tirto.id - Setelah pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ditunda akibat demonstrasi penolakan besar-besaran pada 2019, pemerintah dan DPR kembali berusaha meloloskan RUU kontroversial ini. Seakan abai pada tuntutan publik, sejumlah pasal bermasalah tetap dipertahankan, termasuk menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden.
Ketentuan bermasalah itu terletak di Bab II Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden tepatnya Pasal 218 ayat 1 dan berbunyi: "Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Ancaman penjara tersebut meningkat menjadi empat (4) tahun enam (6) bulan jika penghinaan itu dilakukan melalui media elektronik.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan menghidupkan kembali ketentuan itu tidak akan mengakibatkan kriminalisasi terhadap kritik warga. Menurut dia, pasal itu diatur untuk melindungi presiden dan wakil presiden dari penghinaan yang sifatnya personal, bukan kritik.
Selain itu, kata Yasonna, pasal itu akan dijadikan delik aduan. Artinya presiden atau wakil presiden sendiri harus mengadu lebih dulu ke kepolisian sehingga pemidanaan soal penghinaan bisa dilakukan.
“Saya akan selalu mengatakan, kalau saya dikritik menkumham tak becus, that's fine with me. Tapi kalau sekali menyerang harkat martabat saya, misalnya saya dikatakan anak haram jadah, wah di kampung saya itu gak bisa," kata Yasonna mencontohkan dalam rapat dengan Komisi III DPR RI, Rabu (9/6/2021).
Politikus PDIP ini mengaku kerap melihat penghinaan-penghinaan terhadap Jokowi karenanya pasal itu diperlukan untuk menjaga keadaban publik. Negara-negara lain pun memiliki pasal serupa, di Jepang dan Thailand ada larangan menghina raja selalu kepala negara, kata dia.
Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Hibnu Nugroho menilai pemberlakuan pasal penghinaan presiden adalah kemunduran. Sebab Indonesia telah memilih sistem demokrasi sehingga kebebasan berpendapat dan berekspresi mestinya dilindungi.
Penggunaan delik aduan tidak mengobati bobroknya pasal ini, kata dia. Sebab, masih tidak ada batasan yang jelas soal frasa menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri. Selain itu, jika berkaca pada penerapan UU ITE, maka penegak hukum masih kerap salah menafsirkan pasal penghinaan atau pencemaran nama baik sehingga kerap berbuah kegaduhan di tengah masyarakat. Dengan kondisi itu, sangat besar kemungkinan kritik terhadap presiden pun turut kena sikat.
“Dalam UU ITE yang jelas pun pada akhirnya Kapolri membuat rambu-rambu. Itu yang kita khawatirkan," kata Hibnu kepada reporter Tirto pada Kamis (10/6/2021).
Hibnu pun menilai rumusan pasal tersebut ganjil, sebab "menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri" hanya bisa dilakukan terhadap personal, sementara presiden dan wakil presiden adalah institusi negara.
Menurut dia, jika memang dimaksudkan untuk melindungi martabat personal presiden dan wakil presiden, sebagaimana dikatakan Yasonna, maka menurut Hibnu pasal pencemaran nama baik yang ada di KUHP atau UU ITE saat ini sudah memadai.
Jika ditelisik ke belakang, pasal itu berasal dari KUHP Belanda, tepatnya Artikel 111 Nederlands Wetboek van Strafrecht (WvS Nederlands 1881) alias KUHP Belanda. Kandungannya mengatur tentang penghinaan yang disengaja untuk raja dan ratu Belanda dengan ancaman hukuman penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 300 gulden. Pasca Indonesia merdeka, pasal itu diadopsi mentah-mentah oleh Pasal 134 KUHP dan hanya menggantikan frasa raja dan ratu Belanda menjadi presiden dan wakil presiden.
Pada 2006, Pasal 134 KUHP tersebut diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya, MK secara tegas menyatakan Pasal 134 inkonstitusional dan mencabut pasal tersebut. MK pun menegaskan pasal serupa tidak boleh dimasukkan kembali dalam KUHP yang akan datang.
MK mengutip penjelasan ahli Mardjono Reksodiputro yang menyatakan WvS Belanda 1881 memiliki Pasal 261 tentang penghinaan dengan delik aduan, tetapi martabat raja tidak membenarkan raja menjadi pengadu. Di sisi lain, martabat raja/ratu sangat dekat dengan kepentingan negara karenanya butuh perlindungan khusus. Untuk itu dibuat pasal khusus yakni Pasal 111 WvS Belanda yang merupakan bukan delik aduan.
Indonesia merdeka tidak memiliki masalah itu, sehingga pasal penghinaan terhadap presiden tidak diperlukan.
Mahkamah Konstitusi menyatakan, presiden adalah hasil pilihan rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat. Karenanya, berbeda dengan raja, presiden dan wakilnya tidak diberikan privilege yang membuat martabatnya lebih tinggi daripada manusia lainnya.
“Presiden dan Wakil Presiden tidaklah boleh mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi," demikian tertulis dalam pertimbangan MK.
Pasal penghinaan terhadap presiden juga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena sangat rentan pada tafsir suatu perbuatan atau pernyataan merupakan kritik atau penghinaan. Pasal itu pun berpotensi menghambat hak menyampaikan pikiran dan pendapat kala digunakan aparat penegak hukum dalam unjuk rasa.
Pasal itu juga dapat menjadi ganjalan dalam kemungkinan memeriksa presiden dan wakil presiden atas pelanggaran hukum.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga mengatakan hukum pidana tidak boleh digunakan untuk melindungi hal-hal yang sifatnya subjektif dan abstrak. Salah satunya lembaga negara seperti kepresidenan. Laporan Khusus PBB tentang promosi dan perlindungan hak kebebasan untuk beropini dan berekspresi pun menyatakan hukum internasional tentang HAM melindungi individu dan kelompok orang bukan suatu hal yang abstrak atau institusi yang berhak untuk diberikan kritik dan komentar.
Menurut Sustira, kebijakan presiden akan bersinggungan erat dengan hajat hidup orang banyak sehingga selalu terbuka ruang untuk kritik dan komentar.
“Dalam hal ini presiden di negara kita ini kepala pemerintahan dan kepala negara sehingga tidak tepat memasukkan pasal ini yang sejarahnya itu untuk melindungi raja dalam sistem monarki," kata Sustira kepada reporter Tirto pada Kamis (10/6/2021).
Di negara asalnya, Belanda, pasal itu hanya mengatur pasal penghinaan terhadap kepala negara yakni raja, sementara perdana menteri selaku kepala pemerintahan tidak mendapat perlindungan itu. Jerman pun menghapus pasal larangan penghinaan terhadap kepala negara sahabat karena dianggap kuno dan tidak diperlukan.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz