tirto.id - Jika RKUHP disahkan, penjara akan penuh oleh gelandangan, aktivis, peternak kecil di desa, para perempuan pekerja yang harus pulang malam, psikolog atau guru yang memberi pendidikan kesehatan reproduksi, dan tukang gigi.
Ya, Anda tak salah baca, tukang gigi. Perkumpulan Tukang Gigi Nasional (PTGN) pun merasa haknya dikebiri jika RUU ini tidak dibatalkan. Lahan kerja mereka akan menjadi sumber perkara pidana karena dianggap melakukan kerja-kerja medis.
Banyak pasal dalam RUU ini yang dianggap bermasalah. Ada ancaman bagi pihak yang menghina presiden, wakil presiden, dan dinilai membuat kerusuhan di masyarakat. Kelalaian peternak membiarkan unggasnya berkeliaran di lahan tetangga juga tak luput dari hukum. Pihak yang menunjukkan alat kontrasepsi pada anak pun bisa kena pidana denda.
Lalu, jika seharusnya gelandangan dan fakir miskin dipelihara negara, Pasal 431 RUU KUHP justru akan mempidanakan mereka--dan orang-orang yang dianggap gelandangan, termasuk mereka yang pulang larut malam. RUU KUHP menyasar laki-laki dan perempuan tanpa hubungan pernikahan namun tinggal satu atap. Lucunya, pasal pidana koruptor memangkas hukuman menjadi minimal dua tahun.
Jika ditelisik lebih dalam, ternyata pasal bermasalah RUU KUHP bukan cuma itu saja. Pasal 276 ayat (2) bisa menyeret profesi tukang gigi ke penjara. Poin dalam draft perubahan peraturan pidana bermasalah itu berbunyi:
“Setiap orang yang menjalankan pekerjaan menyerupai dokter atau dokter gigi sebagai mata pencaharian baik khusus maupun sambilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.”
Menanggapi hal tersebut, PTGN melalui Sekretaris Jenderalnya, Faisol Abrori menolak tegas penundaan, dan meminta pembatalan revisi. Untuk memperjuangkan hak-hak mereka, sembilan ribu anggota PTGN dari sejumlah daerah siap menyusul turun jalan bersama mahasiswa menolak RKUHP.
“Kami sedang merapatkan barisan untuk ikut turun ke jalan melakukan penolakan,” katanya kepada Tirto, Rabu (25/9/2019).
Terombang Ambing Kepastian Hukum
Profesi tukang gigi sudah ada di Indonesia sejak zaman kolonial Belanda. Mereka muncul lantaran jumlah dokter gigi sangat terbatas. Kala itu, pendidikan dokter gigi hanya bisa ditempuh di luar negeri dengan biaya yang tinggi. Terlebih lagi, para dokter gigi itu hanya melayani pasien Eropa, sehingga rakyat pun tak punya tenaga ahli untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut mereka.
Berangkat dari kondisi itu, pada 1928, Belanda akhirnya mendirikan lembaga pendidikan kedokteran gigi School tot Opleiding van Indische Tandartsen (STOVIT) di Surabaya. Salah satu lulusannya adalah Moestopo. Ia menamatkan pendidikan pada 1937 dan mendirikan Kursus Kesehatan Gigi di Jakarta pada 1952.
Dikutip dari laman resmi milik Universitas Prof Dr Moestopo, kursus gigi milik Moestopo berjalan selama dua jam dalam sehari dan diikuti tukang gigi seluruh Indonesia. Dua ribu tukang gigi bisa mendapat edukasi untuk memenuhi kriteria minimal ilmu kedokteran gigi.
“Setidaknya dalam hal kebersihan, gizi, dan anatomi sederhana,” tulis laman tersebut.
Moestopo ingin masyarakat bisa menerima layanan perawatan gigi murah tapi berkualitas.
Pada 1957, ia kembali membuka sebuah tempat kursus bernama ‘Kursus Tukang Gigi Intelek’ supaya lebih bisa mengakomodir pendidikan untuk tukang gigi. Lalu setahun kemudian Moestopo mendirikan ‘Dental College Dr. Moestopo’ yang menjadi cikal bakal dari Perguruan Tinggi Swasta Dental College dr. Moestopo (sekarang berkembang jadi Universitas Prof Dr Moestopo).
Jika tempat kursusnya diperuntukkan bagi tukang gigi, maka Perguruan Tinggi Swasta Dental College dr. Moestopo membantu mencetak dokter gigi berkualitas, tanpa perlu lagi ke luar negeri. Jika dilihat dari sejarahnya, profesi tukang gigi sedari dulu sudah jalan berbarengan dengan dokter gigi.
Sampai akhirnya Indonesia tiba di awal dekade 1970-an. Jumlah tukang gigi kian membludak hingga Kementerian Kesehatan merasa perlu melakukan pembatasan dengan mengeluarkan Permenkes No. 53/DPK/I/K/1969. Tak ada lagi izin baru diterbitkan bagi tukang gigi, kecuali izin yang diperoleh sejak 1953.
Di titik ini, ruang kerja tukang gigi sudah mulai menyempit – dan akan terus dipersempit nantinya. Dua dekade berlalu, terbitlah Permenkes No.339/MENKES/PER/V/1989 yang mewajibkan tukang gigi memperbaharui izin setiap tiga tahun. Permenkes itu juga melarang tukang gigi berusia 65 tahun berpraktik, karena dianggap terlalu uzur, dan tak lagi mampu melakukan pekerjaannya dengan baik.
Setelah mengeliminasi para tukang gigi berusia 65 tahun, muncul sebuah ketentuan hukum yang lebih mengikat, yakni Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pasal 73 ayat 2 dan Pasal 78 dalam undang-undang tersebut kurang lebih punya isi serupa pasal 276 RUU KUHP yang saat ini mereka permasalahkan.
“Aturan ini secara tidak langsung menghapus atau melarang profesi kami, lalu dari mana kami akan hidup,” ungkap Faisol.
Keresahan tukang gigi terhadap aturan tersebut pernah diakomodir oleh Hamdani Prayogo. Prayogo adalah seorang tukang gigi yang menjadi penggugat UU Praktik Kedokteran ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2013. Singkatnya, MK mengabulkan gugatan Prayogo dan keluarlah Permenkes No. 39 Tahun 2014 sebagai turunannya. Profesi tukang gigi kembali legal digeluti.
Dalam permenkes itu area kerja tukang gigi kemudian diatur hanya untuk membuat dan memasang gigi tiruan akrilik lepasan sebagian atau penuh, dan tak boleh menutupi sisa akar gigi. Tukang gigi yang ingin berpraktik juga dilarang berpindah tempat dan harus mengantongi izin dari Pemda Kab/Kota atau Dinkes Kab/Kota setempat.
Dengan pembatalan MK dan keluarnya permenkes ini, para tukang gigi dapat bernapas lega, karena meski profesinya dibatasi, mereka tetap bisa bekerja mencari nafkah. Tapi kini, hak dasar mereka kembali diusik dengan ancaman pasal dari RUU KUHP.
Rivalitas Dokter dengan Tukang Gigi
Faisol menceritakan kembali kisah rekan-rekan seprofesinya yang harus bentrok dengan Satpol PP, atau ditangkap polisi karena dianggap melakukan kerja ilegal. Cerita ini bermula paska Permenkes No. 39 Tahun 2014 dikeluarkan sebagai dasar hukum profesi tukang gigi. Dua orang tukang gigi yang masing-masing berada di Denpasar dan Palangkaraya mendapat tindakan represif dari aparat.
Rekannya di Denpasar didatangi oleh Satpol PP dan dinas kesehatan (Dinkes) setempat karena tak memiliki surat izin. Padahal Bali termasuk dalam wilayah yang tak mau menerbitkan surat izin bagi tukang gigi. Kondisi ini juga terjadi di beberapa wilayah Indonesia lain termasuk Jambi, Banten, Kalimantan, dan Medan.
“Lucunya, saat dinkes datang, mereka minta surat izin. Padahal di sisi lain, mereka tidak mau mengeluarkan dokumen itu,” terang Faisol.
Kasus tukang gigi di Palangkaraya lebih parah lagi. Penangkapan oleh polisi dilakukan dua tahun setelah putusan MK keluar. Pukul sembilan malam penangkapan terjadi, dan tepat hari pergantian hari, orang itu sudah berstatus tersangka dan mendapat penahanan. Saat dilakukan advokasi, aparat dan dinkes berdalih tidak mengetahui keputusan MK tentang pembatalan pidana bagi tukang gigi.
Hingga saat ini, meski hasil putusan tersebut sudah berlaku selama dua tahun, sosialisasi hukum belum berjalan maksimal. Masih banyak tukang gigi terpaksa membuka praktik tanpa surat izin. Pemerintah daerahnya beralasan Permenkes No. 39 Tahun 2014 belum diadaptasi ke peraturan daerah. Selain itu, jarang ada pembinaan yang benar-benar dilakukan dokter gigi kepada para tukang gigi, seperti yang diamanatkan permenkes.
Kondisi ini diduga Faisol akibat iklim kompetisi yang semakin menguat antara dokter dengan tukang gigi. Seperti yang pernah dibahas Tirto sebelumnya, para dokter gigi umumnya memang menentang profesi tukang gigi karena dianggap membahayakan kesehatan. Selain itu, dokter gigi seringkali menganggap kerja medisnya bertambah berat ketika mendapat limpahan pasien dari tukang gigi.
“Ada benturan logika, ketika aturan soal kami lahir dari usulan Dinkes dan Kemenkes yang isinya dokter semua. Padahal mereka kompetitor tukang gigi,” ungkap Faisol.
Fakta bahwa banyak tukang gigi nakal yang bekerja di luar ranah membuat dan memasang gigi palsu memang tidak bisa ditampik. Tapi kondisi itu pun muncul salah satunya akibat tarik ulur kepentingan yang terjadi saat pembuatan dan penerapan aturan, baik di tingkat pusat, maupun daerah.
Editor: Windu Jusuf