tirto.id - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly buka suara terkait pasal penghinaan presiden yang dihidupkan kembali dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Ia mengaklaim, agar pasal ini tidak disalahgunakan, maka pasal itu dibuat sebagai delik aduan.
“Jadi ini merupakan delik aduan, tetapi ini juga tidak akan dapat diberlakukan kalau untuk kepentingan umum atau pembelaan diri," kata Yasonna di kantornya, pada Jumat (20/9/2019).
Pengaduan pun harus dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden. Pasal itu pun otomatis tak berlaku jika dilakukan untuk kepentingan umum dan membela diri.
Politikus PDIP itu pun mengklaim sudah memberi batasan yang detail atas definisi "menyerang harkat dan martabat" di bab penjelasan RKUHP, sehingga pasal itu tidak disalahgunakan oleh penegak hukum.
Berikut isi dari penjelasan pasal 218 pasal 1 berdasarkan draf tanggal 15 September 2019:
Yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri presiden atau wakil presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.
Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah.
Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela (dilihat dari berbagai aspek: moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai HAM/kemanusiaan), karena “menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan” (menyerang nilai universal); oleh karena itu, secara teoritik dipandang sebagai rechtsdelict, intrinsically wrong, mala per se dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara.
Pasal itu pun disusun dengan delik materiil. Artinya, untuk bisa ditindaklanjuti, maka tindakan tersebut harus mengakibatkan kerusuhan atau huru hara di tengah masyarakat.
"Jadi saya kira mengatur ketentuan ini secermat mungkin. Itu terkait penghinaan presiden dan wapres," kata Yasonna.
Pasal penghinaan presiden ini memang menuai kritik dari publik karena dinilai berpotensi disalahgunakan.
Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dio Ashar Wicaksana menilai, pasal ini sangat berpotensi menjadi 'karet', bahkan bisa menjadi senjata pemerintah untuk mengkriminalisasikan masyarakat hanya karena mengkritik kebijakan presiden.
"Karena nanti potensi kriminalisasi justru ketika ada kritik kepada kebijakan presiden, padahal dalam negara demokrasi kritik masyarakat sangat penting," ujar Dio kepada reporter Tirto, Kamis (19/9/2019).
Soal pasal ini Mahkamah Konstitusi (MK) sebetulnya pernah memutuskan untuk menghapusnya pada 2006. Hakim MK kala itu menilai pasal tersebut bisa menimbulkan ketidakpastian hukum lantaran tafsirnya yang amat rentan manipulasi.
Karena itu, kata Dio, pasal ini semestinya sudah tamat selamanya. Sayangnya, DPR dan pemerintah membangkitkannya lagi dengan mengubahnya dari delik biasa menjadi delik aduan.
Menurut Dio, perubahan ini sama saja. Tak ada bedanya untuk membungkam kritik dalam negara yang menganut sistem demokrasi ini. Malahan, kata Dio, justru presiden atau wakil presiden bisa secara subjektif melaporkan ke kepolisian setiap kritik yang dianggap menyerangnya.
Apalagi dikhawatirkan presiden atau wakil presiden akan bertarung melawan masyarakatnya sendiri dalam peradilan, yang menurutnya sangat tak baik
"Padahal kritik dan masukan masyarakat sangat penting, apalagi pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung," ujar Dio.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz