tirto.id - Berhati-hatilah bagi Anda yang memaksa pasangan sah Anda mengajak berhubungan badan. Apalagi pemaksaan ini berujung pada tindakan perkosaan yang merugikan salah satunya.
Merujuk pada Pasal 480 ayat (1) dan ayat (2) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) per 28 Agustus 2019 yang segera disahkan DPR RI, pelaku perkosaan terhadap pasangan yang sah bisa terkena hukuman pidana kurungan paling lama 12 tahun penjara.
"Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun," demikian bunyi Pasal 480 ayat (1).
Sementara Pasal 480 ayat (2) berbunyi "Termasuk Tindak Pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan: a. persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah."
Jika dibandingkan dengan KUHP yang dipakai saat ini, maka telah terjadi pergeseran definisi soal perkosaan. Sebab, “perkosaan” dalam RKUHP ini bisa dilakukan oleh pasangan yang sah. Sementara dalam KUHP yang berlaku, perkosaan terjadi apabila pelaku dan korban tidak terikat perkawinan.
Hal itu diatur dalam KUHP Pasal 285 yang berbunyi "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun."
Namun, Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar mengatakan, Pasal 480 dalam RKUHP sejatinya menyempurnakan Pasal 285 KUHP tentang perkosaan yang dilakukan seorang suami terhadap istrinya yang belum waktunya untuk kawin.
Menurut Fickar, munculnya pasal ini juga menjadi peringatan bagi pelaku nikah siri agar para suami tak sewenang-wenang memperlakukan istrinya.
"Menurut saya ini untuk persoalan kawin siri, tapi perempuannya merasa ditipu atau dikecewakan, itu bisa dikategorisasi sebagai pemerkosaan walaupun melakukannya atas dasar persetujuan. Ini perlindungan terhadap perempuan sebenarnya," kata Fickar kepada reporter Tirto, Selasa (3/9/2019).
Selain itu, kata Fickar, pasal ini juga menguatkan Pasal 8 huruf (a) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Dalam pasal ini memang mengatur larangan perkosaan yang dilakukan dalam hubungan rumah tangga. Bedanya dengan RKUHP, dalam undang-undang ini tidak menggunakan kata “perkosaan” tetapi menggunakan frase "kekerasan seksual".
Hasil penelusuran Tirto, di Indonesia setidaknya sudah ada dua kasus, di mana suami tega "memperkosa" istrinya karena tak mau bersetubuh. Pelakunya pun dijerat dengan menggunakan UU PKDRT.
Pemerkosaan terhadap istri sendiri pernah dilakukan M. Tohari alias Toto. Lelaki asal Denpasar, Bali, berusia 57 ini tega "memperkosa" istrinya, Siti Fatimah, yang tengah sakit sesak napas dan jantung.
Peristiwa itu terjadi pada September 2014. Saat itu, Siti menolak ajakan bercinta Toto karena sedang sakit. Toto berang dan memaksa Siti. Hasil visum RS Sanglah Denpasar yang ditandatangani dr. Ida Bagus Putu Alit menyebutkan, Siti menderita patah tulang rusuk, memar di dada, dan infeksi di kemaluannya.
Berkat kesaksian tetangga dan puterinya serta visum dokter, majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar menyatakan Toto terbukti sah dan meyakinkan melakukan kekerasan seksual.
Majelis hakim yang diketuai Achmad Peten Sili serta anggota M Djaelani dan Putu Gde Hariadi menjatuhkan hukuman 10 bulan kepada Toto karena terbukti melanggar Pasal 8 huruf a UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pemerkosaan pada istri pernah terjadi pula di Pasuruan, Jawa Timur, pada 2011. Pelakunya Hari Ade Purwanto (29) dan korbannya Sri Wahyuni -- wanita yang dinikahinya pada 2009. Perkawinan Ade dan Sri memang tidak harmonis setelah dikaruniai seorang anak. Sri memilih pulang ke orangtuanya.
Namun, nasib sial dialami Sri usai ia pulang dari kantornya di Dinas Perhubungan Pasuruan pada 20 Juli 2011. Sri dicegat Ade. Ia dipaksa membonceng sepeda motor Ade, lalu dibawa ke hutan Nongkojajar. Di situlah Ade memperkosa istrinya. Hakim Pengadilan Negeri Bangil, Jatim pun mengganjar hukuman 1 tahun 3 bulan untuk Ade. Ia terbukti melanggar Pasal 49 huruf a UU No. 23 Tahun 2004.
Berdasarkan kasus-kasus tersebut, ditegaskan Abdul Fickar bahwa Pasal 480 dalam RKUHP menguatkan pasal undang-undang yang telah ada sebelumnya, khususnya tentang "kekerasan seksual" dalam hubungan rumah tangga.
"Pasal 480 itu justru tidak hanya memperkuat pasal soal KDRT, tapi juga melindungi wanita-wanita yang dinikahi secara siri," jelas Abdul Fickar.
Sementara itu, Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP, Taufiqulhadi mengatakan bahwa pasal ini dimunculkan agar mencegah penipuan perkawinan yang bisa berujung pada terjadinya kekerasan seksual.
Menurut dia, penipuan status perkawinan ini termasuk salah satunya adalah nikah siri di mana sah secara norma agama, tetapi tidak sah menurut norma hukum, karena pernikahan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama.
"Ini bukan pasal pemerkosaan istri saja maksudnya, tapi pasal tersebut mengatur soal 'statutory rape' yang juga mencakup penipuan terhadap status perkawinan (involuntarily)," ucap Taufiq kepada reporter Tirto, Senin (2/9/2019).
"Mencegah penipuan perkawinan, padahal maksudnya adalah ingin memperkosa," kata dia menambahkan.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz