tirto.id - Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, yakin betul agenda revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) akan berjalan lancar tanpa hambatan. Ia menargetkan pada 2026, pembaruan KUHAP segera berlaku seiring penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP baru. Menurutnya, agenda pembahasan revisi KUHAP tak akan banyak penolakan sebab berfokus pada hak-hak tersangka/terdakwa, saksi, hingga korban.
Hal ini disampaikan Habiburokhman di Ruang Komisi III DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (20/3/2025). Ia mengungkap proses pembahasan bakal dimulai pada masa sidang mendatang. Pasalnya, masa sidang kali ini terlalu dekat dengan masa reses lebaran. Politisi Fraksi Partai Gerindra itu menargetkan selama masa reses, anggota DPR RI dapat menyerap aspirasi dari konstituen untuk diaplikasikan di dalam pembahasan revisi KUHAP.
Habiburokhman menjanjikan pengarusutamaan proses restorative justice kepada pelanggar hukum. Sehingga, setiap penyelesaian masalah tidak selalu berujung dengan penghukuman fisik atau pidana. Habib berjanji pembahasan rancangan KUHAP baru dilaksanakan dengan mengedepankan partisipasi bermakna (meaningful participation). Hal ini ditunjukan dengan materi draf rancangan KUHAP baru yang bisa diakses publik lewat situs resmi DPR.
“Paling lama dua kali masa sidang. Kalau bisa satu kali masa sidang besok, sudah selesai, kita sudah punya KUHAP yang baru,” kata Habiburokhman.
Diberitakan sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan, menyampaikan revisi KUHAP dilakukan untuk mengatur aparat penegak hukum (APH) dalam penahanan. Hinca menjelaskan penegak hukum sebelum menahan pelaku tindak pidana harus mengumpulkan alat bukti yang mumpuni, sehingga kasus salah tangkap tidak terulang lagi.
Hinca mengungkap, dalam KUHAP baru, penyidik APH dikenakan batas waktu pemeriksaan tersangka. Ini dilakukan agar tidak mengulur waktu dalam proses pencarian bukti perkara dan tidak melanggar HAM bagi tersangka.
Dirinya menuturkan ada banyak kasus tersangka ditahan oleh polisi, namun tidak memiliki bukti hukum kuat dan baru dibebaskan saat proses peradilan. Menurut Hinca, hal itu tak manusiawi, karena seseorang dicabut kebebasannya berhari-hari tanpa kejelasan hukum.
Di sisi lain, Habiburokhman turut mengklaim wacana revisi KUHAP akan menjunjung asas restoratif, restitutif, dan rehabilitatif. Sehingga tidak ada lagi unsur kekerasan dalam proses penegakan hukum dari proses penyidikan hingga pengadilan. KUHAP juga akan mengatur proses pemeriksaan tersangka yang harus diawasi dengan CCTV atau kamera pengawas.
Namun ia menegaskan, dalam KUHAP, fungsi aparat penegak hukum tidak ada perubahan dan tetap sama dengan produk hukum yang lama. Habiburokhman menjelaskan fungsi Polri tetap sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut tunggal.
Hasil pemantauan dan laporan kajian dari berbagai lembaga masyarakat sipil memang telah menunjukkan bahwa KUHAP saat ini yang terbit pada 1981 silam, sudah tidak lagi memadai sebagai rujukan utama menjalankan proses peradilan pidana. Pasalnya, penegakan hukum pidana di dalamnya belum cukup memihak dan berkeadilan untuk masyarakat umum.
Wacana memperbarui KUHAP berulang kali tidak memiliki kejelasan sebelumnya. Sebab tak rampungnya pembaruan KUHAP, sejumlah kekosongan hukum akhirnya diisi oleh peraturan lembaga di bawah undang-undang. Padahal, Pasal 24A pada ayat 5 dalam UU Dasar 1945 menentukan hukum acara hanya boleh diatur dalam peraturan setingkat UU.
Terlebih, sudah ada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 alias KUHP baru yang kini dalam proses transisi dan akan berlaku efektif mulai 2026. Dengan begitu, KUHAP baru juga amat diperlukan untuk melengkapi prosedur hukum pidana.
Namun, bukan berarti pembahasan rancangan KUHAP baru bisa dikebut seenak jidat oleh DPR dan Pemerintah. Pasalnya, masih bertengger pasal-pasal yang belum jelas dan masih rancu jika diterapkan. Alih-alih memperbaiki KUHAP, pasal-pasal bermasalah justru mampu mengaburkan semangat pembaruan prosedur hukum pidana yang diangankan.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Satria Unggul Wicaksana Prakasa, menilai wacana pembaruan KUHAP penting untuk melihat sejauh mana kewenangan dari aparat penegakan hukum. Jika Komisi III DPR menyatakan bahwa terdapat prinsip-prinsip asas restoratif, restitutif, dan rehabilitatif, maka masyarakat harus tahu siapa yang memiliki atau mengatur kewenangan besar tersebut.
Ia menilai, kewenangan tersebut titik beratnya masih terasa berada di institusi Polri. Idealnya terjadi keseimbangan institusi penegak hukum dalam menjaga otoritasnya agar tidak mutlak.
“Di dalam prosedur penanganan perkara bersifat seimbang. Sehingga antara kewenangan kepolisian di dalam tahapan penyelidikan dan penyidikan lalu penuntutan oleh Jaksa dan proses peradilan oleh hakim tentu berjalan seimbang,” kata Satria kepada wartawan Tirto, Jumat (21/3/2025).
Satria berharap pembaruan KUHAP ditujukan memperkuat criminal justice system saat ini agar dapat berlangsung efektif, efisien, dan berkeadilan. Keadilan yang dimaksud bersifat substansial kepada masyarakat luas yang masih sering kali menjadi korban kriminalisasi.
Ia mengingatkan prinsip keadilan restoratif tidak disalahgunakan untuk menutupi kejahatan elite. Restorative justice wajib berpusat kepada pemenuhan hak dan kewajiban korban.
“Kunci criminal justice system itu adalah saling mengawasi, saling membatasi kewenangan,” ucap Satria.
Pasal-pasal Bermasalah
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP memandang wacana dan agenda yang dibawa DPR dalam pembaruan KUHAP masih memuat sejumlah masalah mendasar. Hal itu misalnya terdapat dalam usul pencegahan penyiksaan dalam penangkapan dan penahanan lewat CCTV. Wacana ini termaktub pada Pasal 31 ayat (2) draf RUU KUHAP.
Pasal itu menyebut pemeriksaan tersangka dilakukan dengan direkam oleh CCTV agar bisa menjadi alat pencegah kekerasan dan penyiksaan APH, tetapi prosedur ini tidak diwajibkan. Ketentuan itu memberikan celah besar terjadinya pelanggaran hak-hak tersangka/terdakwa, yang seharusnya dilindungi secara tegas.
Selain itu, dalam pasal tersebut juga tidak disebutkan adanya kewajiban untuk pemasangan CCTV di tempat penahanan. Permasalahan lainnya ditemukan pada Pasal 31 ayat (3) RUU KUHAP yang menyebutkan bahwa rekaman kamera pengawas berada dalam penguasaan penyidik.
Seharusnya untuk tujuan checks and balances, kamera pengawas sebaiknya dikelola oleh lembaga lain. Terutama lembaga yang tidak terlibat pada perkara seperti Ditjenpas misalnya. Rekaman tersebut menjadi bukti yang harus bisa diakses baik oleh penuntut umum maupun tersangka jika dibutuhkan.
Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati – yang juga salah satu anggota koalisi – menilai pada Pasal 31 ayat (4) dalam draf RUU KUHAP memuat hak tersangka/terdakwa meminta akses atau menggunakan rekaman kamera pengawas itu atas permintaan hakim untuk kepentingannya dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.
Namun, draf RUU KUHAP tidak mengatur lebih lanjut mekanisme yang jelas bagaimana pemberian akses rekaman itu. Padahal, akses tersebut penting dalam menjamin hak-hak tersangka/terdakwa dalam melakukan pembelaan.
Selain itu, Maidina menemukan bahwa syarat penahanan masih kental dengan kewenangan besar penyidik atau APH. Syarat penahanan itu diatur dalam Pasal 93 ayat (5) lewat daftar sembilan alasan penahanan. Namun alasan penahanan di RUU KUHAP justru sangat karet, antara lain: memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan, tidak bekerja sama dalam pemeriksaan, dan menghambat proses pemeriksaan.
Alasan penahanan berupa memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan juga bertentangan dengan hukum acara pidana yang memberikan hak ingkar bagi tersangka/terdakwa. Maidina memandang hal tersebut tidak dapat menjadi dasar melakukan penahanan yang harus berdasarkan keadaan objektif, apabila penahanan tidak dilakukan pemeriksaan akan terhambat.
Terlebih, pengambilan keputusan penahanan hanya APH sebagai pemeriksa, bukan hakim pemeriksa yang bebas dari kepentingan penegakan hukum. Selain itu, tidak ada kewajiban menjelaskan penilaian berdasarkan keadaan faktual yang membuktikan syarat penahanan yang terlampir. Dengan demikian, draf RUU KUHAP bukan hanya tak menjawab masalah yang terjadi selama ini, malah semakin membuat kabur pengaturan penahanan.
"Keputusan penahanan dan penangkapan seharusnya lewat otoritas independen. Fungsi itu belum dimuat di draf,” ucap Maidina.
Koordinator Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Yosua Octavian Simatupang, memandang secara spesifik masih terdapat pasal-pasal bermasalah dalam draf rancangan KUHAP baru. Ambil contoh Pasal 142 ayat (3), kata dia, yang secara gamblang melarang kerja advokat untuk berpendapat di luar pengadilan soal permasalahan kliennya.
Hal ini dapat berdampak pada kerja-kerja Human Rights Defender (HRD) yang melakukan advokasi nonlitigasi. Yosua menilai klausul ini kental dengan upaya pembungkaman dan larangan pemberian informasi kepada publik. Pasal itu juga berhubungan dengan Pasal 253 yang berkaitan dengan tata tertib di persidangan untuk kewenangan membatasi.
Dengan begitu, dapat dikatakan RUU KUHAP belum selaras dengan niatan yang dibangun. Jika fungsi advokat/HRD dibatasi dan peran jurnalis serta masyarakat sipil diabaikan, maka secara matematis tentu sistem hukum yang berkeadilan tidak akan terjadi.
“Jika dalam Pasal 142 merugikan Advokat dan HRD, Pasal 253 ini justru juga merugikan rekan-rekan jurnalis. Pasal 253 bertentangan dengan konsep persidangan yang terbuka untuk umum,” kata Yosua kepada wartawan Tirto.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang