tirto.id - Pengemis dan gelandangan adalah orang yang tidak tentu tempat tinggal dan pekerjaannya. Di Indonesia, kegiatan itu dilarang. Pelakunya bisa dijerat hukum pidana yang diatur dalam KUHP. Maka dari itu, kebanyakan dari mereka, kucing-kucingan dengan aparat negara.
Tercantum dalam Pasal 505 KUHP, gelandangan diancam hukuman kurungan penjara tiga bulan. Namun apabila tindak pidana itu dilakukan secara berkelompok dengan melibatkan orang berusia di atas 16 tahun, hukumannya bertambah, menjadi enam bulan penjara.
Dalam proses revisi, DPR RI dan pemerintah mempertahankan aturan warisan Belanda itu. Hanya saja kurungan penjara diganti dengan denda maksimal Rp1 juta. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 432 RKUHP.
Jika didenda? Bagaimana pengemis dan gelandangan bisa menebusnya? Apa harus mengemis atau menggelandang lebih giat lagi?
Maka dari itu, Peneliti hukum dari Mappi FH UI Andreas Marbun berpendapat, jerat pidana tidak akan mengurangi masalah.
"Lagipula gelandangan, kan, miskin, mana sanggup mereka bayar denda. Kalau enggak mampu, terus gimana?? Masalah juga, kan, jadinya," jelas Andreas kepada reporter Tirto.
Negara Dianggap Lepas Tangan
Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai pasal tersebut seharusnya dihapus. Sebab merupakan aturan warisan kolonial Belanda yang memandang kaum gelandangan sebagai: Orang yang tak berguna akibat kesahalan dalam hidupnya.
"Menurutku enggak penting lagi di KUHP," ujar Erasmus kepada reporter Tirto, Selasa (3/9/2019).
Jika draf RKUHP ini disahkan, memidanakan gelandangan bukan hal yang sulit lagi bagi negara. Tentu saja hal ini bertolak belakang dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa: Fakir miskin dan anak-anak terlantar, dipelihara oleh negara. Bukan malah dikenakan denda.
Negara, kata Erasmus, bisa dianggap lepas tanggung jawab. "Kalau dipidana, ya, iya [negara lepas tanggung jawab]," tuturnya.
Menurut Erasmus, negara tak perlu repot-repot mengatur persoalan gelandangan ini ke dalam KUHP. Persoalan ini cukup diatur dalam peraturan daerah (Perda) sebagai aturan administrasi. Namun tetap tak boleh ada pemidanaan bagi gelandangan ataupun masyarakat yang memberikan uang.
Memang sudah banyak daerah di Indonesia yang menerbitkan perda soal itu. Tujuannya memberikan efek jera kepada gelandangan, atas dalih mengganggu ketertiban umum.
Misalnya Perda 9/2013 Kota Malang, Perda 5/2012 Kota Tangerang, hingga Perda Daerah Istimewa Yogyakarta 1/2014. Penerapannya melalui penyuluhan dan upaya represif berupa razia. Namun tak ada yang mengatur mengenai sanksi denda.
Akan tetapi dalam Pasal 6 Perda Kota Bengkulu 7/2017, orang yang memberikan uang kepada gelandangan atau pengemis dipidana denda Rp100 ribu.
Sedangkan di Surabaya dan Jakarta terdapat jerat pidana kurungan penjara bagi pengemis. Pasal 40 huruf a Perda DKI Jakarta 8/2007 mengancam gelandangan dengan pidana kurungan maksimal 90 hari atau denda maksimal Rp30 juta.
Di Surabaya, Wali Kota Tri Rismaharini tegas mengatakan, Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), termasuk pengemis, tidak boleh beroperasi di jalanan Kota Pahlawan. Dasarnya adalah Perda 2/2014 Tentang Ketenteraman dan Ketertiban Umum.
Andreas Marbun mengatakan, sepanjang masih ada ketimpangan kesejahteraan dan ketidakadilan, pengemis ataupun gelandangan tetap akan terus ada.
"Singkatnya, jangan pernah kita berpikir bahwa kalau kita pidana suatu perbuatan [dalam hal ini penggelandangan], maka perbuatan tersebut tidak akan ada lagi, omong kosong itu," ucap Andreas.
Daripada memikirkan masalah pemidanaan, kata Andreas, lebih baik pemerintah fokus memberdayakan masyarakat. Khususnya kepada mereka yang dianggap sebagai gelandangan.
Hal serupa diutarakan peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar. Menurutnya, pemerintah harusnya justru bertindak aktif mencari solusi. Agar tak ada lagi masyarakat yang memilih jalan hidup sebagai gelandangan, bukan malah memidanakannya. Menurut Rivanlee pasal ini sangat diskriminatif mengingat gelandangan juga berjuang untuk bisa hidup sehari-hari.
"Hidup menggelandang bukan hanya merupakan sebuah keadaan yang disebabkan oleh keterbatasan ekonomi, tetapi juga merupakan sebuah pilihan hidup. Perlu akal sehat dan jiwa yang matang dalam menangani permasalahan gembel di kota," ucap Rivanlee.
Mengubah dari pidana penjara ke pidana denda, kata Rivanlee, menunjukkan sikap yang tidak menyentuh ke akar permasalahan mengapa seseorang menjadi gelandangan. "Pidana denda terhadap gelandangan tidak akan menjawab persoalan tersebut," ungkapnya.
Mengacu ke Gelandangan yang Kaya Raya?
Anggota Panitia Kerja RKUHP Arsul Sani membantah pasal itu membuat negara lepas tangan. Arsul berdalih pasal ini justru memperkuat tekanan kepada pemerintah untuk memelihara fakir miskin seperti yang diamanatkan konstitusi.
"Artinya kalau pasal itu banyak diterapkan berarti pemerintah justru gagal memelihara fakir miskin. Jadi ya pasal itu harus ada," ucap anggota Komisi III DPR RI itu kepada reporter Tirto, Selasa (3/9/2019).
Menurut Arsul pasal itu juga mendorong masyarakat tak begitu gampang memilih jalan hidup sebagai gelandangan. Jangan sampai malah menjadikannya sebagai profesi.
"Karena yang menggelandang itu tak sepenuhnya kadang-kadang miskin. Ada, loh, pengemis yang justru di kampungnya kaya raya, karena mengemis dengan cara menggelandang dianggap cara lebih mudah. Jadi harus dilihat konteks itu juga, ya," jelasnya.
Andreas pun mengakui kasus-kasus yang dikeluhkan Arsul itu. Namun, ia tak sepakat bila negara menyamaratakan gelandangan ternyata memiliki uang yang banyak dari hasil kerjanya itu.
"Cuma gimana solusi kepada mereka yang benar-benar dalam keadaan gembel? Jangan digeneralisir semua orang yang menggelandang itu kaya raya, dong," tegas Andreas.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana