tirto.id - Agenda revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di DPR kembali disorot karena dipandang tidak transparan. Padahal, Komisi III DPR yang membidangi hukum, ingin revisi KUHAP cepat rampung seiring dengan berlakunya KUHP Nasional tahun depan. Hal ini dikhawatirkan elemen masyarakat sipil mengulang kembali lagu lama pembentukan UU di DPR RI yang mengabaikan partisipasi publik bermakna dalam prosesnya.
Kurangnya transparansi agenda revisi KUHAP tercermin dari hasil Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) teranyar, yang menunjukkan bahwa sekitar 70,3 persen masyarakat tidak mengetahui pemerintah dan DPR tengah membahas revisi KUHAP. Hanya 29,7 persen responden yang tahu saat ini pembentuk undang-undang yakni pemerintah dan DPR, membahas perubahan KUHAP.
Survei itu dilakukan sepanjang 22-26 Maret 2025 terhadap 1.214 responden, dengan metode double sampling atau pengambilan sampel acak, dari kumpulan data hasil survei tatap muka LSI, yang telah dilakukan sebelumnya. Margin of error survei tersebut diperkirakan di angka 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Dari hasil survei tersebut, tergambar pembahasan RUU KUHAP masih menjadi isu elit yang belum mendapat perhatian masyarakat. Padahal, dalam penerapannya, masyarakat adalah pihak yang akan merasakan secara langsung dampak dari perubahan KUHAP. Hasil ini juga menunjukkan bahwa agenda revisi KUHAP saat ini belum transparan dan kurang melibatkan masyarakat.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, M Fadhil Alfathan, merasa survei LSI itu sejalan dengan pandangan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP yang melihat pembahasan revisi KUHAP terkesan tertutup dan buru-buru. Menurutnya, saat pembahasan rancangan undang-undang dikatakan tidak transparan, maka substansi yang digodok dalam beleid tersebut juga tidak akan berpihak kepada masyarakat.
“Setidak-tidaknya terbukti bahwa banyak masyarakat berdasarkan hasil survei LSI itu tidak mengetahui proses revisi KUHAP ini sudah bergulir sampai dengan batas mana,” ujar Fadhil ketika dihubungi wartawan Tirto, Senin (14/4/2025).
Fadhil menilai, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP – gabungan organisasi masyarakat sipil yang mengawal agenda revisi KUHAP – sejak awal tahun 2025 mendesak agar DPR membuka naskah akademik dan draf terbaru RKUHAP untuk dibahas bersama. Bukan tanpa alasan, pembahasan RUU KUHAP sebetulnya sudah dimulai sejak 2004 dan terus-menerus berlanjut di periode-periode setelahnya. Terakhir di 2012, pembahasan revisi KUHAP sudah menghasilkan draf dan naskah akademik yang kemudian beredar luas.
Tetapi, tiba-tiba di bulan Maret 2025, sudah ada draf baru dan berbeda dengan draf lama. Ini bukan saja membingungkan koalisi masyarakat sipil, namun juga dilakukan tidak transparan.
“Apakah drafnya akan berubah lagi nantinya atau justru menggunakan draf itu. Kami belum bisa pastikan jadinya,” ujar Fadhil.
Fadhil menilai, pembahasan DPR dengan Kementerian/Lembaga negara yang berlangsung tertutup, sejak Januari hingga pertengahan Maret 2025, membuat agenda revisi KUHAP menjadi tidak transparan. Tertutupnya proses pembahasan telah mengakibatkan tidak hadirnya partisipasi bermakna dari berbagai pihak yang selama ini berkontribusi dalam sistem peradilan pidana: seperti organisasi profesi, akademisi, advokat, lembaga layanan korban, komunitas korban, kelompok rentan, serta masyarakat sipil lainnya.
Proses yang terkesan terburu-buru ini semakin diperparah dengan pernyataan bahwa target pembahasan revisi KUHAP tidak akan melebihi dua kali masa sidang. Padahal, RKUHAP secara keseluruhan mencakup 334 pasal dengan total daftar inventarisasi masalah (DIM) yang dibahas bisa mencapai 1570 pasal/ayat pada bagian batang tubuh dan 590 pasal/ayat pada bagian penjelasan. Fadhil menilai lagi-lagi pembentukan UU seperti mengejar target.
“Ketika proses pembahasan RKUHAP terus dilangsungkan dan tanpa pelibatan masyarakat, dampak yang paling dirugikan juga nanti adalah masyarakat atas penerapannya,” kata dia.
Sementara itu, Ketua DPR RI Puan Maharani memastikan memang belum ada pembahasan resmi RKUHAP. Puan menyatakan hal ini disebabkan DPR masih dalam masa reses. Dalam masa sidang usai reses pada 17 April 2025, baru ditentukan alat kelengkapan dewan (AKD) yang bertanggung jawab membahas revisi KUHAP bersama perwakilan pemerintah.
"Jadi sidang [revisi KUHAP] belum mulai,” kata Puan di Kompleks DPR-MPR, Senin (14/4/2025).
Sebelumnya, Puan Maharani menyatakan sudah menerima surat presiden (surpres) terkait pembahasan revisi KUHAP. Namun pimpinan DPR belum menentukan apakah RKUHAP ini dibahas di Komisi III atau Badan Legislasi DPR.
Sementara itu, Selasa (8/4/2025) lalu, Koalisi Masyarakat Sipil menghadiri diskusi informal yang diselenggarakan Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman. Pertemuan itu bertempat di ruang rapat Komisi III, Nusantara 2 DPR-RI, dan hanya dihadiri oleh Ketua Komisi III dan Badan Keahlian Dewan (BKD), srta beberapa anggota koalisi yang diundang.
Namun, diskusi tersebut bukanlah bagian dari proses pembahasan formal RKUHAP. Karena itu, tidak dapat dijadikan sebagai klaim bahwa partisipasi publik bermakna telah dilakukan.
Salah satu anggota koalisi sekaligus Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBH), Muhamad Isnur, menuturkan bahwa pada Januari 2025, beberapa anggota koalisi memang sempat diundang memberikan masukan dalam proses penyusunan RUU KUHAP di Badan Keahlian Dewan DPR. Pada masa itu, ketua Komisi III menyatakan bahwa proses penyusunan akan dimulai dari awal.
Namun, kemudian secara tiba-tiba pada 18 Februari 2025, disepakati RUU KUHAP menjadi usulan DPR ketika rapat paripurna. Saat itu, sama sekali tidak tersedia informasi mengenai draf RUU yang telah dibawa ke sidang paripurna tersebut.
“Bahkan anggota Komisi III menyatakan tidak mengetahui draf awal RUU KUHAP tersebut. Hal ini menandakan kurangnya transparansi dan partisipasi publik yang bermakna dalam proses penyusunan RUU KUHAP,” ucap Isnur.
Isi Banyak Berubah
Substansi draf RKUHAP terbaru dinilai telah menihilkan rangkaian sejarah pembaruan revisi KUHAP sebelumnya. Draf versi 17 Februari 2025 yang kemudian berkembang menjadi draf 20 Maret 2025, tidak menjawab permasalahan KUHAP saat ini. Bahkan kebaruan-kebaruan progresif yang dimuat dalam RUU KUHAP versi 2012 hilang dari draf revisi KUHAP 2025.
Misalnya, kata Isnur, materi krusial yang hilang yakni konsep hakim pemeriksa pendahuluan (HPP) yang dapat menjadi tonggak judicial scrutiny atau pengawasan pengadilan. Padahal ini menjadi mekanisme penilaian perlu atau tidaknya dilakukan upaya paksa dan pengujian sah atau tidaknya upaya paksa yang dilakukan penegak hukum. HPP juga dapat memeriksa pelanggaran hak tersangka. Konsep progresif tersebut hilang dalam draf 2025.
Draf RKUHAP saat ini juga dinilai belum mengakomodir sembilan isu krusial yang menjadi tuntutan koalisi. Sembilan materi krusial tersebut meliputi: kejelasan tindak lanjut laporan tindak pidana; mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny); standar upaya paksa berdasarkan perlindungan HAM; akuntabilitas teknik investigasi khusus; dan peran advokat serta jaminan keberimbangan proses peradilan pidana.
Selain itu, sistem hukum pembuktian dan alat bukti; aturan terkait sidang elektronik dan jaminan asas peradilan terbuka untuk umum; akuntabilitas penyelesaian perkara diluar persidangan; serta jaminan pemenuhan hak-hak tersangka, saksi, korban kelompok rentan dan disabilitas.
“Tanpa memasukan sembilan isu krusial ini ke dalam draf RKUHAP, maka KUHAP baru yang akan dihasilkan tidak akan mencerminkan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia dan tidak mengatasi masalah,” terang Isnur.
Utamakan Partisipasi Publik
Peneliti LSI, Yoes C Kenawas, dalam agenda pemaparan hasil survei LSI di Jakarta (13/4/2025) menyampaikan, terkait isu-isu atau poin penting dalam revisi KUHAP, mayoritas responden menunjukan tingkat persetujuan yang cukup tinggi atas sejumlah isu soal proses penegakan hukum.
Di antaranya terkait restorative justice, pendampingan oleh advokat/penasehat hukum, izin dan saksi dalam penggeledahan dan saluran untuk menyampaikan keberatan.
“Mayoritas 86 persen menyatakan penting/sangat penting adanya saluran lain untuk menindaklanjuti laporan atau pengaduan yang tidak mendapatkan kejelasan dalam waktu 14 hari sejak laporan diterima,” ujar Yoes C Kenawas dalam kesempatan itu.
Sementara itu, terkait proses penanganan kasus dimana aparat melakukan tindak kriminal, mayoritas responden (50,3 persen) memandang hal penanganannya tidak terbuka/sangat tidak terbuka.
Hanya 36,9 persen yang menyatakan bahwa penanganan kasus-kasus yang melibatkan aparat sebagai pelaku tindak kriminal sudah terbuka/sangat terbuka.
Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, menyatakan awal pembahasan revisi KUHAP di tahun ini memang terkesan dikebut dan tidak transparan. Hal ini membuat elemen masyarakat sipil menunggu sosialisasi soal draf revisi KUHAP terbaru.
Salah satu pasal yang disoroti masyarakat sipil, kata dia, terkait akuntabilitas pelaksanaan kewenangan teknik investigasi khusus seperti pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan yang diawasi (controlled delivery). Dalam hal itu, setidaknya perlu pembatasan jenis-jenis tindak pidana yang dapat diterapkan dengan teknik investigasi khusus.
Dalam aturan teknis, polisi memperkenalkan kewenangan tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) di dalam Perkap Nomor 6 Tahun 2019. Dalam perkap tersebut, bahkan kewenangan dilakukan pada tahap penyelidikan, alias saat proses peristiwa pidana belum bisa dipastikan. Dengan membuka kewenangan tersebut dalam tahap penyelidikan, tidak ada pengawasan lembaga lain sehingga rentan sekali terjadinya penjebakan.
Sayangnya, dalam draf revisi KUHAP versi Maret 2025 di Pasal 16 masih saja mengadopsi rumusan bermasalah Perkap 6/2019 tersebut. Dalam penyelidikan diperbolehkan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan.
“Tanpa sama sekali mengatur batasan tindak pidana, syarat dapat dilakukannya kewenangan ini, tidak diatur kewenangan ini harus berbasis izin pengadilan, juga tak ada bahasan tentang hak orang untuk mengajukan jika ia dijebak berdasarkan kewenangan ini,” kata Meidina kepada wartawan Tirto, Senin (14/4/2025).
Dihubungi terpisah, anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil, menyatakan bahwa hasil survei LSI yang melaporkan sekitar 70 persen lebih masyarakat belum mengetahui pembahasan revisi KUHAP, bakal menjadi evaluasi yang baik bagi pembentuk undang-undang. Pasalnya, pembahasan resmi RKUHAP baru akan kembali digelar usai masa reses.
Ia mengeklaim, Komisi III berkomitmen melibatkan elemen masyarakat sipil mulai dari koalisi organisasi non-pemerintah, akademisi, hingga media massa. Nasir menyatakan inseminasi draf terbaru RKUHAP akan tetap mematuhi prinsip partisipasi publik sebagaimana diatur di dalam UU P3.
“Sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman apalagi sampai nanti ada judicial review di Mahkamah Konstitusi, saya pikir DPR tetap merujuk kepada peraturan perundang-undangan saat membahas suatu undang-undang sehingga kemudian memberikan kepuasan terhadap masyarakat,” kata Nasir kepada wartawan Tirto.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty