tirto.id - Isi Pasal 76 KUHP mengatur tentang definisi perkara pidana yang telah diputus hakim yang berkekuatan hukum atau yang biasa disebut ne bis in idem.
Asas ne bis in idem sering digunakan dalam dasar eksepsi persidangan oleh terdakwa.
Terdapat sebuah induk peraturan yang berfungsi untuk mengatur urusan atau perkara pidana positif di Indonesia yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP.
KUHP merupakan sebuah landasan bagi penegakan hukum pidana yang digunakan untuk mengadili perkara-perkara pidana demi melindungi kepentingan umum.
KUHP berisi aturan-aturan dan sanksi-sanksi mengenai tindak pidana yang bisa berdampak buruk terhadap keamanan, ketentraman, kesejahteraan, dan ketertiban umum. Sistem hukum pidana sendiri merupakan bentuk upaya terakhir atau ultimum remedium dalam penyelesaian perkara dan memiliki sanksi yang bersifat memaksa.
Pada zaman kolonial Belanda, terdapat sebuah produk hukum yang bernama Wetboek van Strafrechtvoor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang dibuat pada 15 Oktober 1915 dan baru resmi berlaku pada 1 Januari 1918.
Dalam WvSNI tersebut masih terdapat unsur-unsur khas zaman kolonial seperti aturan tentang kerja rodi dan denda dalam bentuk mata uang gulden. WvSNI inilah yang menjadi cikal bakal dari KUHP.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, WvSNI pun diubah menjadi KUHP pada tanggal 26 Februari 1946 melalui UU No. 1 Tahun 1946 yang sekaligus menghapus unsur-unsur kolonialisme pada WvSNI.
KUHP terdiri dari 3 bagian atau buku. Buku 1 tentang Aturan Umum (Pasal 1-103), Buku 2 tentang Kejahatan (Pasal 104-488), dan Buku 3 tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Isi Pasal 76 KUHP Tentang Ne bis In Idem
Pasal 76 KUHP termasuk dalam Buku 1 tentang Aturan Umum dan Bab VIII tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana.
Pasal ini menguraikan definisi dan ketentuan dari putusan hakim terhadap sebuah kasus tindak pidana. Berikut adalah isi pasal 76 KUHP tentang ne bis in idem.
Pasal 76
(1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap.
Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.
(2) Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:
1. putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;
2. putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.
Dilansir dari laman Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Pemkot Yogyakarta, asas ne bis in idem sering digunakan dalam dasar eksepsi persidangan oleh terdakwa.
Hal ini dilakukan karena penyidik atau penuntut umum mengajukan lagi terdakwa dalam perbuatan pidana yang sama dan telah diputus oleh hakim yang telah mendapatkan kekuatan hukum tetap.
Asas ini ditetapkan dalam Pasal 76 KUHP dengan tujuan antara lain yaitu:
1. Jangan sampai pemerintah membicarakan tentang peristiwa pidana yang sama secara berulang-ulang sehingga dalam suatu peristiwa pidana terdapat beberapa putusan yang kemungkinan akan mengurangi kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya.
2. Sekali orang sebagai terdakwa arus diberikan ketenangan hati, jangan dibiarkan terus menerus dengan perasaan terancam oleh bahaya penuntutan kembali dalam peristiwa atau kasus yang sekali telah diputus.
Oleh karena itu, asas ne bis in idem dibuat untuk memberikan perlindungan hukum terhadap terdakwa agar tidak dapat dituntut dan disidangkan kembali dalam peristiwa atau perkara pidana yang sama dan telah diputus oleh hakim.
Penulis: Muhammad Iqbal Iskandar
Editor: Yulaika Ramadhani