Menuju konten utama

Di Balik Senyapnya Jokowi soal Nasib Pegawai KPK yang Dipecat

Jokowi didesak bersikap tegas soal nasib 57 pegawai KPK tak lolos TWK yang dipecat. Sejumlah pihak berharap mereka balik kandang.

Pegawai KPK yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menunjukkan surat untuk Presiden yang dikirim oleh aktivis dari sejumlah daerah, ke Kantor Darurat KPK, di trotoar Gedung ACLC KPK, Jakarta Rabu (29/9/2021). ANTARA FOTO/ Reno Esnir/foc.

tirto.id - 56 pegawai KPK yang dipecat karena tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), bakal ditarik Polri untuk menjadi aparatur sipil negara di Korps Bhayangkara. Alasan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo adalah sebagai upaya pencegahan korupsi dalam rangka mengawal program penanggulangan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional serta kebijakan strategis lain.

Kapolri mengklaim Presiden Joko Widodo, melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno, telah merespons surat ‘pengajuan’ tersebut pada 27 September 2021. "Prinsipnya, beliau setuju 56 orang pegawai KPK untuk bisa menjadi ASN Polri," kata Sigit, Selasa (28/9/2021). Belakangan pegawai yang tak lolos TWK bertambah satu sehingga total menjadi 57 orang.

Via surat balasan, Kepala Negara meminta Polri berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenpanRB) serta Badan Kepegawaian Negara untuk menindaklanjuti rencana itu.

Pratikno menyatakan ide ini tidak melibatkan presiden secara langsung. "Tidak dengan Pak Presiden, tidak. Pak Kapolri berkunjung ke Pak Menpan RB, di situ ada saya juga, ada Pak Kepala BKN, jadi membahas itu," kata Pratikno, Rabu (29/9). Permohonan tersebut ia anggap bagian dari wewenang Kepala Kepolisian.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD turut buka suara ihwal pengajuan Polri. Ia mencuit di akun Twitter-nya pada 29 September. "Kontroversi tentang 56 Pegawai KPK yang terkait TWK bisa diakhiri. Mari kita melangkah ke depan dengan semangat kebersamaan. Langkah KPK yang melakukan TWK menurut MA dan MK tidak salah secara hukum. Tapi kebijakan presiden yang menyetujui permohonan Kapolri untuk menjadikan mereka sebagai ASN juga benar," demikian twit Mahfud.

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyoroti rencana tersebut. Menurut dia ada beberapa kendala. Pertama, sikap penerimaan dari Polri. "Karena bagaimanapun 56 (pegawai KPK yang dipecat) berasal dari institusi yang berbeda. Sejauh mana kerja sama bisa dibentuk," ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (29/9).

Solusi masalah tersebut dengan membuat Peraturan Kapolri atau Peraturan Pemerintah mengenai hak, kewenangan, serta tupoksi mereka. Menurut Feri, mereka yang ditarik ini akan menjadi tim khusus pemberantasan korupsi. Tentu kiprah tim ini akan menarik bila pemerintah dan Polri bisa menatanya.

Kendala kedua, kata dia, ialah bentuk hukum dari proses alih status. "Sejauh ini belum ada keputusan Kapolri mengenai ini, perlu dicek juga bentuk keputusan administrasi negara yang berkaitan dengan status 56 orang ini," jelas Feri. Bila terdapat proses penerimaan pegawai dari awal lagi, maka keputusan itu tidak cocok.

"Karena dalam undang-undang nama prosesnya alih status pegawai. Ini tidak diperlukan tes. Kalau ada pelatihan setelah itu boleh-boleh saja, seperti pegawai yang lain. Tidak boleh ada tes wawasan kebangsaan lagi," kata dia.

Bungkam & Blunder Politik

Jokowi belum menyikapi langsung soal pemecatan 56 pegawai KPK dan rencana Polri tersebut. Dengan kata lain, ia masih bungkam perihal nasib anggota lembaga antirasuah yang diberhentikan.

Pada Mei 2021, Presiden Jokowi pernah menyampaikan bahwa pegawai KPK yang tak lolos TWK sebagai bagian dari peralihan status menjadi aparatur sipil negara. Dia menegaskan TWK bukanlah dasar pemberhentian pegawai KPK; serta KPK harus memiliki sumber daya manusia terbaik yang berkomitmen memberantas rasuah.

Meski Komnas HAM dan Ombudsman Republik Indonesia menyatakan terdapat masalah dalam pelaksanaan TWK KPK, sehingga ada pegawai tidak lolos, namun tetap saja presiden tutup mulut. Rekomendasi Komnas HAM adalah mengangkat pegawai yang tidak lolos tes, sementara Ombudsman meminta presiden mengambil alih proses tes yang terindikasi malaadministrasi. Presiden belum bersikap dalam polemik ini.

Perdebatan ini menggairahkan aksi rakyat. Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) pada 27 September, berdemonstrasi di depan gedung KPK guna menolak pemecatan 56 pegawai. Dua hari berikutnya, koalisi masyarakat sipil menyambangi kantor Sekretariat Negara untuk menyerahkan 1.505 surat yang isinya menuntut presiden segera menyelesaikan sengkarut tersebut. Pengirim surat adalah berbagai elemen masyarakat seperti akademisi, serikat buruh, mahasiswa, jaringan masyarakat miskin kota, dan anggota Koalisi Bersihkan Indonesia.

Koalisi masyarakat sipil menuntut agar Jokowi selaku pimpinan tertinggi aparatur sipil negara segera memulihkan status 56 pegawai KPK yang tidak lolos TWK, serta menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan aturan pelaksanaannya.

Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Adinda Tenriangke Muchtar berpendapat sebaiknya presiden memberikan pernyataan perihal perkara ini meski hanya omongan singkat.

“Setidaknya masyarakat dan media akan mendapatkan pesan yang jelas dari pemerintah. Karena ada ketidakjelasan, inkonsistensi dari pernyataan awal (Jokowi soal tak dipecat),” ucap dia ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (30/9/2021). Hal ini tak lepas dari konteks politik dan citra pejabat publik, termasuk presiden.

Akan elok dan bijak jika publik mengetahui posisi pemerintah perihal pemecatan pegawai KPK. Publik juga bisa memahami bila hal ini bertautan dengan perpolitikan, umpamanya soal dinamika pemilu tiga tahun mendatang. Bisa saja hal ini membuat Jokowi menahan diri tak segera bersikap, tapi publik kecewa jika presiden tutup mulut.

“Apakah ini akan jadi blunder jika disampaikan sekarang di tengah riuhnya perpolitikan?” kata Adinda mempertanyakan.

Meski presiden tak mengintervensi, tapi sikap seorang pemimpin bisa mencerminkan keberpihakan terhadap isu yang kontroversial. Mengomunikasikan suatu hal, agar tidak gegabah dalam bersikap, mungkin saja ditempuh pemerintah.

“Karena presiden tidak dengan satu partai saja, ada dukungan partai lain, ada kepentingan lain yang berpihak. Siapapun presiden yang menjabat punya pertimbangan itu,” jelas Adinda.

Tantangan berdemokrasi adalah mendorong pemimpin untuk bisa berkata gamblang, itu dapat ‘menenangkan’ tensi rakyat. Pada dinamika politik, wajar jika pemerintah berada di bawah tekanan dan seolah bingung bersikap. Bukan berarti dalam tekanan ada kebenaran. Dalam demokrasi, lanjut dia, ada proses hukum yang harus dilalui, misalnya. Ada ranah-ranah kebijakan yang tidak bisa diintervensi.

Tapi setidaknya lewat sikap atau keputusan pejabat bisa merefleksikan politik legal. “Politik legal, apa pun itu artinya latar belakang pembuat kebijakan mengambil kebijakan tersebut. Tentu dengan mempertimbangkan kepentingan yang bersangkutan maupun pihak lainnya,” tutur Adinda.

Pemerintah Galau Tangani Polemik

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman berkata bungkamnya Jokowi lantaran si kepala negara bingung menentukan sikap. “Seharusnya presiden tak perlu bingung bersikap. Presiden dapat melaksanakan rekomendasi dari Ombudsman dan Komnas HAM, tapi sampai sekarang tak dilakukan, justru mengulur waktu,” ucap dia kepada reporter Tirto.

Abraham Samad, eks Ketua KPK periode 2011-2015, berpendapat sebaiknya para pegawai yang dipecat itu ‘balik kandang’. “Sebaiknya presiden bersikap yaitu memerintahkan 57 pegawai KPK yang diberhentikan segera diangkat jadi aparatur sipil negara di KPK, bukan di instansi lain,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (30/9/2021).

Alasannya, kata Samad, mereka yang dipecat itu merupakan para pegawai yang selama ini bersungguh hati memberantas rasuah, bukan ‘pencari kerja’.

Karena mereka pula yang selama ini tetap menjaga integritas KPK dalam memberangus korupsi tanpa pandang bulu. Samad menduga Jokowi sedang mempertimbangkan, dan berharap ada sikap presiden perihal perkara ini. “Saya masih berharap presiden akan mengambil keputusan yang tepat.”

Baca juga artikel terkait TWK KPK atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz