tirto.id - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Eramus Napitupulu menilai janggal draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) pasal 278. Sebab, draf ini masih mengacu UU lama.
Pasal 278 KUHP berbunyi, "Setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II."
"Aneh saja, karena KUHP kita ini masih pakai KUHP lama. Tidak ada pembaharuan, karena ini pasal copy paste dari KUHP lama," ujar dia kepada Tirto, Jumat (30/8/2019).
"Jadi ini KUHP lama ditambah pidana baru saja. Ini tidak dekolonialisasi [menghapus UU warisan kolonial Belanda]," kata dia.
Eramus mendesak pemerintah untuk mengkaji dan meneliti terlebih dahulu pasal mana saja yang perlu dipertahankan dan direvisi dalam RKUHP.
"Harusnya pemerintah meneliti apakah masih penting atau tidak," kata dia.
Menurut dia, pasal tersebut penting asal di Indonesia mayoritas masih ada perkebunan seperti saat masa penjajahan Belanda. Namun, kata dia, saat ini beberapa wilayah di Indonesia sudah tidak memiliki banyak perkebunan, terutama di kawasan perkotaan.
"Pasal ini tidak terpakai di Jakarta," ungkap dia.
Ia juga menambahkan, Pasal 278 hampir sama saja dengan pasal 279 KUHP. Sebab hanya perbedaan pada diksi 'unggas' dan 'ternak' saja.
Dalam Pasal 279 ayat 1 berbunyi, "Setiap orang yang membiarkan ternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang Iain dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II."
Ia menyarankan agar pasal tersebut digabung atau dibuat hukum perdata saja, bukan pidana. Ia juga bilang, kedua pasal itu bisa juga dimasukan ke peraturan daerah bukan KUHAP.
"Kalau menurut saya urgensinya ada ya, tapi kalau menurut saya seperti ini perdata saja tidak usah pidana," ujar dia.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Zakki Amali