tirto.id - Eks Jaksa Pinangki Sirna Malasari kembali menjadi perhatian publik. Pemantiknya adalah putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta yang “menyunat” hukuman Pinangki dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun dengan denda Rp600 juta.
“Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp600.000.000 (enam ratus juta rupiah)" demikian bunyi putusan Nomor 10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI yang dikutip reporter Tirto, Selasa (15/6/2021).
Sebagai catatan, putusan tingkat pertama Pinangki adalah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang sehingga ia divonis 10 tahun penjara dan denda Rp600 juta subsider 6 bulan.
Dalam putusan tersebut, Pinangki wajib menjalani pidana kurungan 6 bulan bila tidak membayar denda. Kemudian, beberapa alat bukti yang dipergunakan dalam perkara Pinangki dirampas untuk negara yakni mobil BMW X5 beserta BPKB dan STNK.
Namun, vonis Pinangki tersebut dianulir hakim Pengadilan Tinggi Jakarta. Hakim berdalih mengurangi hukuman karena Pinangki selaku terdakwa sudah mengaku bersalah, menyesal, dan mengikhlaskan diri dipecat sebagai jaksa; terdakwa adalah ibu dari anak balita (bayi di bawah lima tahun) sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh anak dan memberi kasih sayang kepada anaknya.
Pertimbangan lain adalah Pinangki selaku terdakwa harus mendapat perhatian, perlindungan dan perlakuan secara adil; perbuatan Pinangki tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab sehingga kadar kesalahan mempengaruhi putusan ini; serta tuntutan jaksa sudah mencerminkan keadilan publik.
“Bahwa tuntutan pidana jaksa/penuntut umum selaku pemegang azas Dominus Litus yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat," demikian bunyi pertimbangan pada halaman 142.
Kuasa hukum Pinangki Aldres Napitupulu menganggap putusan dan pertimbangan majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta sudah tepat. Secara singkat, kepada reporter Tirto, Senin (14/6/2021), ia mengatakan, "Kami apresiasi putusan tersebut.”
Mempertanyakan Vonis Banding Pinangki
Meski demikian, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengritik putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, Pinangki layak dihukum lebih berat hingga 20 tahun penjara atau seumur hidup karena statusnya sebagai jaksa.
“Patut untuk diingat, saat melakukan kejahatan Pinangki menyandang status Jaksa yang notabene merupakan penegak hukum. Ini harusnya merupakan alasan utama pemberat hukuman," kata Kurnia kepada reporter Tirto.
Kurnia mengingatkan, Pinangki melakukan tiga kejahatan sekaligus, yakni suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat. Berdasarkan tiga tindakan tersebut maka "Putusan banding Pinangki telah merusak akal sehat public.”
Kurnia lantas mengritik lembaga kehakiman secara menyeluruh. Ia beralasan, lembaga kehakiman tidak berpihak pada pemberantasan korupsi. Hal tersebut mengacu kepada hasil pemantauan Tren Vonis Korupsi tahun 2020 dengan rata-rata 3 tahun 1 bulan penjara.
Berdasarkan catatan ICW [PDF], angka penuntutan rata-rata kepada 1.298 terdakwa korupsi sepanjang 2020 berada di angka 4 tahun 1 bulan. Angka ini lebih baik daripada 2019 yang hanya 3 tahun 7 bulan. Namun angka tuntutan di Indonesia masih ringan karena mayoritas dituntut ringan, yakni 736 terdakwa. Sementara itu, sisanya sekitar 512 orang dituntut sedang dan 36 dituntut berat.
Sedangkan terkait putusan, tren vonis masih dinilai rendah. Berdasarkan catatan ICW, putusan rata-rata untuk terdakwa korupsi adalah 3 tahun 1 bulan setelah merata-rata dari total 1.219 perkara korupsi yang disidangkan. Selain itu, mereka juga mencatat 10 dari total kasus divonis ringan.
“Dengan kondisi ini maka semestinya para koruptor layak untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mahkamah Agung," kata Kurnia.
Kurnia lantas menagih KPK untuk mensupervisi kasus Pinangki. Akan tetapi, ia ragu hal tersebut dilakukan karena pimpinan KPK masih sibuk dengan polemik tes wawasan kebangsaan.
Oleh karena itu, Kurnia mendorong agar jaksa mengajukan kasasi dalam perkara Pinangki. Sementara itu, MA harus memastikan penanganan kasasi berjalan transparan. Ia mendorong agar lembaga lain seperti Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawas MA menelusuri tentang putusan tersebut.
Respons Komisi Yudisial
Juru Bicara Komisi Yudisial Miko Ginting mengatakan, KY tidak bisa masuk dalam putusan hakim, tetapi KY bisa masuk jika berkaitan perilaku hakim.
“Dengan basis peraturan perundang-undangan saat ini, Komisi Yudisial tidak diberikan kewenangan untuk menilai benar atau tidaknya suatu putusan. Namun, KY berwenang apabila terdapat pelanggaran perilaku dari hakim, termasuk dalam memeriksa dan memutus suatu perkara," kata Miko kepada reporter Tirto, Selasa (15/6/2021).
Meski tidak bisa masuk dalam putusan, Miko menuturkan, undang-undang memberi wewenang bagi KY untuk menganalisa putusan berkekuatan hukum tetap dan rekomendasi hakim. Ia mengatakan, kegelisahan publik bisa dituangkan lewat eksaminasi putusan sehingga muncul analisa objektif terhadap kasus tersebut.
Akan tetapi, KY tidak bisa masuk dalam situasi tersebut karena terhalang undang-undang. “Keresahan publik terhadap putusan ini sebenarnya bisa dituangkan dalam bentuk eksaminasi publik oleh perguruan tinggi dan akademisi. Dari situ, dapat diperoleh analisis yang cukup objektif dan menyasar pada rekomendasi kebijakan," kata Miko.
“Sekali lagi, peraturan perundang-undangan memberikan batasan bagi KY untuk tidak menilai benar atau tidaknya suatu putusan. KY hanya berwenang apabila terdapat dugaan pelanggaran perilaku hakim," kata Miko.
Alasan Hakim soal Banding Pinangki Tak Masuk Akal
Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho ikut mengritik isi putusan banding Pinangki. Ia menilai alasan hakim tidak masuk akal dengan pertimbangan perempuan atau penyesalan.
“Itu saya kira alasan yang mengada-ada tidak berdasar pada jabatan dan perbuatan yang dilakukan," kata Hibnu kepada reporter Tirto.
Hibnu mengingatkan, perbuatan Pinangki sebagai makelar kasus telah mencoreng nama Kejaksaan Agung sebagai penegak hukum. Hukuman tinggi diberikan agar rekan sesama penegak hukum tidak melakukan aksi seperti Pinangki. Hal ini segaris dengan salah satu esensi pemidanaan yakni mencegah orang lain melakukan tindak pidana.
Oleh karena itu, Hibnu mengatakan, putusan tidak bisa dilihat dari tinggi-rendah pidana, tetapi juga harus melihat esensi pencegahan dan penjeraan. Posisi Pinangki sebagai penegak hukum saat melakukan tindak pidana perlu diberikan pemberatan. Ia tidak sepakat bila melihat putusan hanya berdasarkan sisi kewanitaan.
“Jadi jangan sampai suatu putusan itu tidak hanya main 4-5 (tahun) turun, ndak. Apakah dengan putusan itu bisa memberikan pejabat yang lain untuk tidak melakukan suatu tindak pidana seperti yang dilakukan Pinangki. Harusnya seperti itu spirit-nya, bukan karena masalah wanita," kata Hibnu.
Hibnu pun mendukung agar KY memantau hakim-hakim yang memutus perkara Pinangki. Meski tidak masuk dalam substansi putusan, KY bisa menilai apakah perilaku putusan yang dilakukan hakim sudah memenuhi asas keadilan atau tidak.
“Perilaku bukan hanya perilaku keseharian, tapi perilaku dalam emphasis-nya menjatuhkan putusan, jadi bukan putusannya karena perilaku luas, perilaku karena pekerjaan dan perilaku karena kesehariannya," kata Hibnu.
Hibnu menambahkan, “Saya kira KY harus berpegang pada perilaku di dalam pekerjaannya menjatuhkan putusan. Itu saya kira harus diperluas ke sana.”
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz