tirto.id - Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) batal ditetapkan sebagai inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna, Kamis (16/12/2021).
Setelah DPR menyepakati draf RUU TPKS dalam Rapat Pleno Badan Legislatif (Baleg) pada Rabu (8/12/2021), semestinya RUU TPKS kembali menjadi bahasan dalam rapat Badan Musyarah (Bamus) pada Rabu (15/12/2021). Namun rapat tersebut tak pernah terselenggara.
Wakil Ketua Baleg DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS Willy Aditya menegaskan pembahasan akan dilanjutkan dalam masa sidang berikutnya.
“Kalau informasi dari pimpinan rapur, [akan dibahas saat] pembukaan masa sidang depan,” ujar politikus Partai Nasdem itu saat dikonfirmasi reporter Tirto, Kamis (16/12/2021).
Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual menilai DPR tak serius membahas RUU TPKS. Terlebih saat ini, kasus kekerasan seksual marak terjadi.
“Sudah banyak korban, tapi mereka memainkan kekuasaan di sini,” ujar Koordinator Advokasi Nasional LBH APIK Indonesia, Ratna Batara Munti selaku perwakilan koalisi dalam konferensi pers daring, Rabu malam (15/12/2021).
Gagalnya RUU TPKS menjadi bahasan di rapat paripurna juga menunjukkan sikap Ketua DPR Puan Maharani yang ingkar janji. Pada 25 November 2021, Puan pernah berjanji akan memperjuangkan agar RUU TPKS segera selesai; demi menjamin rasa aman bagi perempuan.
Dalam laporan Catatan Akhir Tahun (Catahu) LBH Apik Jakarta 2021, kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) tertinggi dalam 5 tahun, menggeser kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pengaduan KBGO sebanyak 489 kasus, KDRT 374 kasus, kekerasan dalam pacaran 73 kasus, kekerasan seksual dewasa 66 kasus, dan tindak pidana umum 81 kasus. Secara menyeluruh jumlah pengaduan tahun ini lebih tinggi daripada tahun lalu; total pengaduan tahun 2021 sebanyak 1.321 kasus dan tahun 2020 sebanyak 1.178 kasus.
“Kita merasa kecewa sekali dengan jadwal yang tidak memasukkan RUU TPKS,” lanjut Ratna.
RUU TPKS Terganjal Ego Sektoral
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus berpendapat semestinya DPR bisa bekerja cergas dengan berkaca pada kasus kekerasan seksual yang belakangan ini marak terjadi. Tuntutan keadilan untuk korban mestinya menjadi semangat untuk Baleg, kata Lucius. Bukan justru terkendala ego sektoral fraksi.
“Pembahasan RUU TPKS harusnya dilakukan dengan semangat kepedulian yang tinggi sehingga fraksi-fraksi benar-benar harus menanggalkan semua kepentingan yang sifatnya politis,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis (16/12/2021).
Perjalanan penyusunan draf RUU TPKS memang sejak awal tidak mulus. Dari 9 fraksi, hanya 4 fraksi yang sepakat melanjutkan pembahasan draf. Bahkan setelah rapat pleno digelar, hanya 7 fraksi secara gamblang mendorong pembahasan segera.
Fraksi Partai Golkar meminta pembahasan ditunda, untuk merevisi beberapa pasal dalam draf. Sementara Fraksi PKS menolak draf RUU TPKS karena tak sejalan dengan semangat agama.
“Mestinya kalau DPR peduli dengan korban kejahatan seksual, draf yang sudah ada langsung dibawa ke paripurna dahulu. Berbagai hal yang masih membingungkan itu masih bisa dibahas pada tahap pembicaraan tingkat satu nanti,” ujar Lucius.
Draf Belum Sempurna
Meski draf RUU TPKS tertanggal 8 Desember 2021 mengalami kemajuan dari draf versi sebelumnya, tapi Koalisi ICJR, IJRS, dan PUSKAPA menilai draf belum mengatur aspek hak pemulihan korban secara mumpuni. Semisal tempat tinggal sementara, mendapat identitas baru, tempat kediaman baru dan pemulihan sosial dan budaya.
Koalisi juga meminta agar negara memberikan kompensasi terhadap korban kekerasan seksual. Aturan yang ada saat ini hanya kewajiban restitusi pelaku kepada negara.
“Negara sudah menganggarkan biaya untuk kastrasi kimia dan rehabilitasi dalam UU Perlindungan Anak. Namun, negara belum memberikan kompensasi khusus kepada korban kekerasan seksual,” ujar Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati dalam keterangan tertulis, Kamis (16/12/2021).
Selain itu juga, Koalisi meminta agar penguatan penggunaan alat bukti hasil pemeriksaan forensik, baik DNA dan non-DNA mesti ditekankan dalam RUU TPKS. Serta beberapa hal lainnya: pengaturan tentang akomodasi yang layak terhadap saksi dan korban dengan disabilitas harus diatur secara jelas siapa yang menentukan, dan pengaturan mekanisme pemeriksaan dengan perekaman elektronik dan pertemuan pendahuluan yang tidak hanya dibatasi pada tahap penyidikan, dan harus menjamin ketentuan teknis acara untuk hak yang butuh implementasi khusus, misalnya hukum acara untuk hadirnya penetapan perintah perlindungan sementara.
RUU TPKS juga mesti memastikan agar korban kekerasan seksual tidak dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentang larangan distribusi/transmisi/membuat dapat diakses muatan melanggar kesusilaan dan Pasal 4, 8, 9, 10 UU Pornografi. Dan memastikan agar korban tidak dilaporkan kembali atas dugaan tindak pidana kesusilaan atau pornografi, termasuk kemungkinan untuk menghapus pasal yang berpotensi mengkriminalisasi korban.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz