Menuju konten utama

Studi Banding DPR soal RUU TPKS ke Brazil & Ekuador: Pemborosan

Rencana Baleg studi banding RUU TPKS atau RUU PKS ke Brazil dan Ekuador menuai kritik. DPR lebih baik mendengarkan aspirasi korban.

Suasanan Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/3/2021). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/hp.

tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, sejumlah anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR berencana studi banding ke Brazil dan Ekuador untuk memperdalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang sebelumnya dikenal dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Wakil Ketua DPR Lodewijk F. Paulus mengatakan, penyusunan kunjungan kerja ke Brazil dan Ekuador bukan tanpa alasan. Pemerintah memilih Brazil karena kekerasan seksual di Brazil dinilai sudah menjadi budaya, sementara pemerintah Brazil tidak ingin hal tersebut terjadi. Pemerintah Brazil lantas membentuk kementerian dengan bagian yang mengurus tentang kekerasan seksual diikuti dengan payung hukumnya.

"Nah kaitannya dengan itu, maka DPR RI dalam hal ini Baleg, ingin melaksanakan suatu studi banding, bagaimana sih mereka melakukan itu? Kalau kita komparasi antara kita ini sebagai bangsa, kalau di sana dianggap sebagai kultur, kalau kita kan tidak, tetapi ada sesuatu yang tentunya kita perlu petik dari bagaimana mengimplementasikan dari aspek struktur atau kelembagaan dan perundang-undangan," kata Lodewijk kepada wartawan, Senin (4/10/2021).

Kedua, kata politikus Golkar ini, DPR memilih Ekuador karena mereka mampu mengimplementasikan UU Anti Kekerasan kepada Perempuan. Ia tidak memungkiri Ekuador tidak mengatur spesifik tentang kekerasan seksual, tetapi konteks domestik. Akan tetapi, perbedaan terus penting untuk dikaji.

"Kalau Brazil atau Ekuador terlihat mereka mampu melaksanakan suatu kerja sama dengan pihak kepolisian, jadi law enforcement itu akan sangat terlihat dengan adanya kepolisian, nah itu yang ingin kita melihat sehingga nantinya saat uji publik atau tahapan selanjutnya dari RUU ini, kita bisa betul-betul mendapatkan masukan dan kita bisa mengimplementasikan secara baik di Indonesia," kata Lodewijk.

Lodewijk belum tahu siapa saja dan nama-nama anggota yang akan berangkat. Namun ia memastikan bahwa kunjungan kerja secara fisik penting untuk bisa melihat langsung titik-titik di lapangan dan bisa mendapatkan langsung saran.

Ia pun menjawab tentang kritik masyarakat sipil bahwa berbiaya besar dan masih pandemi. Lodewijk menilai, studi banding diperlukan demi menghasilkan undang-undang yang berkualitas.

"Pada gilirannya kita ingin setelah undang-undang jadi, kita dikomplain orang, karena tidak lakukan studi banding, tidak melakukan masukan. Undang-undang seperti ini kan sensitif, sensitivitas ini harapan kita dapat masukan seperti itu, ya tentunya ada perhitungan risiko," kata dia.

Tidak Ada Urgensi Kunker ke Luar Negeri

Peneliti Formappi Lucius Karus beranggapan DPR tidak perlu kunjungan kerja ke Ekuador maupun Brazil dalam studi banding RUU TPKS. Ia menilai alasan Lodewijk hanya sebagai sebuah pembenaran, sementara bahan RUU PKS sudah banyak, apalagi tidak sedikit organisasi masyarakat sipil hingga lembaga memberikan kontribusi dalam penyusunan RUU PKS di masa lalu.

Di sisi lain, kata dia, DPR bisa melakukan kajian kepustakaan daripada datang ke lokasi atau lebih baik menggunakan konsep Zoom.

"Jadi kenapa kemudian kita menduga ini hanya cari-cari alasan saja menggunakan RUU PKS ini karena itu dia belum jelas, kemudian apa yang sudah disiapkan oleh Baleg, apa yang sudah dikerjakan oleh Baleg terkait penyusunan RUU ini," kata Lucius, Senin (4/10/2021).

Lucius menambahkan, "Kan tidak masuk akal kemudian mereka tiba-tiba ke luar negeri, melakukan studi banding padahal mereka sendiri belum jelas konsepnya mau ngapain."

Lucius juga mengingatkan bahwa RUU TPKS bukanlah "cek kosong." Ia mengingatkan Komisi VIII sudah melakukan kunjungan kerja untuk membahas RUU PKS. Kini, Baleg seharusnya cukup menyempurnakan dari hasil temuan Komisi VIII dan data-data yang sudah ada dari lembaga maupun masyarakat sipil.

"Jadi yang bisa kita katakan RUU ini bukan cek kosong saat ini. Sudah sekian banyak anggaran yang sudah dihabiskan DPR, sudah sekian banyak waktu yang telah dihabiskan Komisi 8 untuk membahas, menyusun RUU ini dan sudah banyak juga kelompok masyarakat yang diundang untuk memberikan pandangannya terkait dengan RUU ini di Komisi 8," kata Lucius.

"Jadi kalau sekarang seolah-olah Baleg sedang ingin menyusun dari nol, saya kira ini membuktikan sekali lagi kacaunya pembahasan legislasi di DPR yang membuat kinerja mereka selalu buruk," tutur Lucius.

Harus Berdampak bagi Korban, Tidak Perlu Kunker

Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin belum mau berbicara banyak soal rencana kunjungan kerja DPR. Ia enggan menjawab apakah lokasi yang dituju maupun kunjungan kerja baik untuk pembahasan RUU TPKS. Namun ia meminta agar kunjungan kerja berdampak positif bagi RUU TPKS.

"Saya tidak bisa menyimpulkan. Yang jelas kunjungan kerja harus berdampak terbaik bagi kepentingan rakyat," kata Mariana saat dihubungi reporter Tirto.

Mariana juga menekankan bahwa kunjungan kerja harus membawa dampak bagi RUU TPKS dan harus sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Namun ia lebih memilih menunggu hasil kunjungan kerja sebelum berbicara lebih jauh.

"Kita lihat dulu hasil kunjungan mereka," kata Mariana.

Sementara itu, aktivis perempuan Azriana Manalu menilai DPR tidak perlu melakukan kunjungan kerja hingga ke luar negeri. Menurut Azriana, DPR lebih baik penguatan materi dengan mendengar keluhan korban daripada ke luar negeri.

"Menurut saya yang perlu dilakukan Baleg saat ini mendengarkan pengalaman dan kebutuhan korban karena sejauh ini pembahasan RUU tersebut belum memberi ruang yang cukup untuk korban. Padahal RUU itu dibuat untuk melindungi mereka," kata Azriana kepada Tirto, Senin (4/10/2021).

Azriana mengingatkan, Komisi VIII periode 2014-2019 sudah pernah studi banding ke Perancis untuk pembahasan RUU PKS. Kini, DPR memilih Ekuador dan Brazil yang dalam pandangan Azriana masih ada negara yang lebih baik dalam penekanan perlindungan korban dan menghukum pelaku seperti Yordania, Lebanon, Finlandia atau Swedia.

Akan tetapi, Azriana lebih mendorong DPR tetap mengedepankan untuk mendengar keterangan dari para korban. Ia beralasan, hasil studi banding Komisi VIII di masa lalu toh tidak membuat RUU PKS disahkan.

"Kenyataannya setelah mereka pulang studi banding, jangankan disahkan, dibahas pun tidak RUU ini. Itu kan buang-buang uang negara namanya. Jangan sampai hal yang sama terulang lagi pada periode ini," kata Azriana.

Oleh karena itu, Azriana mendorong hasil studi banding ke Perancis dibuka ke publik dan dampak bagi RUU TPKS. Kemudian, DPR lebih memperkuat studi dalam negeri demi mendapatkan gambaran undang-undang yang sesuai dengan kebutuhan korban dan keadaan Indonesia.

"Masa reses ini bisa kan digunakan untuk mendengarkan para korban, para pendamping, pemerintah daerah dan juga institusi penegak hukum. Biar punya gambaran yang lebih utuh tentang kebutuhan dan tantangan penanganan kekerasan seksual. Termasuk juga inisiatif-inisiatif yang sudah dibangun masyarakat untuk pemulihan korban," kata Azriana.

Baca juga artikel terkait STUDI BANDING atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz