tirto.id - RUU KUHP yang tengah disusun saat ini berpotensi mengkriminalisasi dan mendiskriminasi rakyat Indonesia, terutama anak, perempuan, kelompok miskin dan marjinal yang justru lebih membutuhkan perlindungan.
Pendapat itu diutarakan oleh Pusat Pusat Kajian & Advokasi Perlindungan & Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia (UI) dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (7/2/2018).
Menurut Puskapa, beberapa aturan dalam RUU KUHP tidak didukung bukti yang kuat sehingga dampaknya akan merugikan anak, perempuan, kelompok miskin dan marjinal.
"Frasa 'perkawinan yang sah' untuk membuktikan keabsahan hubungan 'layaknya suami istri' akan menjadikan puluhan juta pasangan yang sudah menikah agama tanpa bukti perkawinan serta keturunan mereka
menjadi korban," kata Puskapa.
Selain kelompok miskin yang 55%nya tidak punya bukti kawin, masyarakat yang sulit mendapatkan bukti perkawinan dan rentan dipidana oleh ketentuan ini adalah penghayat aliran kepercayaan atau agama yang belum “diakui” oleh negara, masyarakat adat, dan kelompok berkebutuhan khusus.
Selain itu, RUU KUHP justru mendukung pelanggaran hak privasi dan persekusi melalui perluasan definisi hubungan “layaknya suami istri” dan kewenangan untuk mengadukan tindakan perzinahan.
Kriminalisasi hubungan seksual di luar ikatan perkawinan yang sah berpotensi meningkatkan angka kawin anak karena tidak menikah menjadi lebih berisiko dan merugikan secara pidana daripada menikah.
Hal ini berpotensi meningkatkan angka kawin anak yang sudah dialami 25% anak perempuan di Indonesia.
"Tidak hanya itu, RUU KUHP juga mengkriminalisasi anak perempuan lebih dari anak laki-laki. Karena RKUHP memberi ancaman pidana pada hubungan seks di luar nikah, anak perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan atau membutuhkan layanan kesehatan reproduksi kuratif dan rehabilitatif bisa terancam dipidana," tulis Puskapa.
Selain itu, menurut Puskapa, ada aturan soal perlindungan khusus yang bersyarat hanya untuk “anak baik-baik” yang multitafsir dan hanya untuk anak yang “belum kawin” pada beberapa pengaturannya.
Padahal, UU Perlindungan Anak sudah mengatur bahwa anak adalah semua orang berusia di bawah 18 tahun, tanpa pandang status perkawinannya dan perilakunya.
Puskapa juga menemukan bahwa RUU KUHP meningkatkan risiko anak berhadapan dengan peradilan pidana karena dengan adanya delik adat RUU KUHP masih memberatkan pidana untuk setiap orang yang terlibat dalam peredaran gelap narkotika dan psikotropika yang dapat menjerat anak.
"Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, kami menolak pengesahan RUU KUHP yang terburu-buru karena akan menyengsarakan puluhan juta anak dan rakyat Indonesia," kata Puskapa dalam keterangan tertulisnya.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra