengatur ihwal penganiayaan. Adinda berpendapat regulasi ini bisa ditinjau ulang, apalagi pemerintah tengah membahas terkait RKUHP.

“Di sisi mana pembelaan itu dapat dilakukan? Karena jangan sampai mengakibatkan kematian. (Peraturan) ini jadi simalakama.” Maka sebaiknya pemerintah merevisi KUHP agar kasus-kasus serupa tak terus berulang, intinya ketentuan membela diri perlu dibahas tuntas, kata dia.

Demokrasi dan kebijakan semestinya bisa lebih peka dan adil bagi korban, kata Adinda. Tapi dalam kasus Mbah Minto dan Marjani, penegak hukum harus jeli menilik status ‘korban’. Jangan sampai orang yang membela propertinya dan terpaksa membela diri malah jadi tersangka-terdakwa.

Adinda mengatakan, pemerintah, regulasi, dan aparat penegak hukum juga harus bisa melindungi seseorang dan hak kepemilikannya. Sedangkan peringatan bagi publik, apakah mereka telah paham sejauh mana pembelaan diri? Ada reaksi atau refleks dari seseorang yang merasa terancam dan itu tidak dapat diukur.

“Hukum perlu melihat kasus per kasus agar bisa adil. Upaya keadilan restoratif penting untuk dilakukan tapi tidak mengorbankan rasa keadilan. Pengusutan sangat penting dilakukan secara terbuka,” imbuh Adinda.

Sementara itu, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi menyatakan konstruksi perkara ini aneh sejak awal. Kalau memang betul Mbah Minto membela diri dari pencuri, seharusnya sejak penyidikan telah ketahuan.

Kasus Mbah Minto dan Marjani pun tak perlu dibelah dua lantaran ada satu peristiwa yang berkaitan. Maka tak perlu ada dua berkas perkara yang berbeda tindak pidana, artinya polisi tak mempertimbangkan bahwa korban adalah pencuri, kata Fachrizal.

“Penyidik dari awal tak profesional, jaksa juga. Harusnya tak melihat ‘ada penganiyaan’, tapi ‘mengapa ada penganiayaan’? Itu yang harus ditanya,” tutur Fachrizal kepada reporter Tirto.

Pembelaan diri yang dilakukan si kakek pun bisa diketahui, apakah itu pembelaan melampaui batas atau tidak, meski pembuktiannya agak sulit, kata Fachrizal.

“Kasus ini harus jadi satu. Mbah Minto menganiaya dalam membela diri yang melampaui batas atau yang masih dapat dibenarkan oleh hukum? Jadi dua perkara yang berbeda saja memperlihatkan penyidik itu tak profesional. (Perkara ini) cacat prosedur, secara hukum jadi ada dua peristiwa yang berbeda. Harusnya, pencurian dibuktikan terlebih dahulu,” sambung Fachrizal.

Apalagi Mbah Minto membacok Marjani di dalam area yang ia jaga. Bukan di luar area pengawasannya. Itu pun membuktikan Marjani sembarangan masuk ke pekarangan orang tanpa izin. Inilah yang mestinya dipahami oleh penegak hukum. Pada perkara ini, Jaksa Agung pun dapat menerapkan tugas dan fungsinya sesuai Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yakni “mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.” [PDF]

Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

Baca juga artikel terkait KORBAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz