tirto.id - Gedung KPK di Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (30/9/2021) ramai. Ratusan (bahkan mungkin ribuan personel) bersiaga di depan kantor lembaga antirasuah sejak pagi. Puluhan orang pun terlihat berdiri di depan kantor KPK, berteriak sambil mengepalkan tangan sebelum meninggalkan KPK. Beberapa sudah dikenal publik seperti Direktur Sosialisasi & Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono hingga Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap.
Saat itu adalah hari terakhir mereka bertugas di komisi antirasuah. Pimpinan KPK resmi mengeluarkan surat pemberhentian secara hormat setelah mereka dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dinilai tidak jelas, tidak transparan, dan bermasalah.
Mereka pun kerap kali menyuarakan ketidakadilan kepada publik, bahkan kerap kali meminta Presiden Joko Widodo untuk turun. Langkah mereka berlandaskan pada rekomendasi Komnas HAM yang menemukan ada permasalahan dalam tes TWK serta temuan malaadministrasi dalam pelaksanaan TWK oleh Ombudsman RI. Dua bukti tersebut cukup terang bahwa ada masalah dalam pelaksanaan TWK.
Teriakan para pegawai KPK ini pun didukung sejumlah masyarakat sipil lain. Namun Jokowi terkesan tidak mendengar. Justru, mereka diberi tawaran untuk bekerja di kepolisian dan mantan Wali kota Solo itu disebut menyetujui gagasan yang diinisiasi Kapolri Jenderal Listyo Sigit itu.
Beragam pihak mengkritik sikap pemerintah. Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena menilai, penempatan ke-57 orang (per 29 September 2021 jadi 58) yang tidak lolos tes TWK di kepolisian tidak menyelesaikan pelanggaran HAM dalam kasus TWK. Pemerintah dinilai tutup mata dengan temuan Komnas HAM dan Ombudsman RI dalam polemik TWK.
"Sekali lagi, pemerintah terlihat memilih untuk mengambil jalan mudah dengan mengabaikan proses TWK yang jelas penuh pelanggaran dan memberikan ‘solusi’ setengah-setengah yang tidak memulihkan hak-hak para pegawai KPK secara penuh," kata Wirya, Kamis (30/9/2021).
Mereka pun menuntut agar Jokowi bertindak dalam kasus TWK. Sebab, aneh jika ke-57 pegawai yang tidak lolos tes justru bisa bekerja di kepolisian.
“Presiden Jokowi tidak bisa ‘cuci tangan’ dari masalah TWK dengan menempatkan pegawai KPK di kepolisian. Jika 57 pegawai ini dianggap cukup kompeten untuk bekerja di Polri, maka seharusnya tidak ada alasan untuk menghalangi mereka bekerja di KPK. Dan jika pemerintah merasa bahwa hasil TWK tidak valid, maka seharusnya presiden membatalkan hasil TWK dan mengembalikan status mereka sebagai pegawai KPK," tutur Wirya.
Warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi juga mengkritik tentang gagasan pengangkatan para pegawai yang tidak lulus TWK. Mereka menyoalkan apakah langkah rekrutmen yang diinisiasi polisi ini adalah langkah Jokowi. Mereka beralasan, rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman sudah memberikan arahan bahwa TWK bermasalah dan meminta para pegawai yang diberhentikan menjadi ASN KPK.
"Pertanyaan lanjutannya, apakah Ppesiden sudah membaca dan melakukan pertemuan dengan Ombudsman dan Komnas HAM sebelum menyetujui ide dari Kapolri terkait kelanjutan 56 pegawai KPK? Sebab, jika sudah, namun tidak dijalankan, maka akan timbul konsekuensi hukum bagi presiden," kata salah satu perwakilan koalisi sekaligus peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis.
Mereka mengacu pada Pasal 38 ayat (1) UU Ombudsman secara terang benderang disebutkan bahwa Terlapor (Pimpinan KPK) dan atasan Terlapor (Presiden) wajib melaksanakan rekomendasi Ombudsman. Maka dari itu, tindakan pengabaian presiden terhadap hal tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah tidak menghargai kinerja lembaga negara dan merupakan suatu perbuatan melawan hukum.
Pemberantasan Korupsi Makin Suram di Periode Kedua Jokowi
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi semakin menguatkan kritik mereka tentang posisi pemerintahan Jokowi. Mereka menilai Jokowi di periode keduanya tidak lagi pro dalam penguatan pemberantasan korupsi seperti di masa lalu.
"Sikap presiden dalam isu TWK ini dapat digambarkan bahwa pemerintah seperti tidak pernah berpihak pada isu penguatan lembaga pemberantasan korupsi," kata Kurnia.
Tak hanya soal polemik TWK. Mereka mengaitkan pada upaya Presiden Jokowi yang sepakat merevisi UU KPK pada 2019. Revisi tersebut dinilai melemahkan posisi KPK meski diklaim untuk memperkuat lembaga antirasuah.
Di sisi lain, angka pemberantasan korupsi (IPK) Indonesia tengah anjlok. Berdasarkan hasil riset Transparency Internasional Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2020 berada pada angka 37. Angka ini merosot 3 poin dibanding 2019 yang berada di angka 40 bahkan lebih rendah dari rata-rata 2020 yang berada pada angka 43 di rata-rata global.
Indonesia di bawah kepemimpinan kedua Jokowi justru berada di peringkat 102 dari 180 negara. Indonesia sejajar dengan Gambia dan lebih rendah dari Brazil maupun Suriname.
Kemudian Presiden Jokowi menunjuk pimpinan KPK yang buruk. Sebagai catatan sejumlah pegiat antikorupsi mengritik penunjukan sejumlah pimpinan KPK, salah satunya adalah pengangkatan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK.
Jenderal polisi bintang 3 itu dinilai tidak layak menjadi pimpinan KPK karena integritas yang diragukan seperti tersangkut masalah penyalahgunaan helikopter untuk kepentingan pribadi dalam perjalanan Palembang-Baturaja, Baturaja-Palembang, serta Palembang-Jakarta dengan total biaya sewa helikopter mencapai Rp28 juta.
"Bayangkan saja, berbagai pelanggaran etik, turunnya performa penindakan, dan merosotnya citra KPK di tengah masyarakat mestinya disikapi dengan menghasilkan kebijakan yang mendukung eksistensi KPK. Namun, yang terlihat saat ini, presiden justru menjadi salah satu dalang di balik melemahnya lembaga antirasuah tersebut," kata Kurnia.
Kurnia menambahkan, Jokowi tidak hanya mengabaikan perintah UU dan temuan lembaga negara, tetapi juga belum secara penuh mendengarkan aspirasi yang selama ini disampaikan oleh masyarakat terkait TWK KPK.
Selama kurun waktu empat bulan terakhir, kata Kurnia, sejumlah organisasi dan individu tokoh masyarakat sudah menyuarakan agar presiden membatalkan keputusan pimpinan KPK. Mulai dari puluhan guru besar, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil telah memberikan masukan tentang potensi pelemahan KPK di balik TWK, tetapi tidak direspons.
"Ini sekaligus mengingatkan masyarakat terhadap keberpihakan presiden dalam isu pemberantasan korupsi yang seringkali hanya dituangkan dalam dokumen politik tanpa adanya realisasi konkret," kata Kurnia.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman juga khawatir pemberantasan korupsi ke depan semakin sulit, apalagi setelah penghentian 58 pegawai berintegritas KPK.
Ia mengakui bahwa mungkin ke depan angka korupsi turun dan pengembalian kerugian negara naik, tetapi kualitas penindakan dan ruang lingkup penindakan berpotensi semakin terbatas.
"Ya misalnya betul kejaksaan bisa mengembalikan kerugian negara yang sangat besar itu dari 2 kasus, Jiwasraya dan Asabri begitu ya, tapi kan korupsi yang berupa korupsi-korupsi politik terkait dengan pejabat-pejabat yang memiliki kekuasaan tinggi itu kan selama ini tidak bisa ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan. Selama ini itu hanya ditangani oleh KPK," kata Zaenur.
Zaenur menerangkan korupsi politik dan korupsi yang melibatkan aktor politik selama ini lebih banyak ditangani oleh KPK. Kini, ia khawatir KPK akan menjadi alat kepentingan untuk menyasar tokoh politik yang lemah sementara tokoh politik high profile tidak tersentuh.
"Yang kita khawatirkan justru KPK yang akan menjadi alat-alat kepentingan dan ya ke depan susah untuk mengharapkan pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan profesional, independen dan terpercaya ya," kata Zaenur.
Zaenur menambahkan, "Jadi yang dikhawatirkan bukan tidak ada lagi pemberantasan korupsi, pemberantasan korupsi tetap, masih ada gitu kan. Business as usual, tetapi tidak akan bisa ada hasil yang bisa mempercepat upaya pemberantasan korupsi. Itu gak ada menurut saya," kata Zaenur.
Ia juga khawatir pemberantasan korupsi akan semakin tumpul setelah rangkaian pelemahan KPK mulai dari revisi UU KPK, pemilihan komisioner bermasalah hingga pemecatan pegawai KPK.
"Kemungkinan Indonesia akan semakin korup karena lembaga pemberantasan korupsi utamanya tumpul dan yang kita khawatirkan, ya korupsi-korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi negara akan semakin banyak," kata Zaenur.
Reporter Tirto berusaha meminta respons dari Staf Khusus Menteri Sekretariat Negara Bidang Komunikasi dan Media Faldo Maldini dan Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari untuk menanggapi terkait masalah ini. Namun mereka belum merespons hingga artikel ini rilis,
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz