tirto.id - Polres Mojokerto pada 2 Desember 2021 mendapatkan informasi penemuan jenazah seorang perempuan di sebuah makam di Kecamatan Suko, Mojokerto, Jawa Timur. Lantas petugas menuju ke lokasi untuk mengecek perkara. Kejadian ini bermula kala juru kunci makam, Sugito, saat itu melihat si perempuan mengendarai motor ke area kuburan. Ketika sedang bersih-bersih, Sugito melihat perempuan itu tergeletak di atas pusara.
Sugito menghampiri tubuh itu. Ia menemukan sebuah botol berisi air warna kemerahan beraroma menyengat dan sedotan plastik. Polisi kemudian mengusut kasus dugaan bunuh diri tersebut. Perempuan yang terkapar itu adalah NWR (23 tahun), seorang mahasiswi Universitas Brawijaya, Malang angkatan 2016.
“Kenapa bunuh diri? Hasil penemuan di tempat kejadian perkara, ditemukan bekas minuman yang bercampur potasium,” kata Wakapolda Jawa Timur Brigjen Pol Slamet Hadi Supraptoyo di Polres Mojokerto, Sabtu (4/12/2021).
Sementara, hasil visum dari Puskesmas Suko menyebutkan tidak ada tanda-tanda penganiayaan di tubuh NWR.
Tim gabungan Reserse Polda Jawa Timur, Polres Mojokerto, dan Polres Pasuruan bergerak cepat. Mereka menyelidiki perkara. Lantas polisi memeriksa pacar NWR, Randy Bagus Hari Sasongko. “Yang bersangkutan (Randy Bagus) profesinya adalah seorang polisi, bertugas di Polres Pasuruan,” sambung Slamet.
Temuan polisi yaitu NWR dan Randy berkenalan pada Oktober 2019 di acara rilis sebuah distro di kawasan Malang, lantas mereka bertukar nomor telepon. Keduanya memutuskan untuk berpacaran.
Polisi sebut, selama mereka menjalin hubungan hingga Desember tahun ini, NWR dua kali aborsi yakni Maret 2020 dan Agustus 2021. Mereka secara sadar membeli obat penggugur kandungan. Dua hari usai penemuan mayat, Randy, yang berpangkat Bripda, ditangkap, dimintai keterangan, dan kini ditahan.
Slamet mengklaim kepolisian akan mencari tahu lebih detail soal penyebab NWR menghabisi nyawanya.
Secara internal, kepolisian menjerat Randy dengan Pasal 7 dan Pasal 11 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 yaitu tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Pasal 348 KUHP juncto Pasal 55 KUHP, untuk proses pidana umum.
“Untuk yang kode etik (ancaman hukuman) pemberhentian tidak dengan hormat,” kata dia.
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan jajaran Bidang Profesi dan Pengamanan Polri turun tangan untuk memastikan penerapan peraturan yang berlaku. “Terkait dengan Sidang Komisi Kode Etik Polri dan bagaimana proses dari Direktorat Kriminal Umum Polda Jawa Timur terhadap R sesuai dengan norma yang berlaku,” ucap dia, Senin (6/12/2021).
Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti merespons kasus ini. Ia berujar pihaknya sangat prihatin NWR mengakhiri hidupnya dan ia mendorong penyelidikan menyeluruh terhadap perkara ini secara profesional, transparan dan akuntabel untuk menjawab berita-berita yang simpang siur, terutama di media sosial, agar publik mengetahui fakta yang sebenarnya.
“Kami mendukung gerak cepat Polda Jawa Timur yang sigap memproses hukum Bripda RB. Berdasarkan konferensi pers Wakapolda Jatim, Bripda RB akan dijerat Pasal 348 juncto Pasal 55 KUHP dengan ancaman hukuman 5 tahun 6 bulan,” ujar Poengky kepada reporter Tirto, Senin (6/12/2021).
Kompolnas berharap hukuman tegas perlu diterapkan kepada si polisi, agar jera dan sebagai peringatan bagi anggota-anggota lainnya untuk tidak melakukan tindak kejahatan seperti ini, kata Poengky.
“Jika benar seperti yang dituduhkan, maka tindakan Bripda RB adalah tindakan yang memalukan diri sendiri dan keluarga, serta mencoreng nama baik institusi,” imbuh Poengky.
Dugaan Kekerasan Seksual Dalam Pacaran
Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Julius Ibrani berkata, ada dua hal yang tercermin dalam kasus ini, yaitu dua kali Randy diduga memaksa menggugurkan kandungan dan menolak pertanggungjawaban kehamilan yang terindikasi sebagai bentuk pemaksaan dalam hubungan intim karena tidak ada izin, termasuk atas konsekuensinya.
“Untuk memaksa menggugurkan kandungan, [Randy] bisa dipenjara. Ada Pasal 348 KUP tentang aborsi dan bisa ditambahkan sebagai perbuatan berulang, karena dua kali (memaksa NWR),” tutur Julius kepada reporter Tirto, Senin (6/12/2021).
Sedangkan, ranah emoh bertanggung jawab,kata dia, jika berdasarkan perspektif korban, maka si Randy menghindar terus-menerus. Dapat diduga kuat hubungan intim tak setara alias ada pemaksaan layaknya perkosaan.
“Karena ada relasi kuasa yang timpang. Korban meminta pertanggungjawaban, tapi pelaku menghindar bahkan menyalahkan,” sambung Julius.
Khusus untuk aborsi, memang ada catatan. Karena pasal aborsi di KUHP masih merendahkan dan memviktimisasi korban utamanya perempuan. Dalam perspektif HAM, kata dia, aborsi itu menjadi hak jika dengan pertimbangan kesehatan dan izin dari korban atas kehamilan yang tidak direncanakan.
Sanksi lainnya yang tepat bagi Randy, kata Julius, adalah pemberhentian dengan tidak hormat lantaran telah melanggar etik anggota Polri dan sumpah Tri Brata.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mendukung kepolisian merampungkan perkara ini. Ia menilai kasus NWR menyadarkan publik untuk lebih aktif mencegah agar tidak timbul korban lainnya. Kejadian yang menimpa NWR adalah bentuk kekerasan dalam berpacaran, lantas setiap bentuk kekerasan adalah pelanggaran HAM.
Kekerasan dalam pacaran adalah suatu tindakan yang dapat merugikan salah satu pihak, berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis. Termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan hak secara sewenang-wenang kepada seseorang yang terjadi di depan umum atau kehidupan pribadi.
Korban Butuh Bantuan, Bukan Bantahan
Pada Agustus 2021, NWR mengadukan peristiwa yang menimpa dirinya kepada Komnas Perempuan secara daring. Inti laporan itu adalah kekerasan dalam pacaran. Kemudian institusi itu menindaklanjuti pengaduan.
“Korban mengalami kekerasan secara berulang, dalam durasi hampir dua tahun sejak 2019 atau sejak membangun relasi pacaran dengan pelaku. Dia terjebak dalam siklus ‘kekerasan dalam pacaran’,” kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dalam konferensi pers daring, Senin (6/12/2021).
Akibat siklus itu, NWR jadi korban eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi. Saat NWR menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, Randy memaksa kekasihnya untuk menggugurkan kandungan; walau korban berkali-kali menolak.
Pemaksaan ini caranya dengan meminta NWR menenggak obat-obatan, pil KB, dan aneka jamu. “Pemaksaan aborsi kedua bahkan dilakukan dengan cara memasukkan obat ke vagina korban,” kata Siti Aminah.
Temuan lain, Randy juga memaksa pacarnya berhubungan seks di mobil dan memperkosa korban berulang kali lantaran beranggapan bahwa sperma akan menggugurkan kandungan.
NWR sempat meminta Randy untuk menikahinya pada Agustus 2021, si lelaki pun menginformasikan hal itu kepada orang tuanya. Namun keluarga Randy menolak dengan dalih masih ada kakak perempuan Randy yang belum menikah dan mempertimbangkan karier kepolisian.
Ketika kehamilan kedua, ibu Randy malah menyatakan janin dalam kandung NWR adalah upaya menjebak keluarganya. Tak hanya itu, kala menjalani asmara dengan NWR, Randy juga menggaet perempuan lain.
“Pelaku diketahui memiliki hubungan dengan perempuan lain, namun bersikeras tidak mau memutuskan relasi dengan korban. Kondisi ini menyebabkan korban tidak berdaya, dicampakkan, merasa disia-siakan, juga berkeinginan menyakiti diri sendiri,” tutur Aminah.
Mengetahui informasi itu, NWR menyakiti diri dengan menggetok batu ke kepalanya, hingga akhirnya ia perlu perawatan medis. Kejadian-kejadian yang dia alami berdampak kepada psikisnya. Hasil diagnosis psikiater dan psikolog, NWR mengidap psikosomatik dan gangguan obsesif kompulsif.
Pemudi itu pun pernah mengonsultasikan kejadian yang ia alami kepada dua lembaga bantuan hukum di daerah tempat tinggalnya, yang menyarankan agar tindakan Randy diadukan ke Bidang Profesi dan Pengamanan Polri.
Siti Aminah melanjutkan, pihaknya menelepon NWR pada November2021. Si pelapor ingin Komnas Perempuan bisa membantu konseling psikologis serta mediasi dengan Randy dan orang tuanya. Lalu Komnas Perempuan merujuk NWR untuk berkonseling di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Mojokerto. Lantas P2TP2A Mojokerto telah memberikan dua kali sesi konseling pada November.
“Ketika akan dilakukan sesi berikutnya, korban meninggal,” kata Siti Aminah.
Berdasarkan himpunan data internal, per Oktober 2021, Komnas Perempuan menerima 4.500 pengaduan. Jumlah ini dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Sejak tahun lalu pula para pengampu mewaspadai lonjakan pelaporan. Karena sumber daya manusia di instansi itu terbatas, maka diperlukan pembenahan mekanisme pengaduan.
Meroketnya pengaduan mengakibatkan daftar tunggu mengantre, bahkan ada kasus yang harus menanti dua bulan untuk bisa diverifikasi tahap awal. “Kasus kematian almarhum mendorong kami untuk benar-benar serius mengatasi sistem pelayanan terhadap korban,” terang Siti Aminah.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz