tirto.id - Hewan berkeliaran di atas lahan orang, menjadi pemandangan yang lumrah, terutama di kawasan pedesaan. Tidak sedikit orang membiarkan hewan ternaknya mencari makan sendiri termasuk di atas lahan atau kebun milik orang lain.
Tetapi aturan hukum pidana melarang pembiaran semacam itu terjadi. Apalagi jika ternyata menimbulkan kerugian bagi pemilik lahan. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 548-549 KUHP. Selanjutnya masih dipertahankan dalam Pasal 278-279 draf Rancangan KUHP.
"Setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II," bunyi Pasal 278 KUHP.
Kedangkan Pasal 279 tercantum: Setiap orang yang membiarkan ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih atau penanaman, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II.
Tak jauh berbeda sebenarnya pasal ini dengan KUHP yang versi lama. Bedanya pidana penjara dalam RKHUP dihilangkan dan hanya dijerat dengan pidana denda kategori II yakni paling banyak Rp10 juta.
Anggota Panja RKUHP di DPR Nasir Djamil mengatakan, pasal ini memang sengaja tak dihilangkan namun diubah dengan pidana denda. Menurut Nasir pasal ini berangkat dari banyaknya masalah terutama di pedesaan yakni hewan-hewan ternak yang berkeliaran bebas dan tiba-tiba masuk ke lahan milik seseorang.
"Ya semangatnya kan kita harus menjaga hak dan kewajiban, sekarang memang harus ditertibkan agar tak mengganggu orang lain," jelas Nasir kepada reporter Tirto, Jumat (30/8/2019).
Hewan ternak atau unggas memang tak bisa membaca tulisan 'dilarang masuk', tapi melalui aturan ini, diharapkan ada rasa tanggung jawab dari pemilik ternak ketika peliharaannya memasuki area lahan milik orang lain. Apalagi berpotensi merusak lahan tersebut.
Tujuan utama pasal tersebut adalah melindungi benih dan tanaman. Bagi petani, benih dan tanaman sangat penting artinya. Nasir melihat butuh waktu dan tenaga bagi petani untuk mendapatkan benih yang baik atau tanaman yang menghasilkan. Jika ada gangguan yang membuat benih atau tanaman mati, kerugian petani bisa besar.
"Biasanya kalau kayak gitu pemiliknya enggak mengaku, makanya aturan itu dibuat untuk mengatur ketertiban," jelas politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.
Nasir berharap dalam implementasinya tak langsung ada tuntutan untuk di bawa ke ranah hukum, tetapi bisa melalui mediasi antara dua belah pihak terlebih dulu sehingga upaya damai bisa didahulukan.
"Hukuman ini kan upaya akhir, tetap sebisa mungkin ada mediasi kedua belah pihak," ucap Nasir.
Over Kriminalisasi?
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Eramus Napitupulu melihat tak ada kebaruan dari pasal ini. Ia pun menyebut pasal ini hanyalah duplikasi karena cuma mengganti pasal kurungan dengan pasal denda saja.
"Jadi ini KUHP lama ditambah pidana baru saja. Ini tidak dekolonialisasi [Mengubah KUHP bentukan Belanda]," ucap Erasmus kepada reporter Tirto, Jumat (30/8/2019).
Selain itu, Erasmus melihat tak ada yang berbeda dari pasal 278 dan pasal 279 dari segi substansi. Perbedaan hanya ada di kata unggas dan ternaknya saja. Sehingga ia menyarankan agar pasal tersebut digabung.
Pasal seperti ini menurut Erasmus sebetulnya lebih cocok menjadi hukum perdata bukan hukum pidana. Sebab menyangkut kerugian materil dari kebun yang telah rusak akibat dimasuki ternak atau unggas orang lain.
"Urgensinya ada ya tapi kalau menurut saya seperti ini perdata saja tidak usah pidana," jelas Erasmus.
Beda dengan ICJR, Manajer Kajian Kebijakan Walhi Boy Even Sembiring, melihat perlunya rasa tanggung jawab yang dimiliki pemilik ternak atau unggas agar hewan peliharaannya tak memasuki kebun milik orang lain tanpa izin.
Pidana denda Rp 10 juta yang diatur dalam pasal tersebut juga menurut Boy sudah tepat. Namun, memang perlu adanya penjelasan detil terkait apa saja bentuk-bentuk kerugian yang bisa dituntut oleh pemilik kebun akibat kebunnya dimasuki hewan milik orang lain.
"Menurut kami sebaiknya juga dirumuskan secara materil, yang dilarang apabila perbuatan pembiaran mengakibatkan kerusakan. [Bila tidak ada] dikhawatirkan mengakibatkan over criminalization," jelas Boy.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Hendra Friana