Menuju konten utama

Isi RUU KUHP dan Pasal Kontroversial Penyebab Demo Mahasiswa Meluas

Pengesahan RUU KUHP yang isinya memuat sejumlah pasal kontroversial ditolak ribuan mahasiswa yang menggelar demo di Gedung DPR, Jakarta dan banyak kota lainnya.

Isi RUU KUHP dan Pasal Kontroversial Penyebab Demo Mahasiswa Meluas
Ribuan mahasiswa bentrok saat melakukan aksi unjuk rasa menolak pengesahan RUU KUHP dan berbagai RUU yang dinilai kontroversial dan melemahkan demokrasi dan pemberantasan korupsi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (24/9/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Demo mahasiswa berlanjut di Jakarta dengan melibatkan ribuan massa pada Selasa (24/9/2019). Demo serupa meluas di Semarang, Palembang, Makassar, Solo, Medan dan sejumlah kota lainnya. Di ibu kota, ribuan mahasiswa mengepung Gedung DPR. Sementara di banyak kota lain, gedung DPRD digeruduk demonstran.

Selain menolak beberapa rancangan beleid, dua isu yang menjadi sorotan utama demo mahasiswa di semua kota ialah RUU KUHP dan UU KPK yang baru (hasil revisi).

Revisi UU KPK telah disahkan DPR. Sedangkan RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan semula akan disahkan pada Selasa. Namun, DPR RI memutuskan menunda pengesahan dua RUU itu setelah ada usulan dari Presiden Joko Widodo.

Pada Senin kemarin, Jokowi meminta DPR RI menunda pengesahan RUU KUHP, RUU PAS, RUU Minerba dan RUU Pertanahan. Namun, Jokowi mengaku belum berencana menerbitkan Perppu KPK (pengganti UU KPK yang baru), walaupun hal itu menjadi tuntutan mahasiswa di banyak kota.

Ribuan mahasiswa terpantau sempat bertahan di depan Gedung DPR serta menuntut pimpinan dewan menemui mereka pada Selasa sore. Namun, kericuhan kemudian mulai terjadi saat polisi menyemprotkan water cannon dan menembakkan gas sir mata. Bentrok massa vs polisi pun pecah dan berlangsung sampai Selasa malam.

Pasal Kontroversial RUU KUHP dan Masalahnya

Pemerintah dan DPR merampungkan pembahasan RUU KUHP, 15 September lalu. Pembahasan akhir dikebut pada 14-15 September 2019 di Hotel Fairmont, Jakarta. Aliansi Nasional Reformasi KUHP (koalisi 40 LSM) menilai pembahasan itu 'diam-diam' dan menghasilkan draf yang memuat sejumlah masalah.

Politikus PPP dan anggota Panja RKUHP Arsul Sani sudah membantah rapat itu digelar secara diam-diam. Sebaliknya, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menyatakan: "RUU KUHP dibahas tanpa legitimasi dan transparansi yang kuat. Pengesahannya harus ditunda." Hal itu ia katakan pada 16 September 2019.

Lalu apa isi pasal-pasal kontroversial di RUU KUHP yang dinilai bermasalah dan memantik demo ribuan mahasiswa di berbagai kota? Berikut ini daftar sejumlah pasal kontroversial itu. Rincian pasal-pasal ini sesuai isi RUU KUHP versi siap disahkan yang diunggah situs reformasikuhp.org.

1. Pasal RUU KUHP soal Korupsi

Sejumlah pasal di RUU KUHP memuat hukuman bagi pelaku korupsi yang lebih rendah daripada UU Tipikor. Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai hal ini bisa memicu praktik 'jual-beli' pasal.

Misalnya, pasal 603 RUU KUHP mengatur pelaku korupsi dihukum seumur hidup atau paling sedikit 2 tahun penjara dan maksimal 20 tahun. Pasal 604 RUU KUHP mengatur hukuman sama persis bagi pelaku penyalahgunaan wewenang untuk korupsi. Lalu, pasal 605 mengatur hukuman ke pemberi suap minimal 1 tahun bui dan maksimal 5 tahun. Pasal 605 pun mengancam PNS dan penyelenggara negara penerima suap dengan penjara minimal 1 tahun, serta maksimal 6 tahun.

Sedangkan pasal 2 UU Tipikor, mengatur hukuman bagi pelaku korupsi ialah pidana seumur hidup atau penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. UU Tipikor pasal 5 memang memuat aturan hukuman bagi pemberi suap mirip dengan pasal 605 RUU KUHP. Akan tetapi, pasal 6 UU Tipikor mengatur hukuman lebih berat bagi penyuap hakim, yakni 3-15 tahun bui. Bahkan, Pasal 12 UU Tipikor huruf (a) mengatur hukuman bagi pejabat negara atau hakim penerima suap: pidana seumur hidup atau penjara 4-20 tahun.

Tidak heran, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Zaenur Rohman menilai RUU KUHP merupakan salah satu rancangan beleid yang, “memanjakan para koruptor".

2. Pasal RUU KUHP tentang Penghinaan Presiden

Pasal kontroversial RUU KUHP yang lain terkait penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Pasal 218 mengancam pelaku dengan penjara maksimal 3,5 tahun. Di pasal 219, pelaku penyiaran hinaan itu diancam 4,5 tahun bui. Di pasal 220 RUU KUHP, dijelaskan bahwa perbuatan ini menjadi delik apabila diadukan oleh presiden atau wakil presiden.

Selain itu, pasal 353-354 mengatur hukuman bagi pelaku penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Pelakunya terancam 1,5 tahun bui. Bila penghinaan itu memicu kerusuhan, pelakunya bisa dihukum 3 tahun penjara. Dan jika hal itu disiarkan, pelaku terancam 2 tahun bui.

Ketentuan ini ada di KUHP lama dan dinilai merupakan warisan kolonial. Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum UI, Dio Ashar Wicaksana menilai, pasal ini bisa bersifat 'karet' dan menjadi alat mengkriminalisasi warga. "Potensi kriminalisasi justru ketika ada kritik kepada kebijakan presiden […]," ujar Dio pada 19 September lalu.

Kata Dio, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 sebenarnya sudah membatalkan pasal-pasal penghinaan terhadap presiden karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum dan demokrasi.

3. Pasal RUU KUHP tentang Makar

RUU KUHP mengatur pidana makar melalui pasal 167, 191, 192 dan 193. Pelaku makar terhadap presiden dan NKRI diancam hukuman mati, seumur hidup atau bui 20 tahun. Makar terhadap pemerintah yang sah, juga diancam penjara 12 dan 15 tahun. Pasal 167 menyebut: “Makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.”

Menurut analisis Aliansi Reformasi KUHP, definisi makar di dalam RUU KUHP itu tak sesuai dengan akar katanya pada bahasa Belanda, yakni 'aanslag' yang berarti penyerangan. Masalah definisi ini dinilai berpotensi membikin pasal makar bersifat karet dan memberangus kebebasan berekspresi masyarakat sipil.

4. Pasal RUU KUHP soal Penghinaan Bendera

RUU KUHP juga mengatur pemidanaan terkait penghinaan bendera negara. Ketentuan ini diatur pasal 234 dan 235. Di pasal 235, diatur pidana denda maksimal Rp10 juta bagi mereka yang: (a) memakai bendera negara untuk reklame/iklan komersial; (b) mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam; (c) mencetak, menyulam dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain, atau memasang lencana atau benda apa pun pada bendera negara; dan (d) memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, tutup barang, yang menurunkan kehormatannya.

Aliansi menilai pasal 235 memuat ancaman kriminalisasi perbuatan formil (tanpa memandang niat yang harusnya berupa penodaan bendera). Ancaman penjara di pasal 234 pun dinilai terlalu tinggi (5 tahun).

5. Pasal RUU KUHP terkait Alat Kontrasepsi

Pasal kontroversial lainnya di RUU KUHP ialah soal pemidanaan promosi kontrasepsi. Pasal 414 mengatur: orang yang mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, menunjukkan untuk bisa memperoleh alat pencegah kehamilan [kontrasepsi] kepada Anak dipidana denda maksimal Rp1 juta (kategori I)."

Aliansi menganggap pasal 414 menghambat penyebaran info soal alat kontrasepsi dan kesehatan reproduksi. Pasal ini pun bertentangan dengan program KB pemerintah. Apalagi, pasal ini bisa menjerat pengusaha retail yang memajang alat kontrasepsi di toko. Jurnalis yang menulis konten soal alat kontrasepsi pun bisa terkena pidana. Sekalipun pasal 416 mengecualikan 'pejabat berwenang' dan aktivitas pendidikan, pidana ini dinilai tidak sesuai era keterbukaan informasi.

Di sisi lain, di Indonesia terdapat 6 peraturan tentang penanggulangan HIV/AIDS yang memuat aturan “kampanye penggunaan kondom” yang isinya mengizinkan penyebaran luas info soal alat kontrasepsi. Jaksa Agung (tahun 1978) dan BPHN (1995) juga telah mendekriminalisasi perbuatan ini mengingat kondom menjadi salah satu alat efektif untuk mencegah penyebaran HIV.

6. Pasal RUU KUHP soal Aborsi

Pemidanaan terkait aborsi diatur pasal 251, 415, 469 dan 470. Misalnya, pasal 469 mengatur hukuman bagi perempuan yang menggugurkan kandungannya, maksimal 4 tahun bui. Orang yang menggugurkan kandungan perempuan dengan persetujuannya juga bisa dibui maksimal 5 tahun, sesuai isi pasal 470 RUU KUHP.

Pasal ini dinilai berpotensi mengkriminalisasi korban perkosaan yang hamil dan memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. “Kondisi mental korban perkosaan seharusnya menjadi perhatian bagi negara untuk memberikan perlindungan hukum seadil-adilnya, bukan malah melakukan kriminalisasi,” tulis Aliansi Reformasi KUHP dalam siaran persnya, 12 September lalu.

Isi pasal-pasal itu pun tidak sesuai dengan UU Kesehatan pasal 75 ayat 2 yang mengecualikan tindakan aborsi jika dalam keadaan darurat medis atau mengalami kehamilan sebab perkosaan. Pasal ini juga dinilai mengabaikan fakta tingginya angka kematian ibu akibat aborsi tidak aman.

7. Pasal RUU KUHP soal Gelandangan

RUU KUHP juga mengatur pemidanaan gelandangan. Pasal 431 mengancam gelandangan dengan denda maksimal Rp1 juta. Direktur Program ICJR Erasmus Napitupulu mendesak penghapusan pasal ini sebab ia warisan kolonial yang menilai gelandangan sebagai: Orang tidak berguna akibat kesalahan dalam hidupnya. Adapun Peneliti hukum Mappi FH UI Andreas Marbun menilai pasal ini bukan solusi atas masalah gelandangan, sekaligus aneh. "Lagipula gelandangan, kan, miskin, mana sanggup mereka bayar denda. Kalau enggak mampu, terus gimana?" Kata Andreas.

8. Pasal RUU KUHP tentang Zina dan Kohabitasi

Pasal 417 dan 419 mengatur pidana perzinaan dan kohabitasi (hidup bersama sebagai suami-istri di luar ikatan perkawinan). Pasal 417 mengatur hukuman bagi mereka yang berzina maksimal bui 1 tahun atau denda Rp10 juta. Pidana ini diatur sebagai delik aduan dari suami, istri, orang tua dan anak. Sementara pasal 418 mengancam pelaku kohabitasi dengan penjara 6 bulan dan denda Rp10 juta. Pidana ini delik aduan. Kepala desa termasuk yang bisa mengadukan tindak kohabitasi ke polisi.

Kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi (yang dilakukan orang dewasa secara konsensual dan tanpa paksaan) dinilai mengancam privasi warga. ICJR pun khawatir delik aduan terkait kohabitasi yang memasukkan kepala desa sebagai pihak pelapor bisa memicu kesewenang-wenangan dan praktik kriminalisasi berlebihan. Dua pasal itu juga dianggap mengabaikan fakta jutaan masyarakat adat dan warga miskin yang masih kesulitan mengakses dokumen perkawinan resmi.

9. Pasal RUU KUHP soal Pencabulan

Pasal 420 menjadi bermasalah karena mengatur pemidanaan pencabulan dengan memberikan tekanan kata: "terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya." ICJR menilai penyebutan kata “sama jenis” tidak perlu. Menurut ICJR, penyebutan spesifik “sama jenis kelaminnya” malah menjadi bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual. Pasal ini dikhawatirkan membuat kelompok orientasi seksual yang berbeda rentan dikriminalisasi dan semakin distigma negatif. Apalagi, kekerasan ke komunitas LGBT selama ini sudah sering terjadi.

Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam juga mengkritik ketentuan pencabulan yang dipidana jika dilakukan di muka umum (pasal 420 huruf a). "Bagaimana kalau orang tidak berdaya ini dicabuli bukan di muka umum? Kalau ini terjadi, maka tidak akan dilakukan pemidanaan karena tidak dilakukan di muka umum,” kata Anam.

10. Pasal Pembiaran Unggas dan Hewan Ternak

Pasal 278 RUU KUHP secara khusus mengatur: orang yang membiarkan unggas miliknya berjalan di kebun atau tanah telah ditaburi benih/tanaman milik orang lain terancam denda sampai Rp10 juta. Lalu, pasal 279 juga mengancam setiap orang yang membiarkan hewan ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami, dengan pidana denda maksimal Rp10 juta (kategori II). Bahkan pasal 279 ayat 2 menyatakan, hewan ternak yang dilibatkan dalam pelanggaran ini dapat dirampas negara.

Aliansi mencatat pasal ini dikutip dari KUHP lama tanpa evaluasi terkait relevansinya. Pidana ini dinilai lebih tepat menjadi pelanggaran administratif yang diatur Perda, jika memang dibutuhkan.

11. Pasal RKUHP tentang Tindak Pidana Narkoba

Pasal 611- 616 RUU KUHP terkait narkotika, juga dikritik sebab membuat pendekatan pidana semakin diutamakan di penanganan masalah narkoba. Aliansi menilai pasal-pasal itu menguatkan stigma narkotika sebagai masalah pidana saja. Padahal, banyak negara di dunia memproklamirkan pembaruan kebijakan narkotika dengan pendekatan kesehatan warga. Di samping itu, pendekatan pidana yang berfokus pada pemberantasan suplai narkoba dianggap tidak efektif.

RKUHP pun dinilai oleh Aliansi masih memuat ketentuan pasal karet yang diadopsi langsung dari UU 35/2009 tentang narkotika tanpa perbaikan yang lebih memadai.

12. Pasal tentang Contempt of Court

Pasal di RUU KUHP tentang penghinaan terhadap badan peradilan atau contempt of court juga dikritik. pasal 281 huruf b mengatur pidana denda Rp10 juta bagi mereka yang: “Bersikap tak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan.” Menurut catatan Aliansi, unsur “bersikap tidak homat” di Pasal 281 huruf b tidak dijabarkan secara terang pada bagian penjelasan. Selain itu, menuduh hakim bersikap memihak atau tidak jujur, mestinya sah sebagai kritik.

13. Pasal Tindak Pidana terhadap Agama

Ketentuan terkait tindak pidana terhadap agama diatur pasal 304-309. Di antara kritik Aliansi ke pasal-pasal itu: (a) isinya jauh dari standar pasal 20 ICCPR soal konteks pelarangan propaganda kebencian; (b) hanya melindungi agama yang “dianut” di Indonesia; (c) serta belum memuat unsur penting, yakni perbuatan “dengan sengaja” terkait tindak pidana terhadap agama.

14. Pasal terkait Pelanggaran HAM Berat (pasal 598-599)

Aliansi mencatat pengecualian asas retroaktif (tak berlaku surut) untuk pelanggaran HAM berat belum diatur buku 1 RKUHP. Padahal, ini diatur UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Komnas HAM pun menyoroti hukuman bagi pelaku genosida di RUU KUHP yang malah lebih rendah dari ketentuan UU 26/2000. RUU KUHP mengatur hukuman 5-20 tahun bui. Adapun UU 26/2000 menetapkan hukuman 10-25 tahun penjara.

Baca juga artikel terkait RUU KUHP atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Hukum
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Agung DH