tirto.id - Kasus kekerasan seksual terungkap seiring dengan korban yang berani speak up atau berbicara mengenai kejadian pelecehan yang mereka alami. Salah satu kasus yang menyita perhatian publik adalah kasus pemerkosaan yang terjadi di Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat.
Dalam kasus ini, pemilik sekaligus pengasuhnya, Herry Wirawan melakukan kekerasan seksual terhadap belasan (data terbaru mencapai 21 orang) anak didiknya hingga hamil dan melahirkan setidaknya 9 bayi. Saat ini, dia menjadi terdakwa kasus pemerkosaan.
Kasus lainnya, terdapat korban yang menceritakan kisahnya melalui media sosial. Seperti seorang mahasiswi Universitas Riau (Unri) angkatan 2018 yang berani bersuara karena mengalami pelecehan seksual oleh dosennya saat ingin bimbingan skripsi, 27 Oktober 2021.
Kesaksian itu ia ungkapan melalui sebuah video yang diunggah di Instagram @mahasiswa_universitasriau.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah menilai maraknya kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini tidak lepas dari masifnya publikasi yang dilakukan, mulai dari media sosial hingga pemberitaan.
“Maraknya pemberitaan kasus kekerasan seksual tidak dapat dilepaskan dari speak up korban,” kata Siti Aminah saat dihubungi reporter Tirto, Senin (13/12/2021).
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan dalam rentang 2016-2020, terdapat 24.786 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan baik ke lembaga layanan (masyarakat maupun pemerintah) dan yang langsung. Di dalamnya terdapat 7.344 kasus (29,6%) dicatatkan sebagai kasus perkosaan. Dari kasus perkosaan tersebut, hanya kurang dari 30% yang diproses secara hukum.
Menurut Siti Aminah banyaknya korban yang speak up karena melihat korban lainnya yang sudah berani bersuara melalui media sosial hingga media pemberitaan, sehingga mereka terdorong memiliki keberanian untuk melakukan hal serupa.
Sebab, kata dia, saat ini melaporkan kasus kekerasan seksual bukan merupakan hal yang tabu lagi. “Karena speak up melalui media sosial memberikan peluang kepada korban untuk me-mention para pengambil kebijakan terkait hambatan keadilan yang didapatnya,” kata dia.
Selain itu, banyaknya korban yang berani speak up lantaran adanya rekan dan pendamping yang membuat korban termotivasi. “Juga adanya dukungan masyarakat dan solidaritas terhadap korban," tuturnya.
Komnas Perempuan pun menyampaikan apresiasi dan penghargaan setinggi-tingginya atas korban yang berani bersuara atas pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya. Menurutnya, itu tentunya tidak mudah dan merupakan langkah berani untuk meminta negara memenuhi hak atas keadilan, kebenaran, dan pemulihan korban.
Namun di sisi lain, Komnas Perempuan menyayangkan pemerintah-DPR juga belum memberikan perlindungan hukum terhadap potensi kriminalisasi terhadap korban atau pendamping yang menyuarakan kasus kekerasan seksual.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan berharap Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disahkan agar terdapat jaminan hukum korban dan pendamping supaya tidak dituntut secara pidana atau perdata sampai kasus kekerasan seksualnya diputus dan berkekuatan hukum tetap.
Selain itu, Siti Aminah juga berharap penanganan kasus kekerasan seksual ke depan dapat terpadu dan sinergis antara sistem peradilan pidana dengan sistem layanan pemulihan korban.
“Di mana korban didampingi sejak melapor dan mendapatkan hak haknya sepanjang proses peradilan,” kata Siti Aminah.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengapresiasi banyaknya korban yang berani berbicara mengenai kasusnya. “Masyarakat semakin baik kesadarannya untuk berani bicara dan melaporkan kasus-kasus kekerasan dan melaporkannya ke penyedia layanan terdekat,” kata Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA, Nahar kepada Tirto, Senin (13/12/2021).
Nahar menjelaskan berdasarkan data Simponi Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), kasus kekerasan seksual pada 2019 sebanyak 6.454; tahun 2020 meningkat manjadi 6.980; dan tahun 2021 meningkat yakni 7.545 kasus.
Dari sejumlah kasus tersebut, sebanyak 68% yang mendapatkan pelayanan yang komprehensif.
Menurut Nahar, korban yang berani speak up merupakan hal yang positif, sehingga itu menjadi bahan evaluasi Kemen PPPA untuk meningkatkan upaya perlindungan perempuan dan anak ke depan.
Oleh karena itu, Kementerian PPPA akan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan membuat saluran yang memudahkan korban agar berani melaporkan kejadian kasus kekerasan seksual.
Jika terdapat korban yang melapor, kata dia, Kementerian PPPA akan menangani korban sesuai dengan prosedur. Korban akan diberikan perlindungan dan dijamin kerahasiaan identitasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jika korban membutuhkan, akan disediakan rumah aman. Lalu berupaya melakukan mediasi dengan pihak pelaku. Apabila korban ingin melakukan proses hukum, Kementerian PPPA akan memberikan pendampingan.
“Penanganan dilakukan melalui layanan-layanan yang telah disediakan, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing,” kata Nahar.
Pemerintah Buat Gugus Tugas RUU TPKS
RUU TPKS tampaknya sedikit mendapatkan angin segar dari pemerintah dan DPR RI. Saat ini pemerintah bahkan membuat Gugus Tugas Percepatan Pembahasan RUU TPKS.
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan RI Jaleswari Pramodhawardani mengatakan gugus tugas akan terdiri dari lintas kementerian dan lembaga, beranggotakan KSP, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian PPPA, Kejaksaan Agung, dan Polri.
“Semoga RUU TPKS ini dapat terus disetujui di langkah-langkah formil berikutnya dan menjadi harapan, jawaban, dan sandaran bagi para korban," kata Jaleswari selaku Wakil Ketua Tim Pelaksana Gugus Tugas kepada wartawan, Sabtu (11/12/2021).
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS, Willy Aditya mengatakan, DPR RI telah menyepakati draf RUU TPKS dalam Rapat Pleno Baleg pada Rabu (8/12/2021). Draf tersebut nantinya akan dibawa untuk disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR pada 15 Desember 2021. Selanjutnya akan mulai pembahasan antara DPR dan pemerintah.
Politikus Nasdem tersebut mengatakan sejauh ini komunikasi DPR dengan pemerintah berjalan baik dalam pembahasan RUU TPKS. Dia mengatakan DPR-pemerintah satu frekuensi.
“Supres [Surat Presiden] maksimal 60 hari. Dengan komitmen pemerintah seperti ini, tentu bisa cepat," kata Willy kepada Tirto, Senin (13/12/2021).
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz