tirto.id - Salah satu masalah dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) adalah kentalnya nuansa kriminalisasi. Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform Maidina Rahmawati menyebut salah satu contohnya adalah pemidanaan kegiatan promosi atau mempertunjukkan tanpa diminta alat pencegahan kehamilan/kontrasepsi (PDF).
Aturan ini tertera dalam Pasal 414 RKUHP yang berbunyi: “setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I (maksimal Rp1 juta).”
"Ini jelas kriminalisasi," tegas Maidina.
Selain itu, aturan ini juga kontradiktif dengan upaya penanggulangan HIV, kata Maidina, meski misalnya ada yang dikecualikan dari aturan tersebut.
Pasal 416 RKUHP menyebutkan, pidana tersebut dikecualikan bagi: petugas yang berwenang, mereka yang melakukannya untuk kepentingan ilmu pengetahuan/pendidikan, dan relawan yang kompeten yang ditugaskan pejabat yang berwenang.
"Tidak jarang, dalam kondisi seperti pada pekerja seks, mempertunjukkan alat pencegah kehamilan adalah hal yang mutlak dilakukan. Dalam kondisi LSL (lelaki seks dengan lelaki), memiliki atau membawa kondom adalah hal yang mutlak dilakukan," terang Maidina.
Pihak-pihak lain yang terancam kena kriminalisasi juga termasuk masyarakat sipil, swasta, LSM,bahkan tokoh masyarakat dan tokoh agama karena mereka tidak termasuk dalam Pasal 416 RKUHP.
Dengan demikian, pada akhirnya RKUHP potensial menurunkan tingkat kesehatan masyarakat.
"Masyarakat berpotensi untuk dipaksa dan diinterogasi terkait dengan kepemilikan alat pencegah kehamilan. Secara konkret hal ini akan mengancam kesehatan masyarakat dan stigma akan terus berlangsung," tambahnya.
Direktur Joint United Nations Programme on HIV and AIDS atau UNAIDS untuk Indonesia, Tina Boonto, menegaskan betapa pentingnya kampanye soal penggunaan alat pencegah kehamilan untuk mencegah penyebaran HIV.
Menurut data institusinya, per Maret 2019, ada 630 ribu orang Indonesia terinfeksi HIV. 52 persen pengidap baru HIV adalah anak muda berusia 15 sampai 24 tahun.
Masalahnya adalah, masyarakat Indonesia tabu membicarakan hal-hal terkait seks, padahal itu tidak lain adalah pendidikan kesehatan. Dan pembatasan dalam RKUHP semakin mempersulit upaya ini.
"Pengetahuan bisa membantu masyarakat mengontrol dirinya sendiri untuk tidak terkena HIV. Mereka bisa mengetahui perlunya penggunaan kondom, bukan hanya untuk melindungi dari kehamilan yang tidak diinginkan, tetapi juga dari HIV dan penyakit kelamin," katanya reporter Tirto pada Rabu (17/9/2019).
"Tanpa aturan tersebut [menjalankan program pencegahan] sudah sangat sulit karena tingkah dan hambatan dari masyarakat. Aturan tersebut justru (RUU KUHP) bisa memperburuk program pencegahan," tegas Tina.
Stigma
Ketua Yayasan Insan Aceh Mandiri, Yunidar, mengatakan terlepas dari ribut-ribut soal kampanye alat pencegah kehamilan dalam RKUHP, pada dasarnya ada segudang masalah dalam pemberantasan HIV di Indonesia. Salah satu yang paling jelas adalah stigma terhadap pengidap HIV.
Saat ini, ada kecenderungan pengidap HIV itu malu berkonsultasi dengan petugas medis.
"Stigma itu sendiri tercipta karena memang dari mindset masyarakat yang belum bisa mengubah pikiran mereka: bahwa sebenarnya ada jenis penyakit lain lebih berbahaya ketimbang ini," ujar Yuni kepada reporter Tirto.
Bahkan, kata Yuni, stigma itu tak hanya melekat pada masyarakat umum, tapi juga dari petugas medis.
"Kadang mereka (petugas medis) tahu bahwa pasien itu ODHA (Orang dengan HIV dan AIDS). Langsung gesture-nya, atau sikapnya, berubah. Gerak tubuh mereka jadi berubah. Langsung pakai masker, langsung pakai sarung tangan," kata Yuni.
Masalah lain, kadang petugas medis tidak bisa merahasiakan status penyakit seseorang. Pada akhirnya ini akan "berimbas kepada keluarganya."
Ia memberikan contoh lewat kasus yang pernah ia tangani di Aceh. Kala itu, Yuni membantu seorang anak yang dikeluarkan dari sekolah karena orangtuanya pengidap HIV.
"Yang namanya petugas medis itu tidak semua mampu menjaga rahasia sakit orang," tandasnya.
Masalah-masalah seperti ini tidak akan selesai sepanjang Pasal 414 RKUHP tidak dihapus atau minimal diubah, meski Presiden Joko Widodo Jumat (20/9/2019) lalu memastikan menunda pembahasannya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika